Puasa Asyuro

Hari Asyuro adalah hari ke-10 bulan Muharram. Hari tersebut mengingatkan kita pada beberapa hal penting. Tiga diantaranya yaitu ;

  • Peristiwa diselamatkannya Nabi Musa beserta orang-orang yang beriman kepadanya dari tindak kezhaliman Fir’aun beserta bala tentaranya.
  • Puasa Asyuro
  • Keteladanan Nabi Muhammad dalam menyelisihi kaum Yahudi dalam hal pelaksanaan puasa Asyuro.

Seputar tiga hal inilah pembahasan kita untuk edisi kali ini.

  • Asyuro Hari Utama

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro. Maka, beliaupun bertanya kepada mereka, hari apakah ini yang kalian berpuasa padanya ? mereka pun menjawab, ini adalah hari yang agung, pada hari ini Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Maka, Musa pun berpuasa pada hari tersebut untuk bersyukur. Oleh karenanya, kami pun berpuasa pada hari tersebut. (Mendengar penuturan mereka yang demikian itu) maka Rasulullah pun menanggapi, “sesungguhnya kami lebih berhak dan lebih layak terhadap Musa daripada Kalian”. Maka, Rasulullah berpuasa Asyuro dan memerintahkan (para sahabat) melakukannya. (HR. Al-Bukhari, No.2004 dan Muslim, No. 11330)

  • Keutamaan Puasa Asyuro

Dalam hadist Abu Qatadah, Nabi Muhammad ditanya tentang puasa Asyuro, beliau bersabda,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Menghapus dosa setahun yang lalu”.

Dalam sebuah riwayat, beliau bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Puasa hari Asyuro -aku berharap kepada Allah-  agar menghapuskan dosa setahun yang sebelumnya.” (HR. Muslim, No. 1162)

Ibnu Abbas mengatakan, “Tidaklah aku melihat Nabi lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari yang lain kecuali hari ini, yaitu Asyuro, dan bulan ini, yakni: Bulan Ramadhan (HR. Al-Bukhari, No. 2006)

  • Tahapan Puasa Asyuro

Puasa Asyuro melewati beberapa tahapan, yaitu :

Pertama, bahwa Nabi Muhammad pernah berpuasa Asyuro ketika berada di Makkah, namun Beliau tidak memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.

Kedua, ketika Beliau datang ke Madinah mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut. Lalu Beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar melakukannya, hingga Beliau memerintahkan orang yang telah mengonsumsi makanan pada hari tersebut agar ia menahan diri untuk waktu yang masih tersisa pada hari tersebut. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-2 Hijriyah, karena Beliau datang ke Madinah pada bulan Rabi’ul Awwal.

Ketiga, ketika diwajibkan puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijriyah, kewajiban puasa Asyuro dihapus menjadi disunnahkan. Kewajiban melakukan puasa Asyuro hanya setahun saja (lihat, Fathul Baari, 4/289)

Ketiga tahapan ini berdasarkan beberapa Riwayat hadist, diantaranya,

  1. Hadist Aisyah, ia berkata, dulu pada masa jahiliyah orang-orang Quraisy berpuasa Asyuro dan Rasulullah melakukannya. Ketika Beliau berhiijrah ke Madinah, Beliau berpuasa Asyuro dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa pada hari itu. Lalu, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, Beliau bersabda,

مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“siapa yang mau berpuasa, silakan berpuasa (Asyuro) dan siapa yang mau ia boleh pula meninggalkannya (HR. Muslim, No. 1125)

  1. Hadist Rubayyi’ bintu Mu’awwidz, ia berkata, Rasulullah pergi di pagi hari di hari Asyuro ke perkampungan orang-orang Anshar yang berada di sekitar Madinah dan Beliau mengatakan kepada khalayak,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ صَائْمًا فَلْيُتٍمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَةَ يَوْمِهِ

“siapa diantara kalian tengah berpuasa maka sempurnakanlah puasanya, dan siapa yang sejak pagi tidak berpuasa, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa harinya (dengan menahan diri dari makan dan minum dan yang lainnya).

 

Setelah itu, kami pun berpuasa pada hari tersebut dan kami pun membuat puasa anak-anak kami –in shaa Allah- kami mengajak mereka ke mesjid , membuatkan untuk mereka mainan yang terbuat dari kapas, bila mereka meminta makan kepada kami, kami pun memberikan mainan tersebut kepada mereka agar mereka lupa, sehingga mereka dapat menyempurnakan puasanya (HR. Muslim, No. 1136)

  • Perintah menyelisihi Yahudi dalam berpuasa Asyuro

Dulu Nabi Muhammad senang untuk mencocoki ahlul kitab dalam perkara yang tidak ada perintah di dalamnya, sebagaimana telah shahih dari ibnu Abbas di dalam shahih Al-Bukhari hingga Beliau diperintahkan untuk menyelisihi mereka. Maka, Beliau bertekad kuat untuk tidak berpuasa Asyuro hanya pada tanggal 10 Muharram saja. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa riwayat hadist, diantaranya,

  1. Ibnu Abbas berkata, tatkala Rasulullah berpuasa Asyuro dan memerintahkan orang-orang untuk melakukannya, mereka (para sahabat) berkata, sesungguhnya Asyuro itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-oarang Yahudi dan Nasrani ! (mendengar penuturan mereka tersebut) Beliau bersabda,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

