عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ

Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa  pada hari Arofah, dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku ucapkan adalah :

لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ

Laa Ilaa-ha Illallahu wah-dahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiirin

Tidak ada ilah (sesembahan) (yang hak) melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan segala pujian hanya bagi-Nya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (HR. at-Tirmidzi)

Doa, Ibadah Mulia

Doa merupakan ibadah yang mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersada,

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Doa itu adalah ibadah (HR. Abu Dawud)

Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar berdoa kepada-Nya seraya berfirman,

 وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu…(Qs. Ghafir : 60)

Maka, ketika seorang hamba berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla hakekatnya ia tengah beribadah kepada-Nya dengan sesuatu yang diperintahkan-Nya. Semakin sering seorang hamba berdoa kepada-Nya, berarti semakin sering ia beribadah kepada-Nya. Semakin sering ia beribadah kepada-Nya niscaya semakin banyak pula pahala yang bakal dikumpulkannya dan semakin besar pula peluang mendapatkan ridha-Nya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk semakin taat kepada-Nya, di antaranya melalui banyak berdoa kepada-Nya. Aamiin

Hari Arafah, Hari Istimewa

Pada asalnya, berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla tidak terbatas oleh waktu, maka kapan saja seorang hamba dapat membasahi lisannya dengan berdoa kepada-Nya untuk kemaslahatan dunia maupun akhiratnya. Namun demikian, Allah ‘Azza wa Jalla Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang –dengan hikmah-Nya- menyediakan bagi hamba-hamba-Nya waktu-waktu yang istimewa agar dimanfaatkan untuk berdoa. Di antara waktu yang istimewa tersebut adalah “Hari Arafah”.

Tahukah Anda apa hari Arafah itu ?

Hari Arafah adalah hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah, dan yang dijadikan sandaran adalah penanggalan Hijriyah di tempat di mana seseorang itu berada, bukan berdasarkan pada wukufnya jama’ah haji di ‘Arafah. Dan inilah yang dikenal dari perbuatan para Ulama ketika memberikan definisi hari ‘Arafah yang mana mereka menyebutkan bahwa hari ‘Arafah adalah hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah (Muhammad al-Qal’aji, Mu’jam Lughatul Fuqahaa’, 1/515)

Istimewanya hari ini, hari Arafah, terkait dengan doa adalah sebagaimana yang terisyaratkan dalam hadis di atas, yaitu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah…”(HR. at-Tirmidzi). Dalam riwayat lain,

أَفْضَلُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Seutama-utama doa adalah doa pada hari Arafah…(HR. Malik di dalam al-Muwatho’)

Al-Bajiy rahimahullah mengatakan, “Maknanya, yakni, doa yang paling besar pahalanya dan doa yang paling dekat pengijabahannya.  Dan, berkemungkinan pula yang dikehendaki dengannya adalah doa yang dipanjatkan pada hari tersebut. Dan, berkemungkinan pula yang dikehendaki adalah doa yang yang dipanjatkah oleh orang yang tengah berhaji secara khusus.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud adalah doa yang paling banyak pahalanya. Berkemungkinan pula yang dimaksud adalah sesuatu yang paling baik yang digunakan untuk berdoa. Kemungkinan, maksud yang pertamalah yang paling nampak, karena hal itu disebutkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kasus pengutamaan suatu dzikir di antara dzikir-dzikir yang lainnya. Sedangkan di dalam hadis ini disebutkan pengutamaan satu doa dengan doa yang lainnya dan pengutamaan hari dengan hari-hari yang lainnya. (Mir’atu al-Mafaatiih Syarh Misykatu al-Mashabiih, 9/291)

Ada juga yang mengatakan, “ Bahkan yang dimaksud (dengan ungkapan,” Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah”) maknanya adalah sebaik-baik doa yang ada pada hari Arafah apa pun bentuk doa tersebut. (al-Mubarakfuriy, Tuhfatu al-Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, 10/33)

Jika sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah, maka, seorang muslim yang masih diberikan kesempatan hidup oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada saat itu selayaknya memperbanyak doa pada hari tersebut meskipun ia sedang tidak menunaikan ibadah haji.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

…وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ

dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku ucapkan

Dalam riwayat lain,

…وَأَفْضَلُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ

dan seutama-utama apa yang aku dan para Nabi sebelumku ucapkan…(HR. Malik di dalam al-Muwatho’).

Al-Munawiy rahimahullah mengatakan, “yakni, sebaik-baik atau seutama-utama doa  yang aku dan para Nabi sebelumku panjatkan, yang aku dan para Nabi sebelumku gunakan untuk berdoa adalah,

لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ

(al-Munawiy, At-Taisir Bi-Syarhi al-Jami’ ash-Shaghiir,1/1066).

