Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَتُحِبُّ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ وَتُدْرَكَ حَاجَتُكَ؟ ارْحَمِ الْيَتِيمَ، وَامْسَحْ رَأْسَهُ، وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ، يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ

“Apakah engkau ingin hatimu lembut dan kebutuhanmu terpenuhi? Maka sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya dan berilah ia makan dari makananmu nicaya hatimu akan menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi.” (HR. Ath-Thabrani. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’, no. 80).

 

Penjelasan hadits

Manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terdiri dari dua unsur, yaitu zahir dan batin. Dan unsur batin yang paling penting adalah hati. Hati adalah tempatnya akal manusia untuk berfikir. Hati mempunyai kedudukan yang penting dalam kehidupan manusia, sehingga ada sebuah perkataan yang sangat masyhur, “Manusia itu dinilai dari dua anggota tubuhnya, yaitu hati dan lisannya.” Karena hati adalah bagai raja dalam tubuh dan lisan bagai penerjemahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

 “Ketahuilah, bahwa dalam hati manusia ada segumpal daging, jika ia baik maka akan baik seluruh tubuhnya dan jika ia buruk maka akan buruk pula seluruh tubuhnya, ketahuilah ia adalah hati.” (HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Dalam keseharian, kita ambisius untuk mengejar target duniawi guna memenuhi hajat jasad kita. Yang di kantor sibuk dengan pekerjaan kantornya, yang di pasar sibuk dengan barang dagangannya, yang di ladang sibuk dengan pertanian dan peternakannya. Semua sibuk dengan profesinya masing-masing, ditambah lagi jarangnya hati mendapatkan siraman rohani, sehingga menyebabkan kita jauh dengan Sang Pencipta dan lama kelamaan hati kita menjadi keras dengan tanpa kita sadari. Di saat itulah kita butuh kelembutan hati.

 

Solusi melembutkan hati

Termasuk tibbun nabawi (pengobatan ala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk melembutkan hati yang telah mengeras adalah menyayangi anak yatim dan menyantuninya. Imam al-Haitsami menceritakan, bahwa ada salah satu sahabat datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan hatinya yang keras, lalu beliau menasihatinya agar menyayangi anak yatim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ارْحَمِ الْيَتِيمَ، وَامْسَحْ رَأْسَهُ، وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ، يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ

“Sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya dan berilah ia makan dari makananmu nicaya hatimu akan menjadi lembut dan kebutuhanmu akan terpenuhi.” (HR. Ath-Thabrani. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’, no. 80).

Dari sabda Nabi di atas kita mengetahui, bahwa menjalin hubungan dengan anak yatim dan orang-orang yang lemah dapat melembutkan hati seseorang, karena ketika kita dekat dengan mereka, kita akan teringat betapa besar karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dilimpahkan kepada kita semua, baik dari kelengkapan anggota keluarga atau dari sisi tercukupinya kebutuhan kita dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian hati kita menjadi terenyuh dan menjadi lembut. Dan karunia itu semua tidak ada pada mereka.

al-Malla Ali al-Qari menjelaskan hadits di atas dan yang semakna dengannya, dengan mengatakan, “Sabda beliau, ‘usaplah kepala si yatim,’ dengan ini engkau mengingat kematian, sehingga lebih memanfaatkan hidup. Karena sesungguhnya kerasnya hati sumbernya adalah lalai. Dan sabda beliau, ‘dan berilah makan kepada si miskin,’ ini agar engkau melihat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada pada dirimu, sekiranya Dia telah mencukupimu, sementara orang lain membutuhkan bantuanmu, dengan demikian hatimu menjadi lembut dan dan tidak menjadi keras lagi.”

 

Bagaimana cara menyayangi anak yatim?

Ada banyak cara untuk menyayangi anak yatim, di antaranya adalah:

  1. Bersikap baik, memberikan hak dan tidak menzalimi anak yatim.

Anak yatim tidak mempunyai ayah, hal ini menuntut orang yang lain untuk menyayangi, bersikap lembut, berkata santun, memberikan haknya dan tidak menzaliminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ

 “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (QS. Adh-Dhuha: 9).

Qatadah menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, “Janganlah engkau menzaliminya.”

 

  1. Menjaga harta anak yatim

Hal ini langsung ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ

 “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (QS. Al-An’am: 152).

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kalian mendekati hartanya kecuali untuk kemaslahatannya dan untuk mengembangkannya.”

Hal ini seperti yang dikatakan oleh para ahli tafsir lainnya. As-suddi berkata, “Hendaklah ia mengembangkan hartanya (si yatim).” Mujahid berkata, “Dengan cara jual beli dengannya.” (Lihat Tafsir ath-Thabari, 12/221).

Dan barang siapa yang mengambil atau memakan harta anak yatim maka pada hakikatnya ia telah memakan api nereka dan di akhirat nanti ia dimasukkan ke dalam neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10).

As-Suddi menjelaskan, bahwa orang yang makan harta anak yatim dengan cara yang zalim maka ia akan dibangkitan pada hari kiamat sedangkan kobaran api keluar dari mulutnya, kedua telinganya, hidunganya dan kedua matanya.” (Lihat Tafsir ath-Thabari, 7/26).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

أَرْبَعَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُدْخِلَهُمُ الْجَنَّةَ وَلَا يُذِيْقَهُمْ نَعِيْمَهَا: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَآكِلُ الرِّبَا، وَآكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ بِغَيْرِ حَقٍّ،         وَالْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ

“Ada empat golongan yang tidak akan dimasukkan oleh Allah ke dalam surga

dan tidak diizinkan oleh-Nya untuk merasakan nikmatnya surga, yaitu pecandu

minuman keras, pemakan harta riba, pemakan harta anak yatim dengan cara

tidak benar, dan orang yang durhaka kepada orang tuanya.” (HR. Al-Hakim,

  1. 2260. Dan beliau mengatakan hadits ini adalah sanadnya shahih).

 

  1. Memberi makan anak yatim

Islam menganjurkan untuk memberi makan anak yatim yang membutuhkan makanan, dan terlebih lagi jika anak yatim tersebut adalah kerabat sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ

 “Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 11-16). Wallahu A’lam. (Abu Sa’ad Muhammad Farid, Lc., MHI).