tassSedangkan pada masa tabi’in dan akhir-akhir masa sahabat, ketika di tengah kalangan tabi’in terlihat fenomena penghitungan berbagai bacaan dzikir dengan batu-batu kerikil atau biji-bijian secara tersusun dan terangkai dalam suatu benang, maka di antara para sahabat dan tabi’in yang masih lurus segera mengingkari dan mela-rangnya. Sebagai contoh, Ibnu Mas’ud radhiyallahu \’anhu pernah berkata kepada sahabat-sahabatnya dari kalangan tabi’in: “Sungguh kalian telah men-ciptakan bid’ah secara zhalim, atau telah mengungguli ilmu para sahabat Muhammad shallallahu \’alaihi wasallam ” Ibnu Mas’ud radhiyallahu \’anhu juga telah memotong benang tasbeh seorang wanita, dan juga telah menendang seorang lelaki dengan kakinya ketika beliau melihatnya menghitung tasbeh dengan batu-batu kerikil. Dan beliau telah mengumumkan kebenciannya terhadap penghitungan bacaan dzikir dengan batu-batu kerikil atau biji-bijian di tengah kerumunan banyak orang, beliau mengatakan:“Apakah kebaikan-kebaikan semua itu akan diberikan kepada Allah?”

Begitulah, Ibnu Mas’ud radhiyallahu \’anhu telah mencegah bentuk pengkul-tusan (ghuluw) dan para pelakunya (ghulaat). Oleh karena itu, ‘Amr bin Salamahrahimahullah pernah berkata, “Aku melihat kebanyakan orang-orang tersebut, yaitu orang-orang yang dilarang menghitung tasbîh dengan batu-batu kerikil oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu \’anhu, adalah mereka yang bersama dengan kelompok Khawarij memfitnah kami pada peristiwa Nahrawan.”

Tokoh terkemuka kaum tabi’in pada masanya, Ibrahim bin Yazid an-Nakh’I rahimahullah (w. 96 H) telah melarang putri-putrinya memin-tal benang untuk dibuat tasbeh, karena ia dijadikan sebagai cara atau jalan kepada sesuatu yang tidak disyariatkan (ghairu masyru’). Hal ini seperti larangan terhadap penjualan anggur kepada orang-orang yang membuatnya sebagai khamer (minuman keras). Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang semisalnya berkaitan dengan pengharaman terhadap berbagai sarana yang berdampak munculnya perkara yang diharamkan seperti bid’ah.

Ketika berbagai cara ibadah yang bid’ah tersebut telah meram-bah di tengah-tengah kaum muslimin melalui tangan para pendeta Nasrani, yaitu kepada orang-orang sesat dari kelompok Rafidhah dan sekelompok kalangan Ahlussunnah, maka berbagai cara tasawuf yang ada di dalam kaum muslimin telah disibukkan dengan hal baru (bid’ah) tersebut untuk membiasakan ribuan dzikir dan wirid, di samping pemakaian berbagai tanda dan ciri yang sama sekali tidak ada dalilnya, seperti mengenakan pakaian kumuh dan sorban yang sudah berwarna-warni (kotor), menggelar tikar, hadhrah (merasa hadir menjumpai Allah),…. dan tasbeh. Sehingga, tasbîh ini telah menjadi sebuah simbol, dianugerahi banyak nama dan gelar, dan diyakini mengandung bemacam-macam keyakinan yang mana penjelasan dan perinciannya telah dijelaskan terdahulu.

Berdasarkan semua yang telah disebutkan terdahulu, maka tidak diragukan lagi bagi seorang yang lurus (munshif) bahwa penggunaan tasbeh untuk menghitung bacaan dzikir itu merupakan tindakan meniru (tasyabbuh) orang-orang kafir, bid’ah yang ditambahkan ke dalam ibadah dzikir dan wirid, dan sikap berpaling dari cara yang masyru’ (benar), yaitu menghitung dzikir dengan jari-jari tangan yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu \’alaihi wasallam melalui perkataan dan perbuatan beliau, dan yang telah diwarisi oleh kaum muhtadun (orang-orang yang mendapat hidayah) yang mengikuti sunnah beliau sampai hari ini. Kepada hidayah Nabishallallahu \’alaihi wasallam inilah, seluruh perbedaan pendapat dikembalikan, dan dengannya pula, pendapat yang benar ditentukan sewaktu terjadi perselisihan.