Penyebutan ungkapan ini sebagai doa, boleh jadi karena sanjungan kepada Dzat yang Maha Pemurah merupakan ungkapan doa dan permohonan tak langsung. Boleh jadi pula karena hadis, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

يَقُوْلُ اللهُ –عَزَّ وَجَلَّ- : مَنْ شَغَلَهُ ذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِيَ السَّائِلِيْنَ

Allah ‘Azza wajalla berfirman, “Barangsiapa tersibukkan dengan mengingat-Ku dari meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kepadanya sesuatu yang paling baik yang diberikan kepada orang-orang yang meminta.

Demikian, sebagian para ulama mengatakan.

Dan, barang kali pula penyebutan ungkapan ini sebagai doa, diperkuat dengan riwayat yang disebutkan oleh al-‘Uqailiy dari hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

…أَفْضَلُ دُعَائِي وَدُعَاءِ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي عَشِيَّةَ عَرَفَةَ لَا إِلَه َإِلَّا اللهُ

Seutama-utama doa-ku dan doa para Nabi sebelumku pada ‘Asyiyyah Arafah adalah

“Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah.”…dst.

Juga diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari hadis  Amr bin Syu’aib radhiyallahu ‘anhu dari Ayahnya dari kakeknya, ia berkata,

…كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمَ عَرَفَةَ  لَا إِلَه َإِلَّا اللهُ

Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling banyak beliau panjatkan pada hari Arafah adalah “Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah “ … dst.

Namun, sebagian ulama ada yang mengatkan bahwa ungkapan ini,

لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ

merupakan isyarat kepada dzikir bukan doa. Oleh karena itu, tidak perlu untuk menjadikan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dan sebaik-baik yang saya katakan” bermakna “apa yang aku panjatkan untuk berdoa”. Dan, mungkin dzikir tersebut hanya sebagai pengantar untuk doa-doa yang akan dipanjatkan, karena disunnahkan untuk melakukan sanjungan-sanjungan kepada Allah ‘Azza wajalla sebelum seseorang berdoa. (Tuhfatu al-Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, 10/33).

Barangkali hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu menguatkan pendapat ini, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ . وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ

Seutama-utama dzikir adalah لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ (Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah) dan seutama-utama doa adalah  اَلْحَمْدُ لِلَّهِ (segala puji hanya bagi Allah) (HR. Ibnu Majah)

Perbanyaklah ucapan, لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ  !

Terlepas dari perbedaan pendapat ulama apakah ungkapan tersebut sebagai doa ataukah sebagai dzikir, sepatutnya seorang hamba memperbanyak mengucapkannya, karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan terbaik, yang paling utama yang diucapkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para Nabi dan Rasul sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

Perbanyaklah oleh kalian ucapan : Laa Ilaa-ha Illallahu (tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah)  (HR. al-Hakim di dalam al-Mustadrak)

Penjelasan Makna Ungkapan Terbaik

Ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَا إِلَهَ إَلَّا اللهُ , Laa Ilaaha Illallahu, maknanya, لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah. Allah ‘Azza wajalla berfirman,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ

Demikianlah (kebesaran Allah) kerena Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak. Dan apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil (Qs. al-Hajj : 62)

Ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , وَحْدَهُ (hanya diri-Nya semata).

Kata “semata” untuk penegasan Dzat-Nya. Yakni, tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan hanya Dzat Allah ‘Azza wajalla semata.

Ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,  لَا شَرِيْكَ لَهُ (tidak ada sekutu bagi-Nya).

Kalimat ini merupakan penegasan, untuk menegaskan perbuatan dan sifat-sifat-Nya. Yakni, tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya dan sifat-sifat-Nya.

Ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لَهُ الْمُلْكُ  (Milik-Nya kerajaan).

Hal ini sebagaimana firman-Nya,

ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُصْرَفُونَ

Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kalian, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia ; maka mengapa kalian dapat dipalingkan ? (Qs. az-Zumar : 6). Dia ‘Azza wajalla juga berfirman,

…ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ

Yang (berbuat) demikian itulah Allah, milik-Nyalah segala kerajaan…(Qs. Fathir : 13)

Kerajaan-Nya meliputi langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Sebagaimana firman-Nya,

وَتَبَارَكَ الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا

Dan Mahasuci (Allah) yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya… (Qs. az-Zukhruf : 85)

Ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ,  وَلَهُ الْحَمْدُ  dan segala pujian hanya bagi-Nya.

Segala pujian bagi-Nya, ini baik di langit maupun di bumi. Sebagaimana firman-Nya,

…وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Dan segala puji bagi-Nya di langit dan di bumi…(Qs. ar-Ruum : 18)

Segala pujian bagi-Nya, ini baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman-Nya,

وