Para ulama -رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى- telah sepakat bahwa ridha adalah sifat yang disunnahkan, bahkan sunnah muakkadah (yang ditekankan). Mereka berselisih mengenai diwajibkannya menjadi dua pendapat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Tidak ada perintah yang datang mengenai ridha, sebagaimana tidak adanya perintah (dengan perintah mewajibkan) untuk bersabar. Akan tetapi yang ada hanyalah pujian dan sanjungan kepada orang-orang yang bersikap ridha. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ اْلإِيْمَانِ مَنْ رَضِىَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً

Orang yang ridha dengan Allah sebagai Rabb, dan Islam sebagai agama, serta Muhammad sebagai Rasul, maka dia telah merasakan nikmatnya iman.”(HR. Muslim dan at-Tirmidzi).

Pengarang kitab At-Tahrir mengatakan, “Makna dari رَضِيْتُ بِالشَّيْءِ  (saya ridha atas sesuatu) adalah saya merasa cukup dan tidak meminta yang lain. Maka, arti dari hadis di atas adalah saya tidak mencari selain Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -, tidak berjalan di luar jalur Islam, dan tidak menempuh kecuali apa yang sesuai dengan syariat Nabi Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang memiliki sifat seperti ini, maka akan merasakan manis dan nikmatnya iman dalam hati.”

Qadhi ‘Iyadh –رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Makna dari hadis ini adalah imannya telah benar, jiwanya tenang dan hatinya tenteram. Karena dengan meridhai hal-hal yang telah disebutkan di atas, menunjukkan kemantapan pengetahuannya, dan keluasan ilmunya disertai hati yang bahagia. Karena orang yang meridhai sesuatu, akan merasa mudah melakukannya. Begitupun orang yang beriman ketika keimanan telah memasuki hatinya, maka ia akan mudah untuk melakukan ketaatan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – serta menikmatinya. Wallahu A’lam. Keterangan ini terdapat dalam Syarhu an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim (2/2).

Dan, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ رَضِيْتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ

“Siapa yang membaca ketika mendengar muadzin, ‘Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan bahwa Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya. Saya ridha dengan Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Rasul, serta Islam sebagai agama’, niscaya dosanya akan diampuni. (HR. Muslim).

Kedua hadis ini merupakan poros berputarnya tingkatan dalam agama Islam dan pada keduanyalah putaran tersebut akan berakhir. Karena kedua hadis tersebut telah mencakup keridhaan atas RububiyahNya dan UluhiyahNya, ridha terhadap Rasul -صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan agamanya serta berserah diri padaNya. Maka orang yang memiliki empat hal ini dalam dirinya adalah orang yang benar-benar tulus. Karena keempat hal ini mudah untuk diserukan dan diucapkan akan tetapi termasuk hal yang paling sukar ketika diamalkan dan diujikan, apalagi ketika terjadi sesuatu yang berbeda dengan hawa nafsu dan kehendaknya. Dari sini dapat diketahui bahwa keridhaan yang diucapkan mulut, hanya ada pada mulut saja, tidak pada kondisi aslinya.

Adapun ridha atas uluhiyah Allah, mencakup ridha kepadaNya, mentauhidkanNya, takut, berharap dan meminta pertolongan kepadaNya, serta kuatnya keinginan dan cinta kepadaNya. Hal tersebut juga mencakup beribadah dan ikhlas kepadaNya. Orang yang ridha akan melakukan dengan segenap keridhaannya untuk orang yang dia cintai. Sedangkan ridha atas Rububiyah Allah, mencakup ridha atas ketetapanNya terhadap hamba-hambaNya, mengesakanNya dengan cara bertawakkal kepadaNya, meminta pertolongan, mempercayai dan bergantung padaNya, serta ridha atas semua yang Allah lakukan padanya. Maka yang pertama (Uluhiyah Allah) adalah ridha atas apa yang diperintahkan kepadanya, sedangkan yang kedua (Rububiyah Allah) adalah ridha atas apa yang telah ditakdirkan untuknya.

