Disunnahkan berpuasa pada hari Arafah bagi selain orang yang melakukan haji berdasarkan hadits riwayat Abu Qatadah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهَا وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهَا

“Berpuasa pada hari Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang.” [H.R. Muslim (116)]

Aisyah Radhiallaahu ‘anha berkata,

مَا مِنَ السَّنَةِ يَوْمٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَصُوْمَ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

“Tidak ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu daripada hari Arafah.” (Hadits Hasan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 600, 691 – Musnad Umar) melalui jalan Abi Qais Abdurrahman bin Tsauran dari Hudzail bin Syarahbil dari Masruq dari Aisyah.)

Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ (6/381), Sabda Nabi mengenai hari Arafah bahwa “Ia dapat menghapus dosa-dosa di tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” Dikemukakan oleh al-Mawardi dalam al-Hawi bahwa hadits ini memiliki dua penafsiran:

Pertama, Allah menghapus dosa-dosa yang dilakukan sese-orang selama dua tahun.
Kedua, Allah menjaga seseorang dari melakukan dosa selama dua tahun, sehingga selama masa itu ia tidak akan bermaksiat.

As-Sarkhasi berkata, “Adapun pada tahun pertama, maka se-mua dosa yang dilakukan pada masa itu akan dihapus.” Selanjutnya ia mengatakan, “Sementara itu ulama berbeda pendapat dalam mema-hami makna penghapusan dosa pada tahun yang akan datang. Sebagian mengatakan, ‘Jika seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, maka Allah akan menjadikan puasa hari Arafah yang lalu sebagai penghapusnya, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa-dosa di tahun sebelumnya.’ Sebagian lagi mengatakan, ‘Allah menjaganya dari melakukan dosa-dosa di tahun depan.’”

Penulis al-Uddah mengatakan bahwa penghapusan dosa-dosa pada tahun depan memiliki dua makna:

Pertama, maksudnya adalah tahun yang lalu. Sehingga makna-nya adalah bahwa puasa itu menghapus dosa-dosa yang dilakukan pada dua tahun yang lalu.
Kedua, maksudnya memang menghapus dosa-dosa di tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.

Dia juga berkata, “Tidak ada ibadah yang sama dengannya yang dapat menghapus dosa-dosa di masa yang akan datang. Ini hanya ada pada diri Rasulullah a secara khusus, di mana Allah telah meng-ampuni kesalahannya yang lalu dan akan datang berdasarkan nash al-Qur’an.”

Imam al-Haramain telah menyebutkan dua makna ini. Ia berkata, “Semua hadits-hadits yang menerangkan tentang penghapusan dosa, menurut saya berlaku pada dosa-dosa kecil dan bukan dosa besar.” Inilah pendapatnya yang didukung oleh hadits shahih. Di antaranya hadits Utsman y yang mengatakan,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ a يَقُوْلُ: مَا مِنَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ، فَيُحْسِنُ وُضُوْءَ هَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إِلاَّ كَانَتْ لَهُ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ، مَالَمْ يُؤْتِ كَبِيْرَةً، وَذلِكَ الدَّهْرُ كُلُّهُ

“Aku mendengar Rasulullah a bersabda, ‘Apabila telah tiba bagi seorang muslim saatnya melakukan shalat wajib, lalu ia memperbaiki wudhunya, kekhusyuannya dan rukuknya maka semua itu akan menghapuskan dosa-dosanya yang lalu, selama ia tidak melakukan dosa besar dan itu berlaku sepanjang masa.’” (H.R. Muslim).

Abu Hurairah y berkata bahwasanya Rasulullah a bersabda,

الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ، مَالَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu dan shalat Jum’at yang satu ke shalat Jum’at yang lain akan menghapuskan dosa-dosa di antara keduanya selama dosa besar tidak dilakukan.” (H.R. Muslim).

Abu Hurairah y juga berkata bahwa Rasulullah a bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلىَ الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, shalat Jum’at yang satu ke shalat Jum’at yang lain dan Ramadhan yang satu ke Ramadhan yang lain akan mengha-puskan kesalahan yang terjadi di antara waktu-waktu itu selama dosa besar dijauhkan.” ( HR. Muslim.)

