Pembuka al-Fatihah berkata, “Segala puji bagi Allah Rab alam semesta.” Rabb adalah yang memiliki, yang dipertuan, yang menumbuhkan, yang mengurusi, yang memberi nikmat, yang mengatur dan yang memperbaiki. Keyakinan kepada rububiyah Allah berarti meyakini bahwa hanya Allah saja yang demikian, maksudnya yang mencipta, memiliki, mengatur, memberi dan menahan.

Rububiyah Allah ditetapkan melalui beberapa metode:

Pertama: Berdalil Kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Memang tidak semua orang bisa memahami metode ini, karena ia memerlukan pencermatan, sehingga hanya orang-orang khusus saja yang mampu memahami, namun pemahamannya juga tak sulit, yaitu mengetahui Allah dengan Allah, berdalil kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah atas perbuatan-perbuatan dan rububiyahNya dan selanjutnya atas ilahiyahNya dan bahwa hanya Dia yang berhak untuk disembah. Inti dalil ini adalah berdalil kepada sesuatu yang lebih jelas atas sesuatu yang lebih samar, dan tidak ada yang lebih jelas daripada Allah, sehingga berdalil atasNya tidak diperlukan, sebagaimana yang diucapkan oleh Abdullah bin Rawahah dan diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 3034 dan Muslim no. 1802,

Demi Allah, kalau bukan karena Allah niscaya kami tersesat
Kami tidak bersedekah dan kami juga tidak shalat.

Hal itu dia ucapkan di depan Nabi saw dan beliau tidak mengingkarinya, bahkan beliau ikut bersenandung bersama para sahabat, hal ini menunjukkan bahwa ucapan, “Sesungguhnya Allah diketahui dengan Allah dan segala sesuatu diketahui dengan Allah.” adalah benar. Allah Ta’ala pada hakikat yang menunjukkan manusia kepada diriNya melalui ayat-ayatNya, Dia adalah penunjuk dalam arti sebenarnya bagi hamba-hambaNya melalui tanda-tanda kebesaran dan keagunganNya yang dia tegakkan.

Di antara nama Allah adalah al-Mukmin yang berarti –menurut salah satu penafsiran- yang membenarkan orang-orang yang benar melalui bukti-bukti kebenaran mereka yang Dia tegakkan untuk mereka, karena Allah pasti akan memperlihatkan kepada hamba-hambaNya tanda-tanda kebesaranNya di langit dan pada diri manusia yang membuktikan kepada mereka bahwa wahyu yang disampaikan oleh rasul-rasulNya adalah haq.

Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur`an itu adalah benar.” (Fushshilat: 53)

Kemudian Allah berfirman, “Tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fushshilat: 53).

Allah Ta’ala bersaksi untuk RasulNya dengan firmanNya bahwa apa yang dia bawa adalah haq, Dia menjanjikan akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya melalui perbuatan dan penciptaanNya kepada hamba-hambaNya yang membuktikan hal itu.

Kemudian Allah menyebutkan apa yang lebih agung dan lebih mulia dari itu, yaitu kesaksian Allah atas segala sesuatu, karena di antara namaNya adalah asy-Syahid yang Maha menyaksikan segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang samar bagiNya, sebalikNya Dia mengetahui segala sesuatu, menyaksikannya dan mengetahui rinciannya.

Ini adalah berdalil kepada nama-nama dan sifat-sifatNya, sedangkan yang pertama adalah berdalil kepada firman dan kalimatNya.

Berdalil kepada tanda-tanda kebesaranNya di langit dan pada diri manusia adalah berdalil kepada perbuatan-perbuatan dan makhluk-makhlukNya.

Bila Anda berkata, bagaimana Anda berdalil kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah? Berdalil kepadanya tidak dikenal dalam terminologi.

Kami menjawab, Allah Ta’ala telah menitipkan dalam fitrah yang bersih dari sikap pengingkaran dan ta’thil, yang belum terkontaminasi oleh tasybih dan tamtsil bahwa Allah Ta’ala adalah yang sempurna dalam nama-nama dan sifat-sifatNya, bahwa Dia disifati dengan sifat-sifat yang Dia dan rasulNya tetapkan untuk diriNya, kesempurnaan Allah yang belum diketahui oleh makhlukNya lebih besar, lebih besar dari apa yang telah mereka ketahui darinya.

Di antara kesempurnaanNya yang suci adalah kesaksianNya atas segala sesuatu dan pengetahuanNya atasnya, di mana tidak ada semut hitam di langit dan di bumi, lahir dan batin yang samar bagi Allah. Allah yang demikian keadaanNya, masihkah pantas bagi manusia mempersekutukanNya, menyembah selainNya dan mengangkat sesembahan lain selain Allah?

Apakah sesuai dengan kesempurnaan Allah bila Dia membiarkan orang yang berdusta atasNya dengan kedustaan paling besar, mengabarkan dariNya berbeda dengan kebenaran, kemudian Dia tetap mendukungnya, menolongnya, meninggikan derajatnya, memenangkan dakwahnya, membinasakan musuhnya, memperlihatkan tanda-tanda dan bukti-bukti melalui kedua tangannya di mana kekuatan manusia tidak kuasa menandinginya, padahal pada semua itu dia adalah pembual dan pembohong?

Sudah dimaklumi bahwa kesaksian Allah Ta’ala atas sesgala sesuatu, kodrat, hikmah, kemuliaan, kesempurnaanNya yang suci menolak semua itu, siapa yang mengatakan bahwa hal tersebut mungkin, maka dia adalah orang yang paling tidak mengetahui Allah.

Nama-nama dan sifat-sifatNya juga dijadikan sebagai dalil atas keesaanNya dan kebatilan syirik, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan yang haq selain Dia, Raja, yang Mahasuci, yang Mahasejahtera, yang mengaruniakan keamanan, yang Maha memelihara, yang Mahaperkasa, yang Mahakuasa, yang memiliki segala keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr: 23). Dan ayat senada dalam al-Qur`an berjumlah besar.

Jalan ini sedikit penitinya, hanya orang-orang khusus yang bisa menemukannya, sedangkan metode jumhur adalah berdalil kepada ayat-ayat yang terlihat oleh pandangan mata karena ia lebih mudah diambil dan lebih luas, dan Allah Ta’ala mengunggulkan sebagian makhlukNya atas sebagian yang lain.

Al-Qur`an yang agung menggabungkan hal-hal yang tidak dicakup oleh selainnya, al-Qur`an adalah dalil sekaligus obyek dalil, saksi sekaligus obyek kesaksian, Allah Ta’ala berfirman kepada orang yang mencari-cari bukti atas kebenaran RasulNya, “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur`an) sedang ia dibacakan kepada mereka?” (Al-Ankabut: 51).

Syarah Thahawiyah, Ibnu Abul Izz al-Hanafi, Tartib Dr. Khalid Fauzi Hamzah.