Bagaimana beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak mencapai puncak dalam akhlak-akhlak ini, sementara Rabbnya –عَزَّ وَجَلَّ telah berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159).

Kelembutan, tidak kasar dan tidak keras adalah sikap santun yang mana Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- disifati dengannya. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mencapai kesempurnaan diri dengan maaf, lapang dada dan berpaling dari orang-orang bodoh, sebagai bentuk menaati Rabbnya -عَزَّ وَجَلَّ- yang berfirman kepadanya,

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ 

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A’raf: 199).

Kesantunan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mencakup kepada siapa pun, baik lawan maupun kawan, laki-laki maupun wanita, orang dekat maupun orang jauh, anak kecil maupun orang dewasa.

Tentang sikap santun beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada keluarganya, maka belum ada kesantunan kepada para istri yang mengungguli kesantunan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, sekalipun kedudukan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mulia, derajat beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tinggi, posisi dan nilai beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- luhur di hadapan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan di mata manusia.

Dari Umar bin al-Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, “Kami orang-orang Quraisy menguasai kaum wanita, tetapi manakala kami tiba di orang-orang Anshar (di Madinah), ternyata mereka adalah kaum yang dikalahkan oleh kaum wanita, maka sejak itu istri-istri kami mulai meniru etika dari wanita Anshar, karena itu aku marah kepada istriku, tetapi dia malah membantahku, hal itu tentu saja tidak bisa aku terima. Namun dia malah membela diri dengan mengatakan, ‘Mengapa kamu tidak bisa menerima jika aku membantahmu?, demi Allah sesungguhnya istri-istri Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- membantah beliau, dan sesungguhnya salah seorang dari mereka (pernah) mendiamkan beliau dari siang sampai malam.’

Umar berkata, ‘Hal itu membuatku terkejut, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Hafshah, apakah salah seorang dari kalian (pernah) membuat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- marah dari siang sampai malam?’ Dia menjawab, ’Ya.’ Maka aku berkata, ‘Kamu telah gagal dan merugi. Apakah kamu merasa aman dari kemarahan Allah karena kemarahan RasulNya yang akibatnya kamu bisa celaka.’” (HR. al-Bukhari, no. 5191 dan Muslim, no. 1479).

Lihatlah betapa tingginya sikap santun Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – terhadap istri-istri beliau, hingga salah seorang dari mereka (pernah) mendiamkan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dari siang sampai malam, sampai tidak memanggil nama beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang mulia.

Yang lebih mengagumkan dari semua itu adalah bahwa sekalipun mereka bersikap demikian, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tetap berkata-kata kepada mereka dengan lembut, seolah-olah tidak terjadi apa pun.

Dari Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, ia berkata, “Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata kepadaku, Sungguh, aku benar-benar tahu kapan kamu sedang ridha, dan kapan kamu sedang marah kepadaku. Aisyah bertanya, ‘Dari mana engkau mengetahui hal ini?’ Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjawab, ‘Jika kamu sedang ridha kepadaku, maka kamu mengucapkan, Tidak,         demi Tuhan Nabi Muhammad. Namun jika kamu sedang marah kepadaku maka kamu berkata, Tidak, demi Tuhan Nabi Ibrahim. Aisyah berkata, ‘Benar wahai Rasulullah, aku tidak meninggalkan kecuali namamu.’” (HR. al-Bukhari, no. 5228 dan Muslim, no.2439).

Cobalah sekarang kita lihat bagaimana sikap salah seorang dari kita, ketika istrinya bertindak tidak patut di depannya, sementara dia sedang duduk bersama para tamunya?

Bandingkanlah apa yang dilakukan oleh sang penyantun, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, terhadap apa yang dilakukan oleh sebagian istri beliau di depan para tamu beliau.

Dari Anas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, “Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم sedang berada di rumah salah seorang istri beliau, lalu salah seorang Ummul Mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sebuah nampan berisi makanan, maka istri di mana Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم sedang berada di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut, akibatnya nampan tersebut jatuh dan terbelah. Lalu Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم mengumpulkan kedua belahan nampan dan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengumpulkan makanan di atasnya, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, Ibu kalian ini cemburu.