Saya katakan:
Makna hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran:

Pertama, Amal ibadah tersebut dapat menghapus dosa-dosa kecil selama tidak ada dosa besar. Sedangkan jika ada dosa besar, maka ia tidak dapat menghapus apapun, baik dosa besar maupun dosa kecil.

Kedua, Penafsiran ini yang lebih benar. Yaitu bahwa ibadah-ibadah tersebut dapat menghapus semua dosa kecil (tanpa disyaratkan tidak adanya dosa besar). Jadi pengertian hadits itu adalah, “Ibadah tersebut dapat menghapus semua dosa seseorang kecuali dosa besarnya.”

Qadhi Iyadh berkata, “Apa yang dijelaskan dalam hadits-hadits ini tentang penghapusan dosa-dosa kecil tanpa dosa-dosa besar merupakan pendapat Ahli Sunnah. Sedangkan dosa-dosa besar hanya dapat dihapus dengan taubat atau rahmat Allah.”

Ada sebuah pertanyaan yang muncul, yaitu bahwa di dalam hadits ini terdapat redaksi seperti itu dan di dalam hadits-hadits shahih yang lain terdapat redaksi yang semakna. Maka bila wudhu telah menghapus dosa, dosa apa yang akan dihapus shalat? Bila shalat lima waktu menghapus dosa-dosa, dosa yang mana lagi yang dihapus oleh shalat berjamaah? Begitu pula dengan puasa Ramadhan, puasa hari Arafah yang menghapus dosa selama dua tahun, puasa hari Asyura yang menghapus dosa selama setahun dan ucapan aminnya makmum yang bersamaan dengan ucapan aminnya Malaikat akan menghapus dosa yang lalu?

Jawabannya adalah – sebagaimana yang dikemukakan para ulama– bahwa semua ibadah ini bisa menghapus dosa. Bila didapat dosa yang bisa dihapus, yakni dosa kecil, maka ia akan menghapus-nya. Sedangkan bila tidak ada dosa kecil dan dosa besar, maka akan dituliskan untuknya satu kebaikan dan diangkat satu derajat. Hal itu seperti shalat para nabi, kaum yang shalih, anak-anak kecil, puasa, wudhu dan ibadah mereka. Bila ada dosa besar dan tidak ada dosa kecil, maka kita berharap semua itu dapat meringankan dosa-dosa besar.

Tidak disunnahkan puasa hari Arafah di Arafah
Salah satu tuntunan Nabi a dan Khulafa’ ar-Rasyidin adalah berbuka (tidak berpuasa) pada hari Arafah di tanah Arafah.[ Diriwayatkan dari Rasulullah a bahwa beliau melarang puasa hari Arafah di tanah Arafah. Riwayat ini tidak shahih, tetapi dhaif dan dikeluarkan oleh Abu Daud (2440); an-Nasa’i dalam al-Kubra (2/No. 2830, 2831); Ibnu Majah (1732); Ahmad (2/304, 446); Ibnu Khuzaimah (2101); ath-Thahawi dalam Syarh al-Ma’ani (2/72); al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afa al-Kabir (1/298); ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Awsath (2577); al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/434); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/284), (5/117) Semuanya melalui jalan Hausyab bin Uqail dari Mahdi al-Hajri dari Ikrimah, ia berkata, “Aku mendatangi Abu Hurairah di rumahnya, lalu aku bertanya kepadanya tentang puasa hari Arafah di Arafah.” Beliau menjawab bahwa “Rasulullah a melarang berpuasa pada hari Arafah di tanah Arafah.” Banyak perawi yang meriwayatkan dari Hausyab, di antaranya Abdurrahman al-Mahdi, Waki’, Sulaiman bin Harb dan ath-Thayalisi]

Ketika orang-orang ragu tentang puasa Nabi a pada hari Arafah, Maimunah mengirimkan kepadanya wadah berisi susu, lalu sambil berdiri di tempat wuquf beliau meminumnya, sedang para sahabat menyaksikannya.

