Mensyukuri Nikmat

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan rezeki yang telah ditentukan dengan berbagai macam jenisnya bagi para hamba. Di antara rezeki itu adalah makanan. Ada yang enak, lezat, bergizi dan sebaliknya. Semua itu adalah ujian bagi para hamba untuk senantiasa bersyukur, agar apa yang ia nikmati berupa makanan tersebut berbuah kebaikan pahala dan bertambahnya keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat senang jika hamba-Nya bersyukur dan sangat murka jika hamba-Nya berbuat kufur dan zalim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ketika Rabbmu telah memaklumkan; ‘Jika kalian bersyukur pasti akan Aku (Allah) tambahkan nikmat-Ku untuk kalian dan jika kalian ingkar (dengan nikmat-Ku), sungguh siksa-Ku amatlah pedih”. (QS. Ibrahim: 7).

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang berbuat zalim secara umum. Apakah ketika ada orang yang menyajikan makanan kepada kita, lalu kita tidak menyukainya lantas kita caci maki orang yang menyajikannya dan makanan tersebut? Sungguh ini adalah kezaliman yang nyata! Apalagi jika yang menyajikan adalah orang terdekat kita seperti ibu ataupun istri dan keluarga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hamba-Ku, sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman kepada diri-Ku dan Aku telah menjadikan kezaliman (juga) haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zalim” (HR. Muslim, 5/438).

Hadits ini menunjukan haramnya perbuatan zalim dengan segala bentuk dan rupanya. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan larangan berbuat zalim dan larangan terjatuh ke dalamnya. (Lihat, Qawa’id wa Fawaid minal Arba’in An-Nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, hal. 213).

Jika kita tidak berselera dengan makanan yang kita makan, maka perhatikanlah adab (etika) seorang muslim agar tidak tergolong orang yang kufur dan zalim.

 

Qana’ah kepada Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala

Qana’ah adalah sikap ridha dan menerima diri terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan berupa nikmat dan rezeki. Qana’ah adalah sifat yang mulia dan terpuji, karena merupakan bagian dari aplikasi iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Sifat qana’ah bisa menjadikan seseorang menjalani hidup dengan bahagia dan tentram, karena yakin bahwa apa yang ia raih semata-mata takdir dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perhatikanlah hadits berikut:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh telah beruntung seseorang yang telah masuk Islam, diberi rezeki yang cukup dan diberikan sikap qana’ah dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054).

Ketika seorang muslim yang baik dihadapkan dengan makanan yang tidak sesuai selera hendaknya berfikir seribu kali. Jangan sampai dia mengucapkan kata-kata yang menimbulkan dosa, tapi justru harus beradab dengan adab yang baik sebagaimana yang telah dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi kalian; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan selalu ingat kepada-Nya” (QS. Al-Ahzab: 21).

 وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa yang Rasul bawa kepadamu maka ambilah dan apa yang beliau larang maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr: 7).

Ya, apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencakup segala urusan agama, baik yang terkait dengan pokok-pokok ajaran agama maupun yang terkait dengan masalah-masalah parsial (cabang). (Lihat, Tafsir As-Sa’di, hal. 851). Di antara masalah agama ini adalah adab seorang muslim yang senantiasa harus dijaga, khususnya ketika seorang muslim sedang tidak selera dengan makanan, dimana hal itu merupakan bentuk kesempurnaan imannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir no.605).

 

Adab Ketika Tidak Selera Makan

Perhatikan hadits berikut untuk kita ambil faidah dan pelajarannya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَابَ طَعَامًا قَطُّ، كَانَ إِذَا اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ، وَإِذَا لَمْ يَشْتَهِهِ سَكَتَ

“Dari Abu Hurairah berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Rasulullah mencela makanan sekalipun, jika beliau berselera maka beliau memakannya dan jika tidak maka beliau diam’.” (HR. Muslim no. 2064).

Dalam riwayat lain, “Beliau meninggakannya (tidak memakannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 2031).

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Yang seharusnya dilakukan oleh seseorang jika dihidangkan makanan kepadanya agar ia menghargai nikmat Allah akan kemudahan tersebut, mensyukurinya dan tidak mencelanya. Jika dia berselera, boleh baginya untuk memakannya. Jika tidak, hendaknya ia meninggalkannya dan tidak mencelanya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/405).

Dari penjelasan di atas kita bias mengambil beberapa faidah berikut ini:

1. Menghormati Makanan Sebagai Rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala

Ketika seseorang menerima dan tidak mencela makanan, berarti dia secara langsung telah menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mensyukurinya.

Ini adalah adab yang baik dan menunjukan kesempurnaan iman dan akidah seseorang serta sikap qana’ah. Hakikat tauhid yang lurus juga tercermin dalam akhlak yang baik.

2. Menghormati dan Menghargai Hasil Kerja Orang Lain

Orang mukmin yang baik adalah orang yang menghargai hasil karya orang lain. Masakan merupakan salah satu karya seseorang yang patut untuk dihargai dan diapresiasi. Memberikan masukan yang membangun dengan cara yang baik dan tidak menyinggung perasaan merupakan cerminan akhlak yang terpuji.

3. Menjaga Perasaan Orang Lain

Di antara bentuk penghormatan yang lebih dalam adalah menjaga perasaan orang yang memasaknya dan orang yang di sekitarnya. Karena, bisa jadi ada orang yang menyukai makanan tersebut sehingga dengan tidak mencela makanannya, ia tidak tersinggung perasaannya.

 

Tetap Makan Walaupun Tak Senang

Agama Islam melarang pemeluknya untuk menzalimi diri sendiri. Ketika tidak suka dengan sebuah makanan hendaknya ia menjaga diri agar tidak sakit dengan tetap memakannya jika tidak ada pilihan lain, apalagi jika makanan itu sebagai obat (terapi) untuk penyakit yang ia derita. Seorang muslim harus tetap bersabar dengan segala keadaannya.

 

Himbauan untuk Penyaji Makanan

Agar suatu makanan yang sekiranya takut berefek membosankan, maka seorang pemasak (khususnya para istri dan kaum wanita) sangat dituntut untuk terus meningkatkan imajinasi dan kualitas masakannya, disamping bias membuat orang lain makan dengan lahap, juga bisa membuat rumah tangga menjadi tentram dan bahagia penuh dengan cinta. Semua itu adalah lading pahala bagi yang berharap ridha dari Yang Maha Kuasa. Wallahu A`lam.

(Amirudin bin Salimin Basori, Lc.)

 

Referensi:

  1. Taisirul Karimirrahman, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di.

  2. Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin.

  3. Qawa’id wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, dll.