Diriwayatkan dari Abu Ayub al-Anshari -semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun.” (HR. Muslim, no. 1164, Abu Dawud, no. 2433, at-Tirmidzi, no. 759, dan yang lainnya).

Dari Tsauban –semoga Allah meridhainya- dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ

Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, maka puasa sebulan itu sama dengan sepuluh bulan dan dengan puasa enam hari setelah Idul Fithri (di bulan Syawal), maka itu melengkapi puasa setahun.” (HR. Ahmad).

 

Mengapa puasa Ramadhan plus puasa 6 hari di bulan Syawal sebanding dengan puasa setahun?  

Imam an-Nawawi –semoga Allah merahmatinya- berkata:

“Para ulama mengatakan bahwa itu sebanding dengan puasa setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sama dengan puasa sepuluh bulan, sedang puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadis marfu‘ dalam kitab an-Nasai.” (Syarah Muslim, 3/238).

 

Beda Pendapat Tentang Hukumnya

Apa hukum berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah seseorang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan?

Mengenai hukumnya, terdapat beda pendapat di kalangan para ulama. Ada yang menyunnahkannya. Ada yang mengingkarinya. Dan, ada yang memakruhkannya.  Sebagaimana pendapat-pendapat tersebut dinukilkan oleh Usamah Abdul Aziz dalam bukunya, “Shiyam at-Tatawwu’, Fadha-il Wa Ahkam” sebagai berikut,

 

Yang Menyunahkan  

Pendapat kebanyakan ulama menyatakan akan kesunnahannya.

Ibnu Qudamah –semoga Allah merahmatinya- berkata:

“Kesimpulan dari hal itu adalah bahwa puasa enam hari pada bulan Syawal disunnahkan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama dan hal itu diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, asy-Sya’bi dan Maimun bin Mihran dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i.” (al-Mughniy, 4/438).

Puasa enam hari ini dinyatakan sunnah oleh asy-Syafi’i, Ahmad dan ulama yang sependapat dengan mereka. Dalil mereka adalah hadis shahih yang menegaskan hal itu.

 

Yang Mengingkari

Sedangkan yang mengingkari puasa ini adalah al-Hasan al-Bashri.

Dari Israil bin Abi Musa dari al-Hasan al-Bashri, Ia berkata,

“Apabila disebutkan puasa enam hari bulan Syawal di dekat al-Hasan, maka ia berkata, ‘Demi Allah, Allah telah ridha puasa satu bulan ini (Ramadhan) sebagai puasa untuk satu tahun penuh.’” (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, 3/124 dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 3/97 melalui jalan al-Husain bin Ali al-Ju’fi dari Israil bin Abi Musa dari al-Hasan).

Ibnu Rojab -semoga Allah merahmatinya-, setelah menyebutkan Atsar dari al-Hasan mengatakan,

“Barangkali pengingkarannya itu ditujukan terhadap orang yang meyakini puasa enam hari wajib dan menurutnya puasa Ramadhan telah cukup menjadi kewajiban untuk satu tahun. Lahiriyah perkataannya memang menunjukkan itu.” (Latha-if al-Ma’arif, hal. 398).

 

Yang Memakruhkan

Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Malik –semoga Allah merahmati mereka semuanya- menyatakan  makruh. Abu Yusuf berkata,

“Para ulama kalangan Hanafiyah memandang makruh mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa lain (puasa enam hari bulan Syawal) karena dikhawatirkan akan disamakan dengan puasa wajib.” (Bada-i’ ash-Shana-‘i, 2/78).

Imam Malik berkata dalam al-Muwatha‘ (1/330), Imam Malik tidak melihat seorang ulama pun dan fuqaha yang melakukan puasa ini dan beliau juga tidak mendengar itu dari seorang pun dari kaum salaf. Para ulama telah memakruhkannya dan mereka takut itu termasuk bid’ah. Mereka juga takut orang yang tidak mengerti akan menyamakannya dengan puasa Ramadhan ketika mereka melihat ulama membolehkannya dan melakukannya.