Hadits-hadits yang menerangkan tentang masalah ini
Maimunah i berkata, “Orang-orang ragu tentang puasa Nabi pada hari Arafah, maka aku mengirim wadah berisi susu kepada be-liau yang saat itu tengah berwuquf, lalu beliau meminumnya, sedang semua orang menyaksikannya.” [H.R. al-Bukhari (1989) dan Muslim (1124)]

Ummu Fadhal bin al-Harits y berkata, “Orang-orang berdebat di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi a Sebagian mengatakan, ‘Beliau puasa.’ Sebagian yang mengatakan, ‘Beliau tidak puasa.’ Lalu aku mengirim wadah berisi susu kepadanya yang tengah wuquf di atas untanya, lalu beliau meminum susu itu.” [H.R. al-Bukhari (1988) dan Muslim (1123)]

Ibnu Umar pernah ditanya tentang puasa hari Arafah di tanah Arafah, lalu dia menjawab,

حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ a فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِيْ بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لاَ أَصُوْمُه، وَلاَ آمُرُ بِصِيَامِهِنَّ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ

“Aku haji bersama Nabi a dan beliau tidak puasa Arafah, bersama Abu Bakar dan beliau juga tidak puasa Arafah, bersama Umar dan beliau juga tidak puasa Arafah dan bersama Utsman dan beliau juga tidak puasa hari Arafah. Sedangkan saya juga tidak puasa dan tidak menyuruh berpuasa serta tidak melarangnya.” [Sanad hadits ini shahih dan dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (751); an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2826); Ahmad (2/47, 50); ad-Darimi (2/23); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 581, 582-Musnad Umar); Ibnu Hibban dalam Shahihnya (3604); al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah (1792)]

Atsar yang berasal dari para sahabat dan tabi’in

1. Abu Nujaih berkata, “Ibnu Umar pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab,

حَجَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ a فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِيْ بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لاَ أَصُوْمُهُ، وَلاَ آمُرُ بِصِيَامِهِنَّ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ

‘Aku haji bersama Nabi a dan beliau tidak puasa Arafah, bersama Abu Bakar dan beliau juga tidak puasa Arafah, bersama Umar dan beliau juga tidak puasa Arafah dan bersama Utsman dan beliau juga tidak puasa hari Arafah. Sedangkan saya juga tidak puasa dan tidak menyuruh berpuasa serta tidak melarangnya.’” [Sanadnya shahih dan telah ditakhrij sebelumnya.]

2. Ubaid bin Umair berkata,

طَافَ عُمَرُ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي مَنَازِلِ الْحَاجِّ حَتَّى أَدَّاهُ الْحَرُّ إِلىَ خَبَاءِ قَوْمٍ فَسُقِيَ سَوِيْقًا فَشَرِبَ

“Umar berkeliling pada hari Arafah ke tempat-tempat tinggal orang yang haji, sehingga karena panas ia masuk ke perkemahan suatu kaum, lalu ia diberikan makanan terbuat dari tepung, lalu ia menyantap-nya.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh Abdurrazzaq (8/78) dari jalan Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha’ menyampaikan kepadaku bahwa dia mendengar Ubaid bin Umair berkata.” Lalu ia menyebut riwayat ini]

3. Said bin Jubair berkata,

أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَهُوَ يَأْكُلُ رُمَّانًا بِعَرَفَةَ فَحَدَثَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ a أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ

 “Aku mendatangi Ibnu Abbas yang sedang memakan buah delima di Arafah, lalu ia menceritakan bahwa Rasulullah a berbuka di Arafah.” [ Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kubra (2/No. 2814, 2815); Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (7816); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 576, 577, 578-Musnad Umar); al-Fakihi dalam Akhbar Makkah (2772); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/288-289) melalui jalan Ayyub dari Said bin Jubair]

4. Atha berkata bahwa Abdullah bin Abbas mengundang saudara-nya Ubaidillah bin Abbas untuk menyantap makanan pada hari Arafah, lalu ia berkata, “Aku sedang puasa.” Ibnu Abbas berkata, “Kalian adalah keluarga Nabi a yang menjadi teladan dan aku telah melihat Nabi a pada hari ini diberi susu lalu beliau memi-numnya.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kubra (2/No. 2821); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 567-Musnad Umar) melalui jalan Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha’ menyampaikan kepadaku dari Abdullah bin Abbas.”]

