Sepuluh malam terakhir bulan ini, bulan Ramadhan merupakan saat yang istimewa untuk begadang hingga larut malam, bahkan sampai terbitnya fajar. Inilah salah satu hal yang dilakukan suri teladan kita, Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebagaimana yang tercermin dalam perkataan salah seorang istrinya yang paling dicintainya, ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq -semoga Allah meridhai keduanya-. Ia mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

“Bila sepuluh (terakhir dari bulan Ramadhan) telah masuk, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, lebih bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarungnya.” (HR. Muslim, no. 2844).

Menghidupkan malamnya, yakni, menghabiskannya dengan begadang untuk melakukan shalat dan (ketaatan) yang lainnya.

Membangunkan keluarganya, yakni, membangunkan mereka agar mereka melaksanakan shalat di malam tersebut.

Lebih bersungguh-sungguh, yakni, mengerahkan segenap daya upaya untuk beribadah dengan lebih bersungguh-sungguh dari biasanya. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 8/71).

Mengencangkan sarungnya, Abdurrahman as-Suyuthi -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Ada yang mengatakan maksudnya adalah bahwa hal tersebut merupakan ungkapan tentang kesungguhan upaya dalam beribadah lebih dari kebiasaan yang dilakukannya di waktu-waktu lainnya. Makna ungkapan tersebut adalah begadang untuk beribadah… Ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kiasan “menjauhkan diri dari wanita (istri) untuk menyibukkan diri dengan berbagai macam bentuk ibadah”. Al-Qurthubi –semoga Allah merahmatinya- mengatakan, ‘Yang ini lebih utama karena telah disebutkan sebelumnya tentang kesungguhan (Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam) dalam mengerahkan daya dan upaya (untuk beribadah).’” (ad-Diibaaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 3/264).

 

Saudaraku…

Demikianlah… beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam– sang teladan  menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan ini. Beliau menghabiskannya dengan begadang untuk melakukan shalat dan (ketaatan) yang lainnya. Maka, inilah saatnya yang tepat bagi kita untuk begadang hingga larut malam, bahkan hingga terbitnya fajar. Inilah begadang yang sangat dianjurkan. Karena hal tersebut dicontohkan oleh sang teladan Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka, selayaknya kita berupaya untuk meneladaninya. Karena, hal itu bukan merupakan kekhususan bagi beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam-.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيْرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab : 21).

 

Apa maksud di balik “begadang” tersebut ?

Saudaraku…

Begadang yang dilakukan sang teladan tersebut bukanlah tanpa maksud. Justru di balik itu terdapat maksud yang sangat agung. Di samping hal itu tentu saja merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, juga beliau memaksudkan agar mendapatkan sesuatu yang sangat istimewa bagi orang yang beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu “Lailatul Qadar.

Hadits Abu Sa’id al-Khudri –semoga Allah meridhainya- berikut ini mengisyaratkan kepada kita maksud  tindakan beliau tersebut.

Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– pernah beri’tikaf pada sepuluh malam pertama bulan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan Ramadhan dengan menempati sebuah qubbah turkiyyah (tenda yang berukuran kecil terbuat dari bulu domba dan yang sejenisnya) yang alasnya adalah tikar. Abu Sa’id al-Khudri –semoga Allah meridhainya- berkata, ’Beliau menarik tikar tersebut ke arah tenda dengan menggunakan tangan beliau sendiri. (Setelah berada di dalam tenda) kemudian beliau mendongakkan kepalanya untuk berbicara kepada khalayak. Orang-orang yang berada di dalam masjid kemudian mendekat ke arah beliau. Setelah itu, beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda,

إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ اْلأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ، ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ ، ثُمَّ أُتِيْتُ فَقِيْلَ لِي : إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

Sungguh, aku pernah beri’tikaf pada sepuluh malam pertama (bulan Ramadhan) dengan maksud untuk mencari malam ini (yakni, Lailatul Qadar), kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan (bulan Ramadhan). Kemudian aku didatangi (Malaikat) lalu dikatakan kepadaku, ‘sesungguhnya malam itu (yakni, Lailatul Qadar) terdapat pada sepuluh malam terakhir (bulan Ramadhan). Oleh karena itu, barangsiapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf hendaknya ia beri’tikaf (yakni, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan).”

Abu Sa’id al-Khudri –semoga Allah meridhainya- berkata, “(Mendengar penuturan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– tersebut) maka orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan)..” (HR. Muslim, no. 2828).

Demikianlah, saking istimewanya Lailatul Qadar tersebut, beliau berupaya keras untuk mencarinya, salah satu caranya adalah dengan ber’itikaf, berdiam diri di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah, menghidupkan malam-malamnya, begadang sampai terbitnya fajar  untuk melakukan beragam bentuk ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Dalam sabda beliau yang lainnya, kita juga dapati penegasan beliau agar kita berusaha keras mencari Lailatul Qadar tersebut. Misalnya, beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda,   

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. al-Bukhari, no. 2020).

Terlebih di malam-malam ganjilnya.

Beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda,

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. al-Bukhari, no. 2017).