Adapun ridha atas Nabi Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sebagai rasul, mencakup tunduk secara total dan berserah diri secara keseluruhan kepadanya, sampai dia merasakan bahwa beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- lebih utama daripada dirinya sendiri. Sehingga dia tidak mengambil petunjuk kecuali dari ucapan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, tidak membuat keputusan kecuali dikembalikan kepadanya -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, serta sedikit pun tidak meridhai keputusan siapa pun selain beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Sedangkan ridha atas agamanya adalah ketika agamanya tersebut berkata, membuat sebuah keputusan, memberi perintah atau melarang, maka dia akan ridha dengan segenap hati pasrah padanya dan tidak merasa berat sedikit pun dalam hatinya mengenai putusan tersebut. Meskipun putusan itu berbeda dengan kehendak hati atau nafsunya, ucapan orang yang dia ikuti, guru atau kelompoknya. Dengan sikap seperti ini, mungkin semua orang akan membencimu, kecuali orang-orang yang asing (orang yang berpegang teguh dengan agama yang lurus-ed). Maka hendaklah kamu jangan merasa aneh untuk mengasingkan diri dan menyendiri. Karena ketahuilah, demi Allah, sungguh hal tersebut adalah kemuliaan yang hakiki, kebersamaan dengan Allah dan RasulNya, ketenangan sejati dan keridhaan terhadap Allah sebagai Rabb, Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sebagai Rasul dan Islam sebagai agama.

Sikap ridha tidak diwajibkan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada makhlukNya, akan tetapi Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-  hanya menganjurkannya kepada mereka dan memuji orang yang melakukannya. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-  juga mengabarkan bahwa balasan orang tersebut adalah keridhaanNya, yang sebenarnya lebih besar, lebih agung dan lebih mulia daripada surga beserta isinya. Maka barang siapa yang ridha kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- akan ridha kepadanya. Bahkan pada hakikatnya, keridhaan seorang hamba kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- adalah disebabkan keridhaan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepadanya. Maka sesungguhnya dia dikelilingi oleh dua macam keridhaan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, yaitu keridhaan sebelumnya, yang menjadikan dia ridha kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan keridhaan setelahnya, yang merupakan buah dari keridhaannya kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Oleh karena itu, keridhaan merupakan pintu Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang lebar, surga dunia, tempat istirahatnya orang-orang yang mengenalNya, kehidupan para pecinta Rabbnya, dan kenikmatan orang-orang yang beribadah.

Seorang hamba dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukainya terbagi menjadi dua tingkatan: Tingkatan ridha dan tingkatan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah kewajiban yang ditetapkan kepada orang yang beriman. Orang yang ridha terkadang memandang keagungan Dzat yang mengujinya serta pilihanNya tentang ujian yang akan diberikan kepada hambaNya, dan Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak tercela atas keputusanNya. Dan terkadang memandang keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan Dzat yang mengujinya, yang membuat mereka tenggelam dalam memandangnya sampai tidak merasakan rasa sakit. Ini adalah tingkatan orang khawas (orang-orang khusus) dari ahli ma’rifat dan cinta, yang mana mereka terkadang menikmati apa yang telah menimpa mereka karena memandang munculnya hal tersebut dari kekasih mereka.

Perbedaan antara ridha dan sabar, bahwa sabar adalah menahan nafsu dan mencegahnya dari marah ketika ada rasa sakit, yang disertai harapan hilangnya rasa sakit tersebut dan mencegah anggota badan dari melakukan hal-hal tidak diinginkan yang disebabkan oleh rasa resah dan cemas. Sedangkan ridha adalah lapang dan lebarnya dada atas suatu keputusan tanpa mengharapkan hilangnya rasa sakit. Meskipun merasakan adanya rasa sakit, tetapi keridhaan membuatnya terasa ringan dengan ruh keyakinan dan pengetahuan yang membuat bahagia hatinya. Bahkan ketika semakin kuat keridhaan tersebut, terkadang rasa sakit itu hilang, tidak terasa sama sekali.

