Di antara kesempurnaan dan keagungan nikmat AllahTa’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, adalah janji Allah Ta’ala dan janji-Nya itu pasti benar- bahwa tiadalah seseorang berdo`a kepada-Nya melainkan Dia mengabulkannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabbmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir: 60).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo`a apabila ia berdo`a kepada-Ku.” (al-Baqarah: 186).

Lihatlah ungkapan lembut yang terdapat di dalam ayat ini, mengingat al-Qur’an di sini mengungkapkan lafazh ‘as-su’âl’ (bertanya), dan tidak mengatakan setelah itu lafazh ”qul” (katakanlah), sebagaimana yang terdapat pada ayat-ayat pertanyaan lain di dalam al-Qur’an al-Karim. Di dalam ayat ini -Wallahu A’lam- terdapat sebuah isyarat agar membuang perantara (wâsithah) antara seorang hamba dan Tuhannya pada saat beribadah dan berdo`a.

Hal inilah yang wajib diyakini oleh seorang muslim dalam hatinya. Oleh karena itu, Imam Thahawi rahimahullah di dalam kitabnya“al-‘Aqîdah ath-Thahawiyyah Hal. 676, 684 ” berkata,“Allah Ta’ala akan mengabulkan berbagai macam do`a, memenuhi semua kebutuhan, dan Dia memiliki segala sesuatu, sementara tidak ada sesuatu pun yang bisa menguasai-Nya. Tidak ada yang tidak butuh kepada Allah walau hanya sedetik pun, dan barangsiapa yang tidak butuh kepada Allah Ta’ala walau hanya sedetik, maka sungguh dia telah menjadi kafir dan termasuk golongan orang-orang yang dibinasakan.”

Di antara pengabulan Allah Ta’ala terhadap do`a hamba-Nya, adalah orang yang berdo`a bisa melaksanakan ibadah, yaitu: do`a, permohonan dan permintaan, serta pahala yang diperolehnya dari do`a itu, meskipun ternyata do`anya tidak dikabulkan. Ini merupakan satu bentuk dari berbagai bentuk pengabulan do`a tersebut.

Di antara pengabulan Allah Ta’ala terhadap do`a hamba-Nya, adalah kelapangan dada yang diperoleh oleh pemohon dan kelegaan hati, karena telah melaksanakan perintah Tuhannya dengan beribadah kepada-Nya, berdzikir dan berdo`a kepada-Nya, menampakkan rasa fakir dan butuh kepada-Nya, dan mengembalikan hati kepada-Nya dengan penuh rasa tunduk dan hina. Oleh karena itu, pemohon (orang yang berdo`a) meniatkan do`anya untuk mengagungkan Allah Ta’ala dan meninggikan-Nya dengan berharap pahala, diiringi rasa keinginan kuat akan direalisasikan apa yang telah Allah janjikan, yaitu berupa terkabulkannya do`a, dan di antaranya adalah akan terkabulkannya apa ia yang inginkan.

Do`a seorang Mukmin itu tidak ditolak, dan yang paling baik adalah pilihan Allah Ta’ala baginya, apakah berupa do`anya dikabulkan dengan segera, atau Allah Ta’ala akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya di dunia ataupun di akhirat nanti, seperti menolak keburukan darinya, atau Allah Ta’ala akan menabungkan baginya di akhirat sesuatu yang lebih baik dari apa yang dia minta.

Jadi, wajib bagi pemohon melakukan kiat-kiat terkabulnya do`a, baik yang tidak tampak maupun yang tampak:

Kiat yang tidak tampak adalah bertaubat terlebih dahulu (sebelum berdo`a), taubat yang membersihkan dosa, mengembalikan hak-hak orang lain (jika ada padanya), makan, minum dan berpakaian dari yang halal, tempat tinggal dan kendaraan, dari hasil usaha yang halal, menjauhi hal-hal yang diharamkan dan syubhat, kehadiran hati saat berdo`a, kepercayaan kepada Allah Ta’ala serta kuatnya pengharapan dan ketergantungan diri kepada-Nya, rasa takut dan tunduk, mengetuk jiwa dengan suatu ancaman Allah, menyerahkan segala perkara kepada-Nya, dan memutus perhatian kepada selain Dia, seperti yang dilakukan oleh seorang beriman dari keluarga Imrân yang tersebut di dalam surat Ghâfir: 20, dan penasihat Nabi Musa ‘alaihis salam yang tersebut di dalam surat al-Qashash: 20, serta dengan menjauhi sifat putus asa dari terkabulnya do`a.

Sedangkan yang tampak, adalah melakukan amal shalih seperti sedekah, berwudhu terlebih dahulu, shalat, mengangkat kedua tangan (saat berdo`a), dan (berdo`a) pada waktu-waktu mustajab sebagaimana dijelaskan oleh dalil, yaitu di dalam waktu mulia, kondisi yang baik dan tempat-tempat yang mulia.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]