 

Apa Istimewanya Lailatul Qadar Itu?

Mungkin di antara Anda -para pembaca yang budiman- ada yang bertanya, “Apa istimewanya Lailatul Qadar itu, sehingga sedemikian luar biasa beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya dengan begadang di malam-malam sepuluh terakhir bulan ini?

 

Saudaraku…

Istimewanya adalah malam itu merupakan malam yang diberkahi.  Malam yang banyak keberkahannya dan kebaikannya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ . فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. ad-Dukhan : 3-4).

Allah Ta’ala tidak menjelaskan maksud “malam yang diberkahi” ini di sini, akan tetapi Dia menjelaskan (di tempat lain) bahwa malam yang diberkahi tersebut adalah Lailatul Qadar di dalam firman-Nya,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. al-Qadr: 1).

Dan Dia menjelaskan keadaannya مُبَارَكَةٍyang diberkahi”, di dalam firman-Nya,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. al-Qadr: 3) sampai dengan akhir surat tersebut. (Adhwa-ul Bayan Fii Iidhaahi al-Qur’an Bil Qur’an,7/172).

Yakni,

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. al-Qadr: 4-5).

 

Apa makna “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan“?

Syaikh as-Sa’di –semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “(Maknanya) Amal (shaleh) yang dilakukan pada malam itu adalah lebih baik daripada amal (shalih) yang dilakukan selama seribu bulan (± 83 tahun 4 bulan) yang tidak terdapat di dalamnya Lailatul Qadar.” (Taisir al-Kariimi ar-Rahmaan Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan, 1/931).

Syaikh al-Utsaimin -semoga Allah merahamtinya- mengatakan, “Dan yang dimaksud dengan “lebih baik” di sini adalah (dalam hal) “pahala amal yang dilakukan di dalamnya dan apa yang Allah turunkan pada malam tersebut berupa kebaikan dan keberkahan terhadap ummat ini” … “ (Tafsir Juz Amma, hal. 270).

Jika demikian, berarti malam itu merupakan peluang dan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada kita, para hamba-Nya, yang semestinya kita tangkap dan kita manfaatkan dengan menyibukkan diri dengan beragam amal shaleh, seperti membaca al-Qur’an, berdzikir, berdoa, memohon ampun dan lainnya, sehingga kita mendapatkan pahala dan kebaikan yang sang melimpah, apalagi dengan melakukan shalat di malam-malam tersebut yang merupakan amal shaleh terbaik yang kita lakukan.

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ  : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اِسْتَقِيْمُوْا وَلَنْ تُحْصُوْا . وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ . وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Dari Tsauban -semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “Bersikap istiqamahlah kalian, sehingga kalian tidak merasa bosan dan tidak dapat melakukan amal secara berkesinambungan. Dan, ketahuilah oleh kalian, bahwa amal terbaik yang kalian lakukan adalah shalat. Dan, tidak ada orang yang dapat memelihara wudhu kecuali seorang mukmin.” (HR. Ibnu Majah, no. 277).

Karena itu, barang kali inilah rahasia di balik motivasi Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– kepada umatnya dengan menyebutkan perolehan ampunan bagi umatnya yang berdiri melakukan shalat di malam Lailatul Qadar dalam sabda beliau,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Dan, barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala (dari Allah) niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari, no. 1901).

Sungguh, ini adalah peluang untuk mendapatkan kebaikan yang sangat banyak. Maka dari itu, seharusnya kita benar-benar bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Kita tingkatkan kesungguhan kita di malam-malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan ini, kita teladani Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam– yang sedemikian bersungguh-sungguh di dalam menghabiskan malam-malam tersebut, sebagaimana kata ‘Aisyah -semoga Allah meridainya-,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِاْلأَوَاخِرِ، مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

“Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh pada sepuluh (malam) terakhir (bulan Ramadhan) tidak seperti kesungguhan Beliau di selain malam-malam tersebut.” (HR. Muslim, no. 2845).

Dengan ini kita berharap semoga kita nantinya tidak termasuk golongan orang yang disinyalir oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– dalam sabdanya,

فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Padanya (yakni, bulan Ramadhan) terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan, siapa tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh kebaikan yang banyak.” (HR. an-Nasai, no. 2106).

Menutup tulisan yang singkat ini, kita memohon kepada Allah semoga mengaruniakan taufik kepada kita semua sehingga dapat meningkatkan kesungguhan kita dalam menghidukan malam-malam sepuluh terakhir bulan ini. Amin. Wallahu A’lam.

 

(Redaksi)

Referensi:

  1. Ad-Diibaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abdurrahman bin Abi Bakr Abu Fadhl as-Suyuthi.
  2. Adhwa-ul Bayan Fii Iidhaahi al-Qur’an Bil Qur’an, Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithi.
  3. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Mary an-Nawawi.
  4. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
  5. Shahih Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi.
  6. Sunan An-Nasai, Ahmad bin Syu’aib an-Nasai.
  7. Sunan Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid al-Qazwaini.
  8. Tafsir Juz Amma, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin.
  9. Taisir al-Kariimi ar-Rahmaan Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan, Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di.