Kemudian Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menahan pelayan itu sesaat, sampai beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengambil nampan dari rumah istri di mana beliau berada, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menyerahkan nampan yang bagus kepada pelayan untuk diserahkan kepada istri yang nampannya pecah tadi, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menahan nampan pecah tersebut di rumah istri yang memecahkannya.” (HR. al-Bukhari, no. 2552; dalam riwayat an-Nasai, no.3956, disebutkan bahwa istri beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang cemburu itu adalah Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- dan pemilik nampan yang pecah adalah Ummu Salamah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-. Hadis ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i, no. 3693).

Sang penyantun –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memaklumi hal itu, lapang dada, sabar dan memaafkan.

Kemudian mengenai kesantunan Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada pelayannya, maka dengarlah -semoga Allah menjagamu- kalimat dari sebagian pelayan beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang membuatmu sulit untuk membayangkannya (memahaminya).

Dari Anas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, “Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ termasuk orang yang paling baik akhlaknya; suatu hari beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengutusku untuk sebuah keperluan, aku berkata kepada diriku, ‘Demi Allah aku tidak akan pergi.’ Namun dalam hatiku aku tetap ingin pergi melaksanakan perintah Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu aku keluar, dan aku melewati anak-anak yang sedang bermain-main di pasar, aku berhenti, tiba-tiba di belakangku Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sudah memegang tengkukku, aku menoleh dan beliau tertawa, beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, Wahai Unais, apakah kamu sudah pergi untuk melaksanakan apa yang aku perintahkan?’ Maka aku menjawab, ‘Ya, sekarang aku pergi wahai Rasulullah.’

Anas berkata, ‘Demi Allah, aku telah melayani beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- selama sembilan tahun, tapi aku belum pernah mendengar beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkata untuk suatu yang aku lakukan, ‘Mengapa kamu lakukan begini?’ Atau untuk sesuatu yang tidak aku lakukan, ‘Mengapa kamu tidak melakukan begini?’”(HR. Muslim, no. 2310).

Berikutnya tentang kesantunan dan pemaafan beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada para sahabat beliau, maka ia merupakan bukti lain atas kesempurnaan akhlak al-Habib –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang menunjukkan kesantunan dan sifat pemaaf beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ini.

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam hal ini dengan para sahabatnya berada dalam kondisi paling baik dan paling sempurna, di mana beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersikap santun di depan kesalahan mereka, memaafkan kekeliruan mereka, lapang dada tanpa menyudutkan, mengampuni tanpa menyakiti.

Dari Anas bin Malik -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, “Di saat kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–, tiba-tiba seorang Arab pedalaman datang, lalu kencing (di satu sudut) masjid, maka para sahabat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berkata, ‘Hentikan, hentikan.’ Namun Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda, Jangan menghardiknya, biarkan dia. Orang-orang pun membiarkannya sampai dia selesai kencing.

Kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memanggilnya dan mengatakan kepadanya, Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak patut untuk kencing seperti ini dan tidak patut pula ada kotoran, karena ia adalah (tempat) untuk berdzikir kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ shalat dan membaca al-Qur’an.’ Lalu Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memerintahkan seseorang untuk mengambil setimba air dan menyiramkannya ke bekas kencingnya tersebut.” (HR. al-Bukhari, no.6025 dan Muslim, no. 285).

Juga dari Anas bin Malik -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, “Aku sedang berjalan bersama Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–, saat itu beliau memakai jubah dari Najran yang pinggirnya kasar, tiba-tiba seorang laki-laki Arab Badui menarik jubah beliau dengan keras, aku melihat ke pundak beliau, pinggiran jubah tersebut meninggalkan bekas di situ karena kerasnya tarikan, laki-laki tersebut malah berkata, ‘Hai Muhammad, perintahkan (sahabatmu agar) memberiku harta Allah yang ada padamu.’ Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menoleh kepadanya, tersenyum kemudian memberinya.” (HR. al-Bukhari, no.5809 dan Muslim, no. 1057).

Sikap santun, maaf, dan lapang dada beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap musuh-musuh beliau, sekalipun beliau berkuasa atas mereka dan berada di atas mereka, hal itu merupakan bukti tertanamnya akhlak agung ini secara kokoh dalam jiwa beliau, sehingga akhlak ini pun mencakup musuh-musuh beliau sebagaimana ia telah mencakup para sahabat beliau dan orang-orang dekat beliau.