Ibnu Mas’ud -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Sesungguhnya Allah dengan kebijaksanaan dan pengetahuanNya, menjadikan ketenangan dan kebahagiaan berada dalam keyakinan dan keridhaan. Sedangkan menjadikan kegelisahan dan kesedihan dalam keraguan dan kebencian.”

‘Alqamah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata mengenai firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia memberi petunjuk kepada hatinya. (at-Taghabun : 11).

 Yaitu, “turunnya suatu musibah kepada seseorang yang mana dia mengetahui bahwa musibah tersebut datang dari Allah – سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, kemudian dia pasrah dan ridha atas musibah tersebut.”

Abu Mu’awiyah al-Aswad -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata mengenai firman Allah – سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (an-Nah: 97). “Yakin, keridhaan dan qana’ah.”

Abu Darda -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mendatangi seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan mengucapkan اَلْحَمْدُ لِلَّهِ  (Segala puji hanya bagi Allah). Beliau -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Kamu sudah benar. Karena sesungguhnya Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– ketika memberikan takdir, Dia –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – menyukai apabila takdir tersebut diterima dengan ridha.”

Ali bin Abi Thalib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- memandang Adi bin Hatim, dan melihatnya dalam keadaan muram. Maka Ali berkata kepadanya, “Wahai Adi, barang siapa yang ridha dengan takdir, maka takdir tersebut akan berjalan dan ia mendapatkan pahala. Sedangkan barang siapa yang tidak meridhai takdir Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى –, maka takdir tersebut akan berjalan akan tetapi amalnya sia-sia.”

Umar bin Abdul Aziz -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Saya tidak memiliki kebahagiaan lagi kecuali pada tempat-tempat takdir.” Ada yang bertanya kepadanya, “Apa yang kamu inginkan?” Maka beliau menjawab, “Apa yang ditakdirkan oleh Allah-عَزَّ وَجَلَّ-.”

Al-Hasan -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Barang siapa yang ridha atas apa yang dibagikan padanya, maka Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – akan melapangkannya dan memberinya berkah dalam bagiannya tersebut. Sedangkan barang siapa yang tidak ridha, maka Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – tidak akan melapangkan dan tidak memberinya keberkahan.”

Salah seorang ulama berkata, “Barang siapa yang tidak ridha terhadap takdir, maka tidak ada obat untuk kebodohannya itu.” Dan ada juga yang berkata, “Di akhirat tidak akan pernah terlihat derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang ridha kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- atas segala hal. Maka barang siapa yang dianugerahi rasa ridha, maka ia telah mencapai derajat yang paling utama.”

Ketika memasuki pagi hari, ada seorang Arab menemukan bahwa unta-untanya banyak yang mati. Kemudian dia bersyair :

لَا وَالَّذِي أَنَا عَبْدٌ فِي عِبَادَتِهِ …. لَوْلَا شَمَاتَةُ أَعْدَاءِ ذَوِى إِحِنِ

مَا سَرَّنِي أَنَّ إِبِلِيْ فِي مَبَارِكِهَا….وَأَنَّ شَيْئًا قَضَاهُ اللهُ لَمْ يَكُنِ

Tidak, demi Dzat yang diriku adalah hamba yang menyembahNya.

Kalau bukan karena kebahagiaan para musuh yang menyimpan kedengkian

Niscaya aku tidak berbahagia bila unta-untaku masih berada di kandangnya.

Dan bahwa sesuatu yang telah Allah putuskan, ternyata tidak akan terjadi.

Wallah A’lam

 

(Redaksi)

 

Sumber:

Al-Bahru ar-Ra-iq Fii az-Zuhdi Wa ar-Raqa-iq, Dr. Ahmad Farid.