Di samping itu, kalangan ulama fikih madzhab yang dijadikan panutan juga tidak akan berselisih pendapat mengenai tesis yang mengatakan, bahwa menghitung dzikir dengan jari-jari tangan itu lebih utama daripada menghitung dzikir dengan selainnya, semisal dengan batu kerikil dan yang sejenisnya yang tersusun dan terangkai (di dalam suatu benang). Juga, tesis yang mengatakan bahwa jika ditambahkan kepada tasbeh ini perkara lain yang tidak disyariatkan, semisal berkalung tasbeh di leher sebagai bentuk ibadah dan bermewah-mewahan memakainya dikarenakan dia merupakan tali penghubung kepada Allah ta\’ala, juga masuknya suatu keyakinan baik yang bermanfaat atau malah yang merusak, penampakan ibadah dan zuhud, dan lain sebagainya dari apa yang dilarang oleh syara’. Karena, menggunakan tasbeh dengan bentuk yang berlebihan itu diharam-kan. Di sini, saya akan menambahkan dua masalah penting, yaitu:

Pertama, saya katakan, bahwa siapa saja yang mengetahui sejarah penggunaan tasbeh, yaitu bahwa tasbeh tersebut termasuk di antara syi’ar orang-orang kafir dari umat Budha, Hindhu, Nasrani dan yang lainnya, dan bahwa tasbeh tersebut telah merambah ke tengah-tengah kaum muslimin berasal dari rumah-rumah peribadatan mereka, maka ia pasti paham bahwa tasbeh tersebut termasuk salah satu keistimewaan rumah-rumah peribadatan kaum kafir, dan bahwa penggunaan tasbeh oleh seorang muslim sebagai wasilah ibadah, adalah tindakan bid’ah yang sesat. Alhamdulillah, hal ini terlihat sangat jelas.

Yang demikian ini merupakan pemahaman tentang hukum bid’ahnya tasbeh yang mana saya belum pernah melihat adanya seseorang yang menyelisihinya dari kalangan ulama terdahulu (salaf), selain Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah, kalangan ahli ma’rifat setelahnya, dan orang-orang setelah mereka. Kalaupun seandainya hal ini nyata bagi mereka, niscaya tak satu pun dari mereka yang menetapkan kebolehannya. Sebagaimana hal itu juga berlaku di dalam penetapan-penetapan mereka di dalam banyak hukum, yang mana aplikasi dari kaidah pelarangan tasbeh ini, adalah adanya unsur tasyabbuh (penyerupaan terhadap orang-orang non muslim).

Kedua, dalam hal penggunaan tasbeh ini kalangan yang ekstrem berkata, “Sesungguhnya penghitungan dzikir dengan jari-jari tangan itu mudah dilakukan dalam bacaan dzikir yang sedikit seperti seratus ke bawah. Adapun bagi orang-orang yang membiasakan bacaan wirid yang banyak dan dzikir yang berantai, maka jikalau mereka menghi-tung bacaan-bacaan tersebut dengan jari-jari mereka niscaya akan terjadi kesalahan dalam menghitung, dan mereka pun akan disibukkan dengan jari-jari tangan mereka. Inilah hikmah dari penggunaan tasbeh tersebut.”

Saya katakan: Di dalam syariat yang suci ini tidak ada bacaan pada dzikir yang terikat dengan keadaan, waktu atau tempat dan juga pada dzikir yang tidak terikat (dzikir yang mutlak) yang dibaca lebih dari seratus kali. Allah ta\’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (al-Ahzab: 41).

“Berkata Zakariya, “Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung).” Allah berfirman, “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Rabbmu sebanyak-banyaknya serta bertasbîhlah di waktu petang dan pagi hari.” (Ali ‘Imran: 41).

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (al-Anfal: 45).

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu\’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta\’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu\’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab: 35).

Maka, seseorang membebani dirinya dengan membaca dzikir yang terikat (muqayyad) dengan jumlah yang tidak pernah diperin-tahkan oleh Allah ta\’ala dan Rasul-Nyashallallahu \’alaihi wasallam adalah merupakan bentuk tambahan terhadap apa yang sudah disyariatkan (masyru’). Sementara, pada sisi lain nafsu seorang mukmin tidak mudah puas dengan kebaikan dan banyaknya bacaan do`a dan dzikir. Jadi perkara yang mutlak ini merupakan anugerah dari Allah ta\’ala kepada para hamba-Nya dalam bentuk do`a dan dzikir yang mutlak yang telah disyariat-kan oleh Allah ta\’ala, dengan tidak ditetukan jumlahnya. Masing-masing menurut kemampuan, waktu luang dan kesibukan orang yang mela-kukannya. Begitu pula, ini juga termasuk kemudahan dan rahmat yang diberikan oleh Allah ta\’ala kepada para hamba-Nya.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]