Setan memiliki seribu macam cara guna menyesatkan manusia. Diantara cara tersebut ialah dengan menjadikan manusia merasa menyesal dengan takdir buruknya. Dan membuka pintu pengandaian dalam merubah takdir, sama dengan membuka perangkap setan.

Lebih jelasnya kita simak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ اللَّهُ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

 “Semangatlah dalam melakukan hal yang bermanfaat bagimu. Mohon pertolongan kepada Allah, dan jangan kamu lemah. Jika sesuatu hal (yang tidak kau sukai) menimpamu, maka jangan pernah kau ucapkan, ‘Seandainya saja saya melakukan ini, tentulah hasilnya akan seperti ini.’ Namun ucapkanlah, ‘Ini merupakan takdir Allah, dan Allah melakukan semua yang dikehendaki-Nya.’ Karena sesungguhnya perkataan, ‘Seandainya’ akan membuka perangkap setan.” (HR. Muslim no. 2664).

Untuk memahami sebuah nash syar’i, kita mesti membaca keterangan para ulama yang berkaitan dengannya. Karena adakalanya sebuah larangan tidak dating secara mutlak begitu saja, akan tetapi ada hal yang dikecualikan di dalamnya. Hal ini perlu kita pahami, agar kita mampu membedakan mana sesuatu yang dilarang dan mana sesuatu yang dikecualikan.

Lebih detailnya kita baca keterangan Ibnu Hajar berikut, “Hadits tersebut tidak bermaksud untuk melarang seluruh pengucapan kata ‘seandainya’ secara mutlak. Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah mengucapkannya dalam banyak hadits.

Akan tetapi, pemutlakkan larangan dimaksudkan untuk suatu pengucapan yang dikehendaki di dalamnya penentangan terhadap takdir, dengan keyakinan bahwa jika sesuatu yang dilakukannya sekarang tiada, maka tentu dia tidak akan tertimpa takdir (yang tidak disukainya tersebut).

Lain halnya jika ia (mengucapkannya) hanya sebatas untuk mengabarkannya saja, dimana hal tersebut dinilai memiliki manfaat di masa mendatang (supaya kejadian serupa tidak terulang). Maka dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat akan kebolehannya, dan tidak termasuk membuka pintu setan, serta tidak mengantarkannya kepada keharaman.” (Fathu al-Bari, 13/228).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin telah merangkumkan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengucapan “SEANDAINYA” secara gamblang (al-Qaul al-Mufid, 2/361-363).

1. Jika digunakan dalam rangka membantah perintah syariat maka hukumnya haram.

Seperti kisah orang-orang munafik yang mengolok-olok kaum mukminin, karena tidak ikut pulang bersama mereka dalam perjalanan menuju perang Uhud, padahal Rasulullah a memerintahkan mereka untuk taat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang mereka:

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

 “Orang-orang yang mengatakan kepada teman-temannya, dan mereka tidak turut berperang, ‘Seandainya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak akan terbunuh.’” (QS. Ali Imran: 168).

2. Jika digunakan dalam rangka menentang takdir maka hukumnya haram.

Masih dalam konteks yang sama, tentang ucapan orang-orang munafik yang menyalahkan kaum mukminin, yang memilih perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَوْ كَانُوا عِنْدَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang munafik yang mengatakan kepada teman-teman mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang, ‘Kalau seandainya mereka tetap bersama dengan kita, tentulah mereka tidak akan mati dan tidak pula terbunuh.’” (QS. Ali Imran: 156).

Dalam hal ini mereka menyalahkan takdir, yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi para sahabat yang mati syahid.

3. Jika digunakan untuk menyesali takdir dan mengungkapkan kekecewaan maka hukumnya haram.

Semisal seorang pedagang yang bersikeras membeli suatu barang dagangan yang dikiranya bisa member untung, namun ternyata justru jatuh merugi. Maka ia mengatakan, “Duh, seandainya saya tidak membelinya tentu saya tidak akan bangkrut seperti ini.”

4. Jika digunakan sebagai hujah atas kemaksiatan yang telah dilakukan, hukumnya batil dan tertolak.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghikayatkan tentang perkataan orang-orang musyrik:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا

 “Orang-orang yang mempersekutukan Allah akan mengatakan, ‘Seandainya Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya.” (QS. al-An’am: 148).

 5. Jika digunakan untuk berangan-angan, hukumnya mengikuti sesuatu yang dia angankan.

Jika angan-angannya baik maka hukumnya pun baik, dan boleh jadi berpahala. Namun jika angan-angannya jelek maka hukumnya pun dilarang, dan boleh jadi berdosa.

Hal ini ditengarai oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang empat golongan manusia di dunia, diantaranya ialah si miskin yang diberikan ilmu, dan si miskin yang tidak diberikan ilmu.

Si miskin yang diberikan ilmu akan mengatakan, “Seandainya saya memiliki harta seperti si fulan (yang kaya dan berilmu) tentu saya akan menginfakkannya sebagaimana dirinya.” Maka ia pun mendapatkan pahala yang sama seperti si kaya nan berilmu.

Adapun si miskin yang tidak berilmu akan mengatakan, “Seandainya saya memiliki harta seperti si fulan (yang kaya dan tidak berilmu), tentulah saya akan berfoya-foya seperti dirinya.” Maka ia pun mendapatkan dosa yang sama seperti dirinya. (HR. Ahmad (29/552)).

6. Jika digunakan sebagai bentuk kabar semata, tanpa tendensi lain, maka boleh.

Semisal perkataan seorang pelajar, “Kalau seandainya saya datang ke majelis ilmu, tentulah saya akan mengambil manfaat sebanyak-banyaknya. Hal ini ditujukan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ حِيْنَ حَلُّوا

 “Seandainya aku (memiliki pengetahuan  dalam hal ini) sebelumnya, sebagaimana yang kuketahui sekarang, maka sudah tentu aku tidak akan membawa binatang qurban, dan aku akan bertahallul bersama dengan orang-orang, pada waktu mereka bertahallul.” (HR. al-Bukhari no. 7229).

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya sebagai bentuk kabar semata, bukan karena perasaan menyesal apalagi kecewa.

Dengan uraian singkat ini, diharapkan para pembaca mampu membedakan antara penggunaan ucapan seandainya yang dibolehkan dan ucapan seandainya yang tidak dibolehkan yang termasuk perangkap setan. Mudah-mudahan kita digolongkan sebagai hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dijauhkan dari perangkap-perangkap setan. Wallahu A’lam. (Abu Ukasyah Sapto B. Arisandi).

Referensi:

  1.  al-Qaul al-Mufid.
  2. Fath al-Bari.
  3. Shahih al-Bukhari.
  4. Shahih Muslim.
  5. Musnad Ahmad.