tasbihSesungguhnya ‘as-Subhah’ (tasbeh) adalah batu merjan atau selainnya yang dirangkaikan pada sehelai benang. Bentuk jamaknya adalah ‘Subah’, dan jamak ini bisa dijamakkan lagi (sighat muntahal-jumu’) dengan ‘Tasâbîh’. Istilah ini disebut pula dengan ‘Misbahah’ yang mempunyai bentuk jamak ‘Masâbih’ dan ‘Masâbîh’, juga disebut pula dengan istilah ‘Nizhâm’. Dia sudah dikenal pada masa sebelum Islam, dan bahkan sebelum Masehi. Pendapat lain mengatakan, bahwasanya dia dikenal setelah tahun 800 M dalam agama Budha, lalu pada kebanyakan umat non Arab dan para pemeluk agama Hindu, Nasrani dan yang lainnya. Mereka menggunakannya sebagai simbol keagamaan dalam berbagai acara ritual mereka, dan untuk tujuan, keyakinan (akidah), tameng diri, jimat (tamimah), juga untuk me-ruqyah (mengobati penyakit), dan lain sebagainya.

Istilah ‘as-subhah’ (tasbeh) belum dikenal oleh kalangan orang-orang Arab di dalam berbagai acara ritual dan adat istiadat mereka pada masa Jahiliyyah. Oleh karena itu, istilah ini tidak pernah disebut-sebut dalam perkataan mereka, baik di dalam puisi maupun sya’ir mereka.

Ketika cahaya kerusalan nabi terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersinar, maka di antara tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang disampaikan kepada umatnya adalah menghitung bacaan dzikir dengan jari tangan, baik jari dari kedua tangan ataupun jari dari tangan kanan saja. Karena, jari-jari itu akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat nanti, sehingga jari-jari itu pun bisa menjadi saksi bagi seorang hamba. Oleh karena itu, syariat Islam menganjurkan kepada beliau sewaktu menghitung bacaan dzikir agar menggunakan alat yang dimilikinya kapan dan dalam keadaan apa pun, tanpa perlu bersusah payah atau membuat suatu simbol dan banyak aturan, juga tanpa membuat sesuatu yang malah mendorong kepada perbuatan riya’ (pamer) dan ghuluw (kultus, ekstrem), yaitu cukup dengan ‘jari-jari tangannya’ yang menjadi bentuk keteladanan dalam ibadah. Maka keteladanan ini pun disebut dengan ‘ketaatan jari-jarinya’.

Oleh karena itu, ketika fenomena penghitungan tasbeh dengan batu kerikil atau biji-bijian mulai terlihat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengarahkan mereka untuk berdzikir yang sekaligus mencakup unsur kebaikan, keutamaan dan kemudahan, sebagaimana beliau telah mengajarkan ‘biangnya do`a istighfâr’ (sayyidul-istighfar) kepada orang-orang yang memohon ampunan. Juga, sebagaimana beliau telah melarang para jamaah haji agar tidak secara berlebih-lebihan memilih batu yang besar untuk melontar jumrah. Yang terakhir ini merupakan larangan untuk tidak berlebih-lebihan di dalam sifat dan ukuran, sedangkan yang sebelumnya adalah larangan untuk tidak berlebih-lebihan dalam berpaling dari dzikir yang mencakup semua hal (al-adzkâr al-jâmi’ah), dan dari dzikir dengan menggunakan jari-jari tangan yang telah dianjurkan kepada mereka oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu beliau melihat mereka telah menghitung bacaan dzikir dengan batu-batu kerikil dan yang sejenisnya. Tidak ada satu pun hadîts yang menyatakan tentang penghitungan tasbeh dengan selain jari-jari tangan ini. Sesungguhnya hadîts yang dimarfu’kan/dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada empat: (pertama): hadîts Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan bahwasanya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam telah bertasbîh dengan batu-batu kerikil, hadîts ini dihukumi maudhu’ (palsu); (kedua): hadîts yang berbunyi: “sebaik-baik pengingat (kepada Allah) adalah tasbeh’, hadîts ini juga dalam kedudukan hadîts palsu, (ketiga): hadîts Shafiyyah radhiyallahu ‘anha yang di dalamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengingkari perbuatannya dan bertanya: “apakah ini?”, untuk kemudian menunjukkan kepadanya bacaan dzikir yang mencakup semua hal (dzikir jami’); dan (keempat): hadîts Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu, hadîts ini menunjukkan tidak disyariatkannya tasbeh tersebut, dan bahwa perkataan Nabishallallahu ‘alaihi wasallam: ’Maukah kamu kuberitahu sesuatu yang lebih mudah dan utama.”, di dalamnya terdapat ‘af’al lit-tafdhîl” (kata kerja berbentuk komparatif) yang datang bukan pada konteksnya, di samping sebenarnya di dalam sanad kedua hadîts Shafiyyah dan Sa’ad tersebut masih ada catatan lain. Karena itulah, zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berakhir tanpa ada penghitungan tasbeh dengan batu-batu kerikil atau biji-bijian, apalagi bertasbîh dengan batu-batu kerikil atau biji-bijian dalam keadaan terangkai di dalam suatu benang (berbentuk kalung).

Oleh karena itu, jika Anda menjumpai lafazh ‘subhah’ di dalam sebuah hadîts, maka hal itu tidak akan kembali kecuali kepada haki-kat syar’i, yaitu ‘do`a’ atau ‘bacaantasbîh dalam shalat’ (subhat ash-shalat). Dan tidak akan terdetik di dalam hati anda penafsirannya dengan makna ‘subhah’ (tasbeh) yang bid’ah ini. Karena, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan memberikan perintah (ucapan) kepada umatnya kecuali dengan berbagai hakikat syar’i melalui jalur lisan Arab. Alangkah indahnya keadilan al-Laknawi rahimahullah (w. 1304 H) dalam menjelaskan hadîts tidak shahih “sebaik-baik pengingat adalah ‘subhah’ (tasbîh)”, beliau menafikan penafsiran kata ‘subhah’ dengan ‘benang yang digunakan untuk merangkai batu merjan’. Di sini, beliau berhujjah dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya.

Berdasarkan petunjuk yang umum ini pula, masa sahabat radhiyallahu ‘anhum berpegang teguh. Dan tidak ditemukan dari salah seorang mereka satu huruf pun yang secara shahih menyatakan bahwa dia telah menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan menghitung bacaan tasbîh dan dzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Apalagi, sampai menjadikan batu kerikil dan biji-bijian tersebut dalam suatu benang yang disimpul. Semua riwayat berkenaan dengan hal ini tidak satu pun yang terlepas dari catatan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]