 

Yang Memakruhkan Diingkari

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Imam Ahmad mengingkari orang yang memakruhkan puasa Syawal karena takut ada puasa selain Ramadhan yang disamakan dengan puasa Ramadhan. (Imam Ahmad mengingkarinya) karena keutamaan dan anjuran puasa ini telah dijelaskan dalam sunnah. Kekhawatiran akan disamakan dengan puasa Ramadhan bisa terjadi bila dilakukan di awal Ramadhan tanpa ada pemisah antara puasa Ramadhan dan puasa selainnya. Sedangkan bila dilakukan di akhir Ramadhan, maka di antara keduanya telah dipisahkan oleh hari raya. Dan larangan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– terhadap puasa hari raya menunjukkan bahwa larangan itu memang khusus berlaku pada hari itu saja, sedang hari-hari setelahnya adalah hari yang dibolehkan dan diizinkan berpuasa. Sebab bila beliau mau, tentu beliau akan melarang puasa di semua hari (bulan Syawal) sebagaimana beliau melarangnya di awal Ramadhan dalam sabdanya,

لَا تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ

Jangan mendahului puasa Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari. (Syarh al-‘Umdah, 2/559).

 

Husnuzhan Terhadap Imam Malik

Ibnu Abdil Barr –semoga Allah merahmatinya- ketika mengklarifikasi pernyataan Imam Malik di atas mengatakan,

“Imam Malik (barangkali) tidak mengetahui hadis Abu Ayub sebagai salah satu hadis penduduk Madinah…Apa yang dimakruhkan oleh Imam Malik telah beliau jelaskan, yakni, ditakutkan puasa itu disamakan dengan puasa wajib Ramadhan oleh orang awam. Imam Malik –semoga Allah merahmatinya- termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam masalah agama.

Sedangkan puasa enam hari bulan Syawal untuk mendapatkan keutamaannya dan seperti apa yang dijelaskan dalam hadis Tsauban, maka itu tidak dimakruhkan oleh Imam Malik, insyaallah. Sebab puasa adalah perisai dan keutamaannya diketahui oleh orang yang menahan makan, minum dan nafsunya karena Allah. Ia juga sebuah amal kebajikan, sedang Allah telah berfirman, وَافْعَلُوا الْخَيْرَ  dan kerjakan kebaikan” (Qs. al-Hajj: 77). Imam Malik –semoga Allah merahmatinya- tentu mengetahui hal itu.”  (al-Istidzkar, 10/259).

 

Pendapat yang Terpilih

Pendapat yang terpilih dari pendapat-pendapat di atas, adalah pendapat yang menyatakan akan kesunnahan puasa enam hari di bulan Syawal. Karena, valid dan kuatnya dalil yang melandasinya yang menunjukkan akan kesunnahan puasa tersebut.

 

Bagaimana Tata Cara Melakukannya?

Mengenai tata cara melakukan puasa enam hari di bulan Syawal ini, Dr. Muhammad Muslih az-Za’bi, dalam bukunya, “Shiyam Sitt Min Syawwal; Dirosatun Haditsiyyatun Fiqhiyyatun” mengatakan, “Saya mendapati tiga pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama, bahwasanya disukai melakukannya sejak awal bulan (Syawal) dan dilakukan secara berurutan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Ibnu Mubarak dan selain keduanya.

Argumentasi Pendapat:

Argumentasi pendapat ini adalah bahwa bersambungnya dengan Iedul Fithri lebih utama daripada terputus darinya. Alasan mengapa hal ini lebih utama adalah bahwa bersegera dalam melakukan ibadah itu terdapat banyak keutamaan sebagaimana dimaklumi, di samping bila diakhirkan pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan justru akan terlewatkan. Meskipun, tetap saja pelakunya telah melakukan sunnah baik ia melakukannya secara berurutan ataupun tidak selagi dilakukan di bulan Syawal.