Dari Jabir bin Abdillah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-, bahwa ia pernah ikut dalam peperangan bersama Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ke arah Najed, manakala Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ- pulang, beliau ikut pulang, orang-orang beristirahat siang di sebuah lembah yang banyak ditumbuhi pohon-pohon berduri, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- turun dan orang-orang berpencar mencari naungan pohon.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- duduk di bawah pohon Samurah dan beliau menggantungkan pedang beliau di sana, kami tidur sesaat, tiba-tiba Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memanggil kami, kami melihat seorang laki-laki Badui di depan beliau, beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Laki-laki ini menghunus pedangku kepadaku saat aku sedang tidur, aku bangun sementara pedang itu terhunus di tangannya, dia berkata kepadaku, ‘Siapa yang menghalangiku untuk membunuhmu?’ Maka aku menjawab, ‘Allah.’ Sebanyak tiga kali.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak menghukumnya dan orang itu pun duduk.” (HR. al-Bukhari, no.2910 dan Muslim, no. 843).

Sikap santun Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini juga menjangkau orang-orang Yahudi sekalipun mereka bersikap kurang ajar kepada beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, mereka selalu membuat makar dan rencana jahat terhadap beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para sahabat beliau. Dari Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, ia berkata, “Beberapa orang Yahudi datang kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, mereka mengucapkan, ‘السَّامُ عَلَيْكَ’ (As-Saamu alaika, semoga kematian ditimpakan kepadamu). Aku mengerti ucapan mereka, maka aku membalas, ‘عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ’ (‘Alaikumus saamu wal lanah, Semoga kematian dan laknat ditimpakan kepada kalian). Maka Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  bersabda,

مَهْلًا يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

Pelan-pelan wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai sikap lemah-lembut dalam segala urusan.

Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan?’ Beliau bersabda,

فَقَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُم

‘Aku sudah menjawab, ‘Wa alaikum’.” (HR. al-Bukhari, no.6256 dan Muslim, no. 2165).

Maaf dan santun beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- terhadap orang-orang Quraisy dan penduduk Thaif di luar batas gambaran manusia, padahal mereka adalah orang-orang yang selama itu menyakiti beliau. Siksaan mereka dalam bentuk yang sulit untuk dipikul oleh manusia, mereka menyakiti beliau, menghasut orang-orang bodoh dari mereka sehingga mereka pun melempari beliau dengan batu sampai kaki beliau yang mulia berdarah, mereka menolak beliau dengan penolakan yang sangat kasar, sampai beliau sangat bersedih menghadapi sikap mereka, dan hari itu lebih berat bagi beliau daripada hari Uhud, sekalipun di Uhud Nabi — صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendapatkan luka besar dan musibah berat, hanya saja luka mendalam dalam hati beliau yang mulia dan yang selalu beliau ingat dampak buruknya terhadapnya adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang Tha’if tersebut.

Dari Aisyah –رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- bahwa beliau berkata kepada Nabi — صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Pernahkan engkau mengalami hari yang lebih berat daripada hari perang Uhud?

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjawab, ‘Sungguh aku mendapat perlakuan dari kaummu sebagaimana yang telah aku dapatkan, dan perlakuan mereka terhadapku yang paling berat adalah di hari Aqabah, saat itu aku menawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abd Kula, namun dia tidak merespon ajakanku, maka aku meninggalkannya dalam keadaan bersedih dan murung di wajahku, aku baru sadar ketika aku sampai di Qarn ats-Tsa’alib, aku melihat ke atas, aku melihat awan yang memayungiku, dan ternyata di sana ada Jibril, dia memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan jawaban mereka atasmu, Dia mengutus seorang Malaikat Gunung agar kamu memerintahkannya apa yang kamu inginkan pada mereka.’ Maka Malaikat Gunung memanggilku, dia mengucapkan salam kepadaku kemudian berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu, aku adalah Malaikat Gunung, Rabbmu mengutusku kepadamu agar kamu memerintahkan kepadaku sekehendakmu, jika engkau berkehendak maka aku akan menimpakan dua gunung (al-Akhsyabain) atas mereka.’

