ooooPara ahli fikih dalam persoalan hukum seseorang yang murtad, yaitu seorang muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya, maka jenis kekufuran yang pertama kali mereka sebut adalah syirik. Mereka mengatakan, “Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah ta’ala, maka dia telah menjadi kafir. Karena, syirik menurut mereka adalah jenis kekufuran yang paling besar.

Oleh karena itu , Allah ta’ala telah memerintahkan, memutuskan, menghukumi, dan mengharuskan kepada hamba-hamba-Nya untuk mengesakan dan menyembah kepada-Nya semata, bukan kepada salah satu di antara-Nya.

Allah ta’ala berfirman,

…وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا …. {31}

“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa…” (at-Taubah: 31).

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ…{23}

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia…” (al-Isra: 23).

….إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ أَمَرَ أَلاَّتَعْبُدُوا إِلآًّإِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {40}

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi keba-nyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40).

Dan karena itu pula, disebutkan di dalam al-Qur’an al-‘Azhim kesaksian (syahadah) yang paling mulia, agung, adil dan jujur dari seorang saksi yang paling mulia, dengan persaksiaan yang paling mulia, yaitu kesaksian Allahta’ala bagi diri-Nya sendiri terhadap tauhid ini. Dan sungguh para malaikat, nabi dan rasul-Nya telah bersaksi kepada-Nya dengan tauhid tersebut. Allah ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ {18} إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ ….. {19}

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 18-19).

Maka dengan sebenar-benarnya, kami katakan kepada penghuni bumi,

يَاقَوْمَنَآ أَجِيبُوا دَاعِيَ اللهِ وَءَامِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ {31}

“Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih.” (al-Ahqaf: 31)

Tauhid agung yang merupakan seruan dakwah para rasul, dan cita-cita bagi semua da’i dan kaum reformis ini, mengandung pengesaan terhadap Allah ta’ala di dalam Rububiyyah-Nya, yaitu bahwasanya hanya Allah-lah Sang Pencipta segala sesuatu, Yang Maha meng-adakan, Maha memberi bentuk dan rupa, Maha memberi rizki, Maha menghidupkan, Maha mematikan, Maha memberi manfaat, dan Maha mendatangkan madharat. Tauhid Rububiyyah ini juga tidak pernah diingkari oleh orang-orang musyrik. Bahkan, mereka mengakui bahwasanya Allah ta’ala adalah Pencipta mereka, Pemberi rizki bagi mereka, Pencipta seluruh langit dan bumi, dan Pemegang seluruh kemaslahatan alam. Dan hanya kepada-Nya-lah, seluruh manusia baik yang mukmin maupun yang kafir berkumpul. Tauhid Rububiyyah ini juga sebagai petunjuk terhadap tauhid Uluhiyyah. Maka, berangkat dari pengakuan terhadap pengesaan Allah di dalam Rububiyyah-Nya ini, diharuskan adanya pengakuan terhadap pengesaan Allah ta’ala di dalam Uluhiyyah-Nya.

Oleh karena itu, Allah ta’ala berhujah (berargumen) terhadap mereka dengan tauhid Rububiyyah-Nya atas pengesaan terhadap-Nya di dalam Uluhiyyah-Nya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ …. {21}

“Hai manusia, sembahlah Rabb-mu Yang telah menciptakanmu.” (al-Baqarah: 21).

Dari kedua tauhid besar ini (Rububiyyah dan Uluhiyyah), diharuskan adanya pengesaan terhadap Allah ta’ala di dalam asma’ dan sifat-sifat-Nya, yaitu dengan menetapkan nama dan sifat yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya sendiri, dan yang telah ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sekarang nyatalah kebenaran, bahwasanya pusat permasalahan, dasar dari semua prinsip, landasan agama, kefardhuan yang paling fardhu, dan kewajiban yang paling wajib adalah tujuan Allah ta’ala menciptakan manusia, dan menjadi kelaziman mereka, yaitu meng-hadap kepada Allah ta’ala, membutuhkan-Nya, mengarahkan hati kepada-Nya dalam segala urusan, bertauhid dan hanya mengesakan-Nya dengan ibadah, bukan kepada salah seorang pun dari makhluk-Nya. Maka, tidak ada yang berhak disembah kecuali hanya Allah ta’ala.