(bila demikian), maka tahun yang akan datang –in shaa Allah-  kita akan berpuasa pada hari ke-9. Perowi (Ibnu Abbas) berkata, belum saja tiba tahun berikutnya Beliau telah meninggal dunia (HR. Muslim, No. 1134)

Yang dimaksud dengan pernyataan Beliau ini adalah Beliau bertekad untuk berpuasa pada hari ke-9 dan ke-10. Hal ini diperkuat dengan perkataan Ibnu Abbas, “selisihilah orang-orang Yahudi, dan berpuasalah hari ke-9 dan ke-10. (HR. Abdurrazzaq, No. 7839 dan Al-Baihaqi 4/287, dari jalur periwayatan Ibnu Juraij dari ‘Atho, dan ini  adalah isnad yang shahih)

  1. Ibnu Abbas berkata, Rasulullah bersabda,

صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا فِيْهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

Berpuasalah pada hari Asyuro, selisihilah orang-orang Yahudi di dalam (pelaksanaannya), berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya (HR. Ahmad di dalam musnadnya, 1/241).

 

Berdasarkan keabsahan hadist ini, maka barangsiapa tidak bisa berpuasa pada hari ke-9 dan ke-10 nya maka ia berpuasa hari ke-10 dan ke-11 nya, agar terwujud penyelisihan terhadap orang Yahudi dalam bentuk tidak hanya berpuasa pada hari ke-10 saja. Adapun riwayat

صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ  وَ يَوْمًا بَعْدَهُ

(Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya) adalah dhaif (lemah). Lafadzh ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’ al-Jami’, hadist No. 3506)

 

  • Cara menyelisihi kaum Yahudi dalam Puasa Asyuro

Berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan nampaklah bahwa yang sempurna dalam hal berpuasa Asyuro adalah dilakukan pada hari ke-9 dan hari ke-10, karena hal demikian itulah yang menjadi tekad Rasulullah. Kalangan yang menshahihkan riwayat, “dan berpuasalah (juga) sehari sebelumnya atau sehari setelahnya” berpendapat disyariatkannya berpuasa pada hari ke-11 bagi yang tidak berpuasa hari ke-9, agar hal itu tercapailah maksud menyelisihi kaum Yahudi yang dimaksudkan oleh Nabi, terlebih ada sebagian ahli ilmu yang berpandangan tidak disukainya puasa hanya hari ke-10 saja, karena hal demikian itu berarti mencocoki kaum Yahudi dan pada saat yang sama berarti menyelisihi pula perintah untuk menyelisihi mereka. Pendapat ini adalah yang mahsyur dari Ibnu Abbas dan konsekwensi perkataan Imam Ahmad dan merupakan pendapat madzhab hanafi (lihat, Iqtidho ash-Shirath al-Mustaqim, 1/470-471, Raddu al-Mukhtar, 1/241)

 

  • Faedah

Dari beberapa poin pembahasan di atas kita dapat mengambil beberapa faedah, diantara lain,

  1. Bahwa yang menjadi timbangan keutamaan adalah sejauh mana seseorang berpeganng teguh terhadap agama dengan hati, perkataan dan tindakan, tidak sebatas, melakukan syi’ar agama namun hati kosong dari keyakinan yang benar dan murni. Maka, siapa yang melakukan syi’ar agama seperti puasa Asyuro, namun keyakinannya menyimpang maka ia memiliki kesamaan dengan orang-orang musyrik Quraisy tempo dulu dan kaum Yahudi dulu dan sekarang.
  2. Menyelisihi ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) termasuk maksud syariat yang paling agung. Tekad kuat Nabi untuk berpuasa hari ke-9 disamping hari ke-10 merupakan pelajaran yang sangat agung yang dengannya Beliau mengajarkan kita –umatnya- untuk menyelisihi ahlul kitab. Adapun tindakan Beliau berpuasa pada hari ke-10 saja pada awalnya hal demikian iu adalah sebelum mendapatkan perintah untuk menyelisihi kaum Yahudi.
  3. Beribadah hanya kepada Allah merupakan puncak kesyukuran tertinggi. Diselamatkannya Nabi Musa dan kaumnya dari tindak kedzaliman Firaun dan bala tentaranya merupakan nikmat yang sangat besar, Nabi Musa menyambutnya dengan berpuasa hari tersebut, dimana hal tersebut dan ibadah yang lainnya merupakan kesyukuran kepadaNya, karena amal shaleh hakekatnya adalah kesyukuran kepada Allah, Allah berfirman,

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

 

“… Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ : 13)

 

Hanya saja harus diperhatikan bahwa peribadatan itu dibangun diatas ittiba’ (mengikuti petunjuk), maka tidak boleh membuat-buat bentuk ibadah yang tidak disyariatkan, sebagaimana halnya tidak boleh mengkhususkan hari Asyuro tidak pula waktu yang lainnya untuk melakukan ibadah tertentu yang tudak dinaskan oleh syariat untuk dilakukan pada waktu tersebut. Adapun para Nabi, maka peribadatan yang mereka lakukan merupakan syariat yang ma’shum  yang dibangun di atas wahyu dari Allah kepada mereka. Mengikuti jejak mereka dan berusaha dengan sungguh-sungguh unutk mengambil petunjuk mereka dan bersungguh-sungguh di dalam menerapkan sunnah mereka sejatinya merupakan kesyukuran kepada Allah

 

Wallahu a’lam. (redaksi).