5. Atha’ bin Thawus berkata bahwa bapaknya tidak berpuasa pada hari Arafah bila ia dalam perjalanan di tanah Arafah. Namun jika ia sedang tinggal bersama keluarganya ia berpuasa. [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 591-Musnad Umar). Ia bekata, Abu Kuraib menceritakan kepadaku, Waki’ menceritakan kepada kami dari Sufyan.]

6. Waki’ berkata, “Sufyan ats-Atsauri berpendapat tidak ada puasa pada hari Arafah. Dia shalat Zhuhur dan Ashar bersama imam di Arafah, lalu ia kembali ke kendaraannya, lalu makan siang dan kemudian wuquf.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh Abdurrazzaq (7852) melalui jalan Ma’mar bin Thawus dari bapaknya.]

Sebagian kaum Salaf ada yang memilih puasa daripada berbuka

1. Al-Qasim bin Muhammad berkata, “Aku melihat Aisyah pada sore hari Arafah, saat orang-orang sudah mulai pergi (matahari sudah tenggelam) kemudian ia berhenti sebentar hingga tempat tersebut menjadi sepi. Lalu ia minta dibawakan minuman dan mulai buka puasa.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 606-Musnad Umar) melalui jalan Yahya bin Said, ia berkata, “Aku mendengar al-Qasim bin Muhammad berkata…” Ia menyebut hadits ini.]

2. Urwah bin Zubair berkata, “Bapakku tidak pernah berada di Arafah melainkan dia selalu puasa.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 604-Musnad Umar) melalui jalan Hisyam bin Urwah dari bapaknya.]

3. Al-Hasan al-Bashri senang berpuasa pada hari Arafah dan ia menganjurkan orang untuk melakukannya. Bahkan al-Hajjaj pun memerintahkan kaum muslim untuk berpuasa. Hasan al-Bashri ber-kata, “Aku melihat Utsman –Ibnu Abi al-Ash– berpuasa di Arafah pada hari yang sangat panas dan orang-orang melindunginya dari udara panas tersebut.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 602-Musnad Umar) dari Muhammad bin Ali bin al-Hasan dari an-Nadhar bin Syumail dari Asy’asy bin Abdul Malik dari al-Hasan. Riwayat Asy’asy diikuti oleh Humaid ath-Thawil sebagaimana yang dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 603-Musnad Umar)]

Pendapat Para Ulama
Mayoritas ulama berpendapat sunnah berbuka pada hari Arafah di tanah Arafah berdasarkan riwayat yang shahih dari Nabi a dan para sahabatnya.

Perkataan ath-Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar (2/73),
Hal itu menunjukkan bahwa dimakruhkannya puasa pada hari Arafah -dalam atsar pertama- karena alasan kesulitan yang berat saat wuquf di Arafah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani n.

Perkataan an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/380),
Adapun orang yang sedang melakukan haji dan berada di Arafah, maka Imam asy-Syafi’i dan para muridnya mengatakan dalam al-Mukhtashar, “Disunnahkan baginya berbuka.”

Perkataan Ibnu Abdil Bar dalam at-Tamhid (21/158),
Malik, ats-Sauri dan asy-Syafi’i memilih berbuka pada hari Arafah di tanah Arafah.
Ismail meriwayatkan dari Ibnu Abi Uwais dari Malik bahwa ia (Imam Malik) memerintahkan berbuka pada hari Arafah bagi orang yang melakukan haji. Malik mengatakan bahwa Rasulullah a berbuka pada hari itu.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Saya menyukai puasa hari Arafah dilakukan oleh selain orang yang melakukan haji. Sedangkan orang yang melakukan haji, maka saya lebih menyukainya berbuka agar ia memiliki kekuatan untuk berdoa.”

Perkataan Imam Ahmad [ Syarh al-‘Umdah (2/762)]
Disunnahkan puasa hari Arafah di sini. Sedangkan di tanah Arafah tidak disunnahkan. Para ulama meriwayatkan bahwa Nabi berbuka di tanah Arafah.

Perkataan Ibnu Qayyim dalam Tahdzib as-Sunan (3/322),
Beberapa atsar yang menerangkan tentang larangan puasa hari Arafah di tanah Arafah antara lain adalah:

Pertama, apa yang diriwayatkan an-Nasa’i dari Amr bin Dinar dari Atha dari Ubaid bin Umair bahwa ia berkata, “Umar telah mela-rang puasa hari Arafah di tanah Arafah.” [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kabir (2/No. 2824); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (91/No. 592-Musnad Umar) melalui jalan Amr bin Dinar dari Atha’ dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Umar telah melarang berpuasa pada hari Arafah” (tanpa menyebut di tanah Arafah.)]