Pendapat kedua, tidak ada bedanya antara melakukannya secara berurutan maupun secara terpisah. Kedua cara tersebut sama saja. Ini adalah pendapat Waki’ dan Imam Ahmad dan selain keduanya.

Argumentasi Pendapat:

Argumentasi pendapat ini adalah bahwa keutamaan (yang disebutkan dalam hadis) dapat diperoleh baik dengan cara melakukan puasa tersebut secara berurutan maupun secara terpisah. Orang yang berpuasa bebas memilih, ia boleh memilih melakukannya secara berurutan, boleh juga memilih melakukannya secara terpisah. Baik hal tersebut dilakukan di awal bulan ataupun pada akhir bulan. Karena, dalam hadis disebutkan secara mutlak; dan karena keutamaannya beserta bulan tersebut 30 hari, sementara kebaikan itu dilipatgandakan sebanyak 10 kali lipat. Maka yang demikian itu seperti 360 hari, ini berarti setahun penuh.

Pendapat ketiga, tidak dilakukan setelah Iedul Fithri secara langsung. Bahkan, hendaklah disambungkan dengan puasa tiga hari setiap bulan (siyam ayyaamul bidh), jadi dilakukan pada tanggal 10, 11, 12, kemudian puasa Ayyamul Bidh (13, 14, dan 15).

 

Pendapat yang mana dari ketiga pendapat tersebut yang paling kuat karena didukung dengan dalil yang shahih dari sunnah?

Setelah menyebutkan ketiga pendapat di atas, beliau, Dr. Muhammad Muslih az-Za’bi, berkata, ‘Saya tidak menemukan dalil yang shahih dari sunnah yang menguatkan satu pendapat atas pendapat yang lain. Meski demikian, ada beberapa atsar dalam hal ini namun atsar tersebut lemah. Di antara atsar tersebut yaitu atsar yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dengan sanadnya dari jalan Abu Hurairah secara marfu’, dengan redaksi,

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مُتَتَابَعَةً فَكَأَنَّمَا صَامَ السَّنَةَ

Barangsiapa puasa enam hari setelah iedul fithri secara berurutan, maka seakan-akan ia telah berpuasa setahun penuh.” (al-Mu’jam al-Ausath, 7/315). Selesai perkataan beliau.

Oleh karena itu, kapan saja puasa enam hari di bulan Syawal tersebut dilakukan baik di awal bulan, di pertengahan bulan ataupun di akhir bulan, baik secara berurutan maupun secara terpisah dibolehkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, “Bila puasa Syawal dilakukan dengan mengakhirkan pelaksanaannya dari awal bulan, seseorang tidak bersegera melakukannya maka yang demikian itu boleh. Berdasarkan sabada beliau,

ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ

Kemudian mengikutinya enam hari di bulan syawal.

Zahir sabda beliau ini menunjukkan selagi enam hari tersebut di bulan Syawal meski diakhirkan pelaksanaannya tidaklah mengapa. Hanya saja, bersegera melakukannya dan berurutan dalam melakukannya lebih utama daripada secara terpisah dan menunda-nunda atau mengakhirkan pelaksanaannya. Hal demikian itu karena pelakunya bersegera untuk melakukan kebaikan. (asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni, 6/466). Wallahu A’lam.

 

(Redaksi)

 

Referensi:

1. Seperti “Puasa ad-Dahr”, Bulletin Dakwah an-Nuur, Edisi: 1178 /Jum`at III/Syawwal 1439 H/15 Juni 2018 M, Yayasan al-Sofwa, Jakarta.

2. Shiyam at-Tatawwu’, Fadha-il Wa Ahkam, Usamah Abdul Aziz.

  1. Shiyam Sitt Min Syawwal ; Dirosatun Haditsiyyatun Fiqhiyyatun, Dr. Muhammad Mushlih az-Za’bi