Perkataan dan Perbuatan yang Dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena ia Merupakan Sarana Mengantarkan Kepada Syirik

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perkataan yang mengandung penyamaan antara Allah dengan makhluk, seperti, “Atas kehendak Allah dan kehendakmu.”Kalau bukan karena Allah dan karenamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggantinya dengan, “Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.”[1] Karena “dan” berarti menyamakan, sementara “kemudian” menetapkan urutan. Penyamaan dalam kata-kata ini merupakan syirik kecil, dan ia adalah sarana kepada syirik besar.
  2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berlebih-lebihan dalam mengagungkan kuburan dengan mendirikan bangunan di atasnya, menyalakan penerangan padanya, mengapurinya dan menulis di atasnya.[2]
  3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan melarang shalat dikerjakan di sana, karena ini adalah sarana kepada penyembahan kubur.[3]
  4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat saat matahari terbit dan terbenam, karena ia mengandung penyerupaan (tasyabbuh) dengan orang-orang yang sujud kepada matahari di waktu-waktu tersebut.[4]
  5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang safar ke mana pun dengan niat beribadah kepada Allah kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.[5]
  6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memuji beliau secara berlebihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‏لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ؛ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُوْلُهُ

Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani memuji berlebihan terhadap Isa putra Maryam, sesungguhnya aku hanya hamba, maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya.[6]

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memenuhi nadzar bila pelaksanaannya di tempat di mana ada berhala yang disembah atau diadakan perayaan jahiliyah.[7]

Semua ini adalah peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demi menjaga tauhid, melindunginya, menutup semua wasilah dan sarana kepada syirik.

Sekalipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menjelaskan sedemikian jelasnya, bersikap hati-hati terhadapnya dengan tujuan menjauhkan umat dari syirik, namun para pemuja kubur itu tetap saja menentang sunnah beliau, menentang perintah beliau, melakukan apa yang beliau larang. Mereka mendirikan kubah-kubah di atas kuburan, mendirikan tempat-tempat ibadah di atasnya, menghiasinya dengan berbagai macam perhiasan, dan memberikan berbagai bentuk ibadah kepadanya.

Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa memperhatikan perbedaan antara Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbicara tentang kuburan, perintah dan larangan beliau tentangnya dan apa yang diamalkan oleh para sahabat dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di zaman ini, niscaya dia melihat keduanya bertentangan dan kontradiksi, keduanya tidak bertemu selamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat menghadap kuburan, sementara orang-orang melakukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, sementara mereka mendirikannya di atas kuburan dan menamakannya dengan tempat suci, menyaingi masjid rumah Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyalakan lampu padanya, sementara mereka menyisihkan harta wakaf untuk membuat penerangan di sana.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjadikan kuburan sebagai tempat perayaan, sementara mereka menjadikannya tempat perayaan dan ibadah musiman seperti saat mereka berkumpul pada Hari Raya, bahkan lebih ramai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan meratakan kubur sebagaimana yang Muslim riwayatkan dalam Shahihnya dari Abu al-Hayyaj al-Asadi, dia berkata, Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku,

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَّا تَدَعَ صُوْرَةً إِلَّا طَمَسْتَهَا، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ‏

Maukah kamu aku utus dengan misi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  mengutusku dengannya? Yaitu: Jangan membiarkan patung kecuali kamu menghancurkannya dan jangan membiarkan kubur menonjol kecuali kamu meratakannya.

Hadits lain yang juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Tsumamah bin Syufai, dia berkata, Kami pernah bersama Fadhalah bin Ubaid di kepulauan Rodes,[8] lalu seorang rekan kami meninggal dunia, maka Fadhalah memerintahkan agar kuburnya diratakan, dia berkata,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya“,

sementara orang-orang itu menyelisihi petunjuk dua hadits ini, mereka malah meninggikan kuburan (hingga bahkan) seperti rumah, dan membuat kubah-kubah di atasnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang mengecat kubur dan mendirikan bangunan di atasnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَجْصِيْصِ الْقَبْرِ وَأَنْ يُعْقَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapuri kuburan, diduduki di atasnya dan didirikan bangunan di atasnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menulis di atasnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dalam Sunan keduanya dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُوْرُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dikapurinya kuburan dan ditulis di atasnya.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”

Sementara mereka justru memasang papan dan menulis ayat-ayat al-Qur`an di sana dan lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menambah kubur selain tanah galiannya saja, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dikapurinya kuburan atau ditulis di atasnya atau ditambah dari (tanah galian)nya.”

Sementara orang-orang itu menambah selain tanah galiannya dengan semen, batu dan kapur.

Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Mereka membenci (dipasangnya) bata yang dibakar di atas kubur mereka.”

Intinya, orang-orang yang mengagungkan kuburan, yang menjadikannya sebagai tempat perayaan, yang menyalakan lampu-lampu penerangan di atasnya, yang mendirikan kubah dan tempat ibadah di atasnya, menentang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, melawan ajaran beliau.

Dan yang paling berat adalah menjadikannya sebagai tempat-tempat ibadah dan menyalakan lampu di atasnya, padahal ini termasuk di antara dosa-dosa besar.”[9]

Demikian perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah tentang para pemuja kubur di zaman beliau. Perkaranya semakin berat dan berkembang lebih buruk sesudah itu, siapa yang mengingkarinya justru dianggap aneh, kolot dan merendahkan wali-wali.

Yang aneh adalah mereka marah saat mereka merasa hak wali-wali mereka direndahkan, karena dengan tidak menyembah mereka sama saja dengan merendahkan mereka, tetapi mereka justru sama sekali tidak marah saat hak Allah direndahkan melalui praktik syirik besar, mereka juga tidak marah saat hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilecehkan dengan menyelisihi sunnah beliau, maka la haula wa la quwwata illa billah al-Aliy al-Azhim.

 

Keterangan:

[1]  Lihat Sunan Ibnu Majah, no. 2117 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

[2] Lihat Shahih Muslim, no. 970: dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu.

[3] Lihat Shahih al-Bukhari, no. 435, 436 dan Shahih Muslim, no. 531: dari hadits Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

[4] Lihat Shahih al-Bukhari, no. 3272, 3273 dan Shahih Muslim, no. 828, 832: dari hadits Ibnu Umar dan Amr bin Abasah radhiyallahu ‘anhum.

[5] Lihat Shahih al-Bukhari, no. 1189 dan Shahih Muslim, no. 1397: dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6830 dan Muslim, no. 1691: dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

[7] Lihat Sunan Abu Dawud, no. 3313: dari hadits Tsabit bin adh-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu.

[8] Al-Fairuz Abadi berkata dalam al-Qamus hal. 707, “Kepulauan Rodes terletak di lautan Romawi yang berseberangan dengan Iskandariyah.”

[9] Dalam Ighatsah al-Lahfan, 1/195.

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.