Kedua, apa yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i juga dari Abi as-Sawar bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Umar ten-tang puasa hari Arafah dan beliau melarangnya.” Yang dimaksud adalah puasa Arafah di tanah Arafah sesuai hadits yang diriwayat-kan oleh Nafi’ bahwa ia berkata, “Ibnu Umar ditanya tentang puasa hari Arafah di tanah Arafah. Lalu ia menjawab, ‘Rasulullah a, Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya.”

Atha’ berkata, “Abdullah bin Abbas mengundang al-Fadhal bin Abbas pada hari Arafah untuk menikmati makanan.” Lalu ia berkata, ‘Saya sedang puasa.’ Abdullah bin Abbas berkata, “Jangan puasa, ka-rena Rasulullah a pernah dihidangkan susu pada hari Arafah lalu beliau meminumnya. Maka janganlah puasa, karena orang-orang akan mengikuti jejakmu.” [H.R. an-Nasa’i] . [Riwayat ini shahih dan dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kabir (2/No. 2822); ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar (1/No. 564, 565-Musnad Umar) melalui jalan Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha’ menceritakan kepada kami.”] Kemudian an-Nasa’i berkata, “Al-Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain mengeluarkan riwayat dari Kuraib dari Maimunah bin al-Harits bahwa ia mengata-kan, ‘Orang-orang ragu tentang puasa Nabi pada hari Arafah, maka aku mengirim wadah berisi susu kepada beliau yang saat itu tengah wuquf, lalu beliau meminumnya, sedang semua orang menyaksikan-nya.’”

Dikatakan bahwa mungkin Maimunah mengirim satu wadah susu dan Ummu Fadhal juga mengirim satu wadah susu. Masing-masing mengirim satu wadah susu. Atau keduanya bergabung karena mereka bersaudara, lalu mereka bersepakat mengirim satu wadah, lalu dinisbatkanlah pengiriman itu kepada Maimunah, juga kepada Ummu Fadhal.
Diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah a berbuka di tanah Arafah dan dalam riwayat shahih lainnya Rasulullah bersabda bahwa puasa hari Arafah dapat menghapus dosa selama dua tahun.

Namun pendapat yang benar adalah bahwa bagi kaum muslim di seluruh belahan bumi disunnahkan melakukan puasa Arafah. Sedangkan bagi orang-orang yang berada di Arafah disunnahkan ber-buka. Karena Rasulullah a telah memilih berbuka untuk dirinya dan para Khulafa ar-Rasyidin juga telah berbuka. Dengan berbuka ada kekuatan fisik untuk berdoa yang merupakan ibadah paling uta-ma bagi seorang hamba. Dan hari Arafah adalah hari raya bagi orang-orang yang berada di sana, maka tidak disunnahkan bagi mereka berpuasa.

Sebagian ulama ada yang memilih puasa. Sebagian lagi memilih berbuka. Sebagian yang lain membedakan antara orang yang tidak kuat puasa (dan yang kuat) dan antara yang bisa mendapat manfaat (dan yang tidak mendapat manfaat). Ini adalah pilihan Qatadah. Sedang yang memilih puasa adalah Ibnu Zubair dan Aisyah.

Atha’ berkata, “Saya berpuasa pada hari Arafah di tanah Arafah jika sedang musim dingin dan berbuka jika sedang musim panas.” [Riwayat ini shahih dari Atha’ dan dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (7822) dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Apakah engkau melakukan puasa hari Arafah?'” Ibnu Juraij selanjutnya menyebutkan riwayat ini.]

Sementara itu sebagian kaum Salaf tidak memerintahkan dan tidak pula melarang. Mereka mengatakan, “Siapa yang mau boleh puasa dan siapa yang mau boleh tidak puasa.”

[Sumber: Disarikan dari kitab, Shiyamu ath-Tathauwu`, Syaikh Utsamah Abdul Aziz; Edisi Indonesia, Puasa Sunnah, Hukum & Keutamaannya; Pent. Darul Haq Jakarta]