Termasuk mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah mengimani sifat-sifat-Nya yang telah disifatkan sendiri untuk-Nya di dalam al-Qur’an maupun yang telah disifatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk-Nya di dalam hadits. Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala terbagi dua; dzatiyah dan fi’liyah.

 

DZATIYAH

Sifat dzatiyah ialah sifat yang senantiasa melekat dalam Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai contoh:

  1. Wajah

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali WajahNya.” (QS. al-Qashash: 88).

Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini bukanlah kiasan dari Dzat-Nya, pahala, atau arah. Kata wajah maknanya jelas dan bisa dipahami oleh semua dalam beragam bahasa. Sehingga tidak pantas untuk ditakwil. Ketika penyebutan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala diikutkan kepada dzat-Nya, seperti dalam hadits Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu:

أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ

“Aku berlindung kepada Allah Dzat Yang Mahaagung dan kepada wajahNya Yang Mahamulia.” (HR. Abu Dawud no. 466, hadits shahih).

 Ini menunjukkan bahwa keduanya berbeda. Sama seperti ketika disandarkan kepada dzat-Nya:

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. ar-Rahman: 27).

Di sini kata “memiliki kebesaran dan kemuliaan” menjadi sifat bagi wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan sifat bagi Dzat-Nya.

  1. Tangan

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

 “(Allah) berfirman, ‘Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tanganKu.” (QS. Shaad: 75).

Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak layak ditakwil sebagai kekuasaan, rahmat atau nikmat-Nya. Jika dimaknai sebagai kekuasaan, semua makhluk termasuk Iblis diciptakan dengan kekuasaan-Nya. Jika demikian, tentu batallah keistimewaan Adam j atas Iblis yang diciptakan dengan kedua tangan-Nya dalam ayat di atas. Jika dimaknai sebagai nikmat, berarti Adam j diciptakan dengan dua nikmat-Nya, tentu ini tidak benar karena nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala itu banyak sekali sampai tidak terhitung.

  1. Kaki

 لَا تَزَالُ جَهَنَّمُ يُلْقَى فِيهَا وَتَقُولُ هَلْ مِنْ مَزِيدٍ حَتَّى يَضَعَ رَبُّ الْعِزَّةِ فِيهَا قَدَمَهُ فَيَنْزَوِيَ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ وَتَقُولُ قَطْ قَطْ وَعِزَّتِكَ وَكَرَمِكَ

 “Neraka Jahanam terus dilempari para penghuni neraka ke dalamnya, dan neraka Jahanam terus berkata, ‘Apakah masih ada tambahan?’ hingga Tuhan Yang Mahaperkasa meletakkan kaki di dalamnya. Lalu dihimpunlah sisisisi Jahanam (sehingga benarbenar terisi penuh). Dan neraka Jahanam berkata, ‘Cukup, cukup, demi kemahaperkasaan dan kemuliaanMu!’.” (HR. Muslim no. 7358).

Kaki di sini juga tidak layak dimaknai sebagai kaum atau sekelompok manusia. Karena dalam sabda ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakai redaksi meletakkan bukan melemparkan sebagaimana dikatakan di awal hadits. Sehingga konteks dua kata ini menunjukkan adanya perbedaan.

 

FI’LIYAH

Sifat fi’liyah ialah perbuatan yang dilakukan Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut kehendak-Nya, sebagai contoh:

  1. Turun ke langit dunia

 يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kami Yang Mahamulia lagi Mahatinggi setiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, lalu berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepadaKu niscaya Aku kabulkan, siapa yang meminta kepadaKu niscaya Aku beri dan siapa yang memohon ampun kepadaKu niscaya Aku ampuni.’” (HR. Bukhari no. 1145).

 Turun” dalam hadits ini tidak layak dimaknai sebagai “turun rahmat atau perintah-Nya”, karena dengan makna ini, konteks ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan….” menjadi ganjil dan sulit dipahami.

  1. Bersemayam di atas Arsy’

 إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ

 “Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan.” (QS. Yunus: 3).

Bersemayam Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak layak diartikan sebagai menguasai atau menundukkan dan ‘Arsy sebagai kerajaan. Jika diartikan demikian, tentu tidak ada perbedaan antara ‘Arsy, bumi, hewan dan seluruh makhluk-Nya, karena Dia menguasai seluruhnya dan menjadi raja bagi semuanya. Lalu apa faidah dari penyebutan ‘Arsy di sini?

  1. Datang pada hari kiamat

 كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا (21) وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

 “Sekalikali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturutturut (berbenturan), dan datanglah Tuhanmu, dan malaikat berbarisbaris.” (QS. al-Fajr: 21-22).

Kelak pada hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan datang untuk mengadili seluruh hamba-Nya. Datang yang dimaksud bukanlah datang perintah-Nya, rahmat atau azab-Nya. Tapi Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara hakiki benar-benar datang menurut keagungan dan kebesaran-Nya.

 

SATU MAKNA BEDA RUPA

Wajah, tangan, kaki, turun, bersemayam dan datang, semua kata ini lugas, tidak ambigu, dapat dipahami maknanya oleh semua dalam beragam bahasa. Namun hakikat sifat-sifat itu, baik dalam bentuk, cara, materi ataupun yang lainnya, tentu kita tidak mengetahuinya, karena memang Allah dan Rasul-Nya tidak mengabarkan kepada kita, ini termasuk perkara yang dirahasiakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika hakikat sifat-sifat itu berbeda, sekalipun satu makna, antara satu makhluk dengan makhluk yang lain, maka perbedaan antara Khalik dan makhluk lebih utama. Yang jelas, semua sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala bermakna hakiki sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan tidak diketahui kaifiyah (hakikat dari Dzat maupun perbuatan-Nya).

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

 “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. asy-Syura’: 11).

Maka mengimani dan menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah secara lafadz dan maknanya, tanpa ta’wil (menafsirkan) maupun tahrif (merubah) lafadznya, ta’thil (menolak) maknanya, tanpa tasybih (menyerupakan sebagian sifat) maupun tamtsil (menyerupakan seluruh sifat) Dia dengan sifat-sifat makhluk, dan tanpa takyif (memvisualisasikan).

Ketika Imam Malik ditanya, “Bagaimana Allah bersemayam?” Beliau menjawab, “(Makna) bersemayam sudah diketahui, kaifiyah (hakikat/cara bersemayam) tidak diketahui, mengimani akan hal ini wajib, dan bertanya tentang kaifiyahnya adalah bid’ah.” (Syarh al‘Aqidah alWasithiyah, Shalih al-Fauzan, hal 9).

Ibnu Abdil Bar berkata, “Ahlussunnah sepakat dalam menetapkan sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadits, membawanya ke dalam makna hakiki dan bukan makna majasi (kiasan), hanya saja mereka tidak mentakyifkan (memvisualisasikan) sedikit pun dari sifat-sifat itu.” (Al‘Uluw Lil’Aliy Ghaffar, adz-Dzahabi, hal 250).

Abdurrazzaq ‘Afifi berkata, “Madzhab para salafushalih ialah tafwidh (menyerahkan/menguasakan sepenuhnya kepada Allah) perihal kaifiyah (hakikat/cara/bentuk) sifat-sifat itu, bukan dalam hal maknanya.” (Fatwa Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, hal 104). Wallahu A’lam Bishshowab. (Saed as-Saedy, Lc).