Bersuci bisa dilakukan dengan dua sarana:

(1) Air muthlaq, yaitu air yang masih murni, yang belum ter-campur dengan apa pun yang dapat mengubahnya, baik itu sesuatu yang najis ataupun sesuatu yang suci. Air murni ini adalah seperti; air sumur, air mata air, air lembah, air sungai, air salju yang mencair dan air laut yang asin. Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala,

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Al-Furqan: 48).

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيْهِ

Air itu suci dan bisa menyucikan kecuali bila berubah aroma atau rasa atau warnanya disebabkan najis yang mengenainya.[1]

(2) Debu yang suci, yaitu permukaan tanah yang suci, berupa tanah, pasir, batu atau debu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

Telah dijadikan untukku, tanah sebagai tempat sujud dan alat bersuci.[2]

Debu bisa dijadikan sebagai alat bersuci ketika tidak ada air atau ketika tidak memungkinkan untuk menggunakannya karena sakit atau lainnya, berdasarkan Firman Allah Ta’ala,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (Al-Ma’idah: 6).

Dan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ، فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ

Sesungguhnya debu yang suci adalah alat bersuci bagi seorang Muslim walaupun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Bila ia menemukan air, maka hendaklah ia mengusapkannya ke kulitnya.[3]

Juga berdasarkan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap tayamumnya Amr bin al-‘Ash dari junub pada suatu malam yang sangat dingin karena ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya bila mandi dengan air dingin.[4]

 

Referensi:

Minhajul Mulim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Darul Haq, Jakarta, Cet. VIII, Rabi’ul Awal 1434 H/ Januari 2013.

 

Keterangan:

[1]  Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 1/257, derajatnya dhaif. Ia memiliki asal hadits yang shahih. Karenanya menurut ijma’ umat hadits ini boleh diamalkan.

[2]  Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 9412. Asalnya dalam ash-Shahihain. Muslim, no. 523.

[3]  Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 124 dan dihasankannya.

[4]  Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq, Kitab Tayammum, Bab Idza Khaf al-Junub.