ttSungguh Allah ta’ala telah menempatkan Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul dan nabi yang terakhir, dan menjadikan kitabnya ‘al-Qur’an yang mulia’ sebagai penjaga bagi seluruh kitab samawi yang sebelumnya. Dia juga telah menurunkan kitab dan hikmah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjadikan dakwah beliau berlaku umum bagi seluruh umat manusia dan jin, serta kekal abadi sampai hari kiamat nanti. Dengannya, menjadi terputuslah hujjah (alasan) manusia kepada Allah ta’ala, dan dengannya pula, Allah ta’ala telah menjelaskan segala sesuatu, dan telah menyempurnakan agama Islam untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta umatnya sebagai berita sekaligus perintah. Juga, telah menjadikan ketaatan kepada beliau sebagai ketaatan kepada-Nya, dan kemaksiatan terhadap beliau sebagai kemaksiatan terhadap-Nya.

Allah ta’ala berfirman,

وَمَآأَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَآفَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {28}

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia selu-ruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’: 28).

وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ إِنَّا هُدْنَآ إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَآءُ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِئَايَاتِنَا يُؤْمِنُونَ {156}

“Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada-mu semua.” (al-A’raf: 158).

Berdasarkan semua yang telah disebutkan di atas, maka tahuid merupakan kewajiban pertama kali bagi seorang mukallaf. Dia adalah langkah yang pertama dan maqam yang harus ditempuh oleh siapa saja yang hendak berjalan menuju Allah ta’ala. Dia adalah perintah yang pertama dan yang terakhir. Ia merupakan sesuatu yang dengannya seseorang masuk Islam. Jadi, tauhid adalah starting point, dan sesuatu yang terakhir dibawanya keluar dari dunia. Maka tauhid titik penghabisan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ مِنَ الدُّنْيَا: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ، دَخَلَ الْجَنَّةَ.

i]“Barangsiapa yang akhir ucapannya dari dunia ini adalah kalimat “la ilaha illallah”, maka dia masuk surga.” (HR. Imam ahmad, Abu daud, Ibnu Hibban, al-Hakim dan yang lainnya).

Dan di antara penafsiran terhadap firman Allah ta’ala,

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ {10}

“KepadaNyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10), terdapat perkataan Muqatil rahimahullah: “Kalimat tahuid tersebut akan naik ke langit, sementara tauhid itu pun akan menaikkan amalan shalih kepada Allah ta’ala.”

Oleh karena itu, ilmu tauhid, disebut ilmu ushuluddin (ilmu tentang pokok-pokok agama), iman, as-Sunnah, ‘ushul as-Sunnah’ (prinsip-prinsip sunah), syari’at, akidah, ‘al-fiqh al-akbar’ (fikib besar) dan i’tiqad (keyakinan) adalah sebaik-baik ilmu secara umum. Perhatian: Sayyid Quthub telah menyatakan sebutan ‘at-tashawwur al-islami’ (pandangan islam) sebagai ‘ilmu tauhid’, kitabnya berkaitan dengan hal itu telah dicetak dengan judul: “Khashaish at-Tashawwur al-Islami”, itu merupakan kesalahan dari segi bahasa dan syara’. Karena, yang disebut dengan ‘tashawwur’ (pandangan) itu bisa benar dan salah, jujur dan bohong, dan dia termasuk peristilahan di kalangan ahli mantiq (ilmu logika). Di samping itu, Sayyid Quthub juga tidak punya sesuatu yang bisa menguat-kannya dari segi syara’. Sungguh, sebagian orang yang menulis pembahasan akidah Islamiyyah telah berbuat kesalahan, lalu mereka menyebut hal itu sebagai istilah yang bisa diterima dalam perkembangan nama-nama ilmu yang mulia ini. Maka, berhati-hatilah!

Karena itu pula, kalangan ulama salaf memberi nama berbagai kitab yang telah mereka tulis berkenaan dengan as-Sunnah pengukuhan sifat-sifat Tuhan, ke-Mahatinggian-Nya atas makhluk ciptaan-Nya, firman-Nya beserta orang yang menjadi obyek firman-Nya dengan sebutan ‘tauhid’. Karena, menafikan dan mengingkari terhadap hal tersebut berarti ingkar terhadap Allah ta’ala dan kufur terhadap-Nya. Sesungguhnya mengesakan Allah ta’ala berarti menetapkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan menyucikan-Nya dari penyerupaan (tasybih) dan berbagai kekurangan (cacat). Madarij as-Salikin, (1/36)

Dan karena itu pula, di antara ketajaman pemahaman ulama Ahlu Sunnah yang menulis kitab tersebut berdasarkan susunan bab, adalah: mendahulukan pembahasan wahyu dan ilmu atas berbagai pembahasan hukum, seperti yang telah dilakukan oleh Imam al-Bukhari di dalam shahih-nya, ad-Darimi di dalam sunan-nya dan yang lainnya. Al-Fatâwâ, (2/4).

Imam al-Bukhari rahimahullah telah mengkhususkan untuk menutup karya monomentalnya “Shahih al-Bukhari” dengan pembahasan ‘tauhid’. Coba perhatikan bagaimana beliau telah memperkokoh sumber ilmu, yaitu “wahyu” di awal pembahasan, lalu mengakhirinya dengan pembahasan ‘tauhid’ sebagai penopang, sehingga penutupan kitabnya menjadi yang terbaik.

Al-Qur’an al-Karim berisi penuh dengan ketetapan tauhid, penjelasannya, memberikan berbagai contoh-contohnya, dan demi-kianlah seterusnya. Sebab, ketika suatu ilmu itu sangat dibutuhkan oleh manusia, maka tentu dalil-dalilnya harus lebih jelas dan gamblang, sebagai rahmat dari Allah ta’ala kepada makhluk-Nya.

Karenanya, Allah ta’ala di dalam al-Qur’an al-Karim telah mem-beritahukan, bahwasanya Dia telah menyusun rapi berbagai ayat di dalam kitab-Nya dan juga telah memperincinya, agar yang selain-Nya tidak sampai disembah. Sebagaimana firman-Nya,

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ {1} أَلاَّتَعْبُدُوا إِلاَّ اللهَ إِنَّنِي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ {2}

“Alif Laam Raa’, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya.” (Hud: 1-2).

Atas petunjuk dari kitab Allah ta’ala inilah orang-orang yang berbenah diri dan para imam mujtahidin mendapatkan hidayah dalam penetapan tauhid, penjelasan tentang hakikat dan pengamalannya, dan mereka sangat tegas dan jelas dalam menjelaskan syirik, tentang batasan dan hakikatnya. Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) mempunyai andil besar dan kedudukan yang sangat tinggi. Oleh karenanya, Abu Hayyan rahimahullah menyebutkan peranan beliau, seraya mengatakan, “Dalam hal membela syari’at (agama) kita ini, Ibnu Taimiyah telah menempati posisi seorang pimpinan suku Taim di saat suku Mudhar menyerang mereka. Beliau telah menunjukkan kebenaran di saat atsar-atsarnya telah dilupakan, dan memadamkan kekufuran di saat percikan apinya membumbung tinggi.”

Al-Qur’an pun seluruhnya berbicara tentang tauhid, hak-haknya dan ganjarannya, juga tentang bentuk syirik dan pelakunya, serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. Dan kebanyakan surat di dalam al-Qur’an berisi ajaran tauhid, bahkan seluruh surat di dalam al-Qur’an.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]