Beriman kepada Allah ta’ala dan mengesakan-Nya merupakan satu landasan, dan seluruh rukun iman dan amalan di dalam Islam merujuk kepadanya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah ta’ala, maka berarti dia telah beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, serta beriman kepada qadar baik dan buruk-nya, manis dan pahitnya, juga telah menyembah kepada Allah ta’ala dan mengesakan-Nya dengan sebenar-benarnya.

Hakikat dan intisari dari tauhid ini adalah agar Anda bisa melihat segala perintah dari Allah ta’ala dengan penglihatan yang bisa memalingkan perhatian kepada berbagai sarana, dan agar Anda menyembah-Nya dengan suatu ibadah yang khusus bagi-Nya, dan janganlah Anda menggunakan satu pun jenis ibadah tersebut kepada selain-Nya.

Ini merupakan tauhid kepada Allah yang mengutus para rasul, yaitu pengesaan oleh seorang hamba terhadap Tuhannya di dalam niat dan keikhlasan, dengan penuh kecintaan, kerendahan dan ketundukan kepada-Nya yang paling sempurna, sebagaimana firman Allah ta’ala,

…فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ {2} أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ …. {3}

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (az-Zumar: 2-3).
Dan firman-Nya,

فَادْعُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ {14}

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).” (Ghafir: 14). Yang demikian ini adalah makna dari kesaksian bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah ta’ala semata.

Allah ta’ala tidak boleh disembah kecuali dengan apa yang telah Dia syari’atkan melalui lisan Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah ta’ala,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ {31}

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali ‘Imran: 31). Dan firman-Nya,

…..وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا …. {7}

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7). Dan yang demikian ini adalah makna dari kesaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah ta’ala, di samping sebagai bentuk tauhid dalam hal mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (mutaba’ah).

Adapun penjelasan dan penyampaian ini, merupakan kewajiban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya untuk yang pertama kalinya. Sungguh, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaksanakan perintah Tuhannya dan menyampaikan risalah-Nya, sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman,

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ …. {67}

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu…” (al-Ma’idah: 67).

Allah ta’ala juga telah berfirman,

…وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ ….{44}

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl: 44). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan, menjelaskan, memperingatkan dan memberi kabar gembira.

Pembenaran tentang semua itu, terdapat di dalam firman Allah ta’ala

….الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا …..{3}

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (al-Ma’idah: 3).

Maka, tauhid dan ibadah tidak akan benar kecuali dengan memenuhi kedua rukun besar ini, yaitu: ikhlas karena Allah ta’ala dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (mutaba’ah). Berdasarkan kedua landasan (ikhlas dan mutaba’ah) ini pula, secara keyakinan, ucapan, pengamalan dan pengabaian, agama Islam telah ditegakkan. Kedua-nya merupakan bentuk tauhid yang tanpanya tiada keselamatan bagi seorang hamba terhadap siksa Allah ta’ala. Yaitu, pengesaan terhadap Dzat (Allah) yang mengutus dan pengesaan di dalam mengikuti sunnah rasul utusan.

Kesemuanya ini terkumpul dalam satu definisi yang menjelaskan tentang hakikat ibadah, yaitu bahwasanya ibadah adalah sebuah nama yang mencakup seluruh kecintaan, kerendahan dan ketundukan yang paling sempurna dan paripurna kepada Allah ta’ala. Hal itu menuntut adanya penggunaan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allah ta’ala. Seperti kecintaan, ketakutan, pengharapan, kerendahan, ketundukan, harap, cemas, takut, tawakkal (pasrah), taubat, shalat, penyembelihan, nadzar, do`a, berhukum dengan syari’at Allah ta’ala dan berbagai jenis ibadah lainnya baik yang bersifat ucapan, perbuatan maupun pengabaian. Semua itu tercakup di dalam: ‘do`a ibadah dan pujian’ dan ‘do`a permintaan dan permohonan’. Hal itu bisa ditemukan di dalam banyak ayat dalam al-Qur’an, seperti firman Allah ta’ala

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia….” (al-Isra: 23). Dan firman-Nya,

وَمَآ أُمِرُوْ~ا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا االزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ {5}

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5). Dan masih banyak lagi ayat lain yang menunjukkan keharusan untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah ta’ala, dan melepaskan segala bentuk ibadah kepada selain Dia, seperti menyembah para nabi, rasul dan orang-orang yang dijadikan sebagai sekutu bagi Allahta’ala,.

[Sumber: Dinukil dari kitab [Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]