Maka Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjawab,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Justru aku berharap Allah berkenan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu’.” (HR. Al-Bukhari, no. 3231 dan Muslim, no. 1795).

Kesantunan apa ini? Maaf dan lapang dada apa ini?

Yang mengagumkan adalah bahwa kesantunan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan maaf beliau terhadap musuh-musuhnya ini berlangsung di tengah-tengah peperangan mereka terhadap beliau, di puncak gangguan dan kezhaliman mereka terhadap beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Dari Ibnu Mas’ud -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, “Seolah-olah aku melihat kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang sedang menceritakan salah seorang nabi dari para nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, sementara ia mengusap darah dari wajahnya dan berkata,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُون

َ‘Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.’” (HR. Al-Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792).

Dan inilah (salah satu sikap buruk) orang-orang Quraisy yang mengembargo Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan para sahabat beliau di celah gunung (pemukiman) Abu Thalib selama tiga tahun, menyetop makanan dari mereka, sehingga mereka mengalami penderitaan hidup yang luar biasa, mereka terpaksa makan daun-daun dan kulit, sampai-sampai dari balik bukit terdengar rintihan anak-anak dan kaum wanita karena kelaparan, namun orang-orang Quraisy saat itu tidak tersentuh hatinya untuk mengasihi orang-orang lemah dari mereka, tidak mempedulikan ikatan rahim di antara mereka.

Tapi (di kemudian hari) semua itu begitu mudahnya mereka lupakan, yaitu kejahatan yang mereka lakukan. Saat itu mereka menulis surat kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – manakala ketakutan mulai menyergap mereka, bayangan kelaparan terpampang di depan mata mereka, mereka meminta tolong kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – agar ikut campur tangan terhadap Tsumamah bin Utsal, pemuka Bani Hanifah untuk mencabut keputusannya yang telah dia ambil untuk tidak mengirimkan gandum kepada kaum Quraisy, di mana sebelumnya dia berkata kepada orang-orang Makkah, “Demi Allah, tidak ada satu biji gandum pun yang akan datang kepada kalian dari Yamamah, sampai Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memberi izin.” (HR. Al-Bukhari,no. 4377 dan Muslim, no. 1764).

Abu Sufyan bin Harb datang kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersama beberapa orang dari Quraisy, meminta kepada beliau atas nama ikatan rahim, agar beliau berkenan meminta Tsumamah untuk membuka pengiriman makanan kepada mereka, karena mereka sudah hampir binasa karena kelaparan. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melakukan apa yang mereka inginkan, beliau menulis surat kepada Tsumamah, “Biarkan makanan darimu sampai kepada orang-orang Quraisy.” Manakala Tsumamah menerima surat dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, dia berkata, “Kami mendengarkan dan menaati Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.” (Lihat riwayat al-Baihaqi dalam al-Kubra, no.17810 dan Sirah Ibnu Hisyam, 2/638).

Mereka meminta kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- atas nama rahim, ikatan yang selama ini mereka putuskan sendiri dengan memerangi beliau. Namun beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak membalas perlakuan buruk mereka dengan perlakuan serupa. Beliau tidak membiarkan mereka menderita kelaparan yang sebelumnya telah mereka timpakan kepada beliau dan para sahabatnya. Saat itu mereka tidak terenyuh oleh air mata wanita atau keluhan laki-laki lansia atau tangisan anak kecil yang menyayat. Dan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak membalas (semua itu) sekalipun beliau mampu melakukannya, beliau tidak memerintahkan hal itu, beliau tidak meminta pendapat Tsumamah untuk melakukan hal tersebut, karena beliau adalah orang yang pengasih lagi penyayang.

Maka andai saja kita memperlakukan saudara-saudara kita dan orang-orang dekat kita seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- terhadap para musuhnya dan para musuh kita.

Betapa agung sikap Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- terhadap Makkah dan penduduknya saat Allah telah menguasakannya kepada beliau. Beliau masuk ke sana sebagai pemenang dan dalam keadaan mulia, selama ini mereka adalah orang-orang yang menyakiti beliau dengan sangat kejamnya, mengusir dan mengeluarkan beliau, memerangi beliau dengan kerasnya, berkonspirasi melawan beliau, menghasut orang-orang Arab untuk memusuhi beliau, membunuh orang yang paling beliau cintai, namun ternyata saat itu beliau lupakan semua, memaafkan mereka dan menjamin keamanan mereka dalam jiwa, harta dan kehormatan mereka.

Abu Sufyan terkagum-kagum dengan apa yang dilakukan oleh Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam peristiwa Fathu Makkah, di mana beliau berlapang dada, santun dan memaafkan, maka dia tidak kuasa selain mengungkapkan kebenaran ini, dia berkata kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, “Aku korbankan bapak dan ibuku wahai Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, betapa besarnya kesantunanmu, betapa mulianya dirimu, betapa besar silaturahimmu, dan betapa tinggi maafmu.” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 7264).

Seandainya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak memiliki maaf yang mulia dan lapang dada yang tinggi selain apa yang beliau lakukan di hari tersebut, niscaya hal itu sudah cukup menjadi kesempuraan beliau dan bukti paling nyata atas ketinggian maaf, besarnya kesantunan, dan lapang dada beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. (Al-Bayan wa at-Tabyin, al-Jahizh, 2/29).

Yang membuat kekaguman tidak pernah habis adalah maaf beliau dan lapang dada beliau terhadap orang-orang Munafik, sekalipun beliau mengetahui mereka dengan nama-nama mereka, mengetahui makar-makar mereka, tipu daya dan pengkhianatan mereka melalui ilmu dari Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Sekalipun demikian, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memaklumi, memaafkan dan lapang dada, setiap kali kesempatan untuk memberi pelajaran kepada mereka dan bersikap keras kepada mereka tiba, maka beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- membuka pintu kelembutan, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memohon ampun untuk mereka dan berdoa untuk mereka.

Manakala Abdullah bin Ubai bin Salul (kepala kaum munafik) mati, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dipanggil untuk menshalatkannya. Saat beliau berdiri untuk shalat, Umar bin Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- melangkah ke depan dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menshalatkan Ibnu Ubai sedangkan dia telah mengucapkan begini dan begini di hari ini dan ini?” Umar berkata, “Lalu aku menyebutkan apa-apa yang telah ia katakan tentang beliau.”

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hanya tersenyum, beliau bersabda, “Mundurlah kamu dariku wahai Umar.” Manakala aku terus mendesak, beliau berkata, “Sesungguhnya aku diberi pilihan dan aku memilih, seandainya aku mengetahui kalau aku menambah di atas tujuh puluh kali permohonan ampun dan dia diampuni, niscaya aku akan menambah.”

Umar berkata, “Lalu Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-menshalatkannya kemudian pergi, tidak berlangsung lama, ayat dalam surat at-Taubat turun, yaitu Firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُون

َDan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan jenazah seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Qs. at-Taubah: 84).

Umar berkata, “Setelah itu aku merasa heran terhadap kelancanganku terhadap Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Dan Allah dan RasulNya-lah yang lebih mengetahui.” (HR. al-Bukhari, no. 4671).

Inilah maaf, lapang dada dan kebaikan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada pemuka orang-orang munafik sekalipun, kepada seseorang yang pernah menyakiti kehormatan beliau yang mulia, kepada seseorang yang pernah meninggalkan beliau dengan membawa pulang sepertiga pasukan dalam kesempatan yang paling berbahaya, ditambah dengan peranan besarnya dalam konspirasi orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir untuk memerangi Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Tidak aneh jika hal itu merupakan akhlak Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Betapa besar kasih sayang beliau kepada umatnya, betapa santun beliau, betapa lembut sikap beliau terhadap musuh-musuh dan orang-orang yang menyelisihi beliau.

Maha benar Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang berfirman,

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar di atas akhlak yang agung.” (Qs. al-Qalam: 4). Wallahu A’lam.

 

(Redaksi)

 

Sumber :

Azhamu Insan Arafathu al-Basyariyyah, Akhlaquhu wa Kaifa Nuhibbuhu wa Nanshuruhu, Hisyam Muhammad Sa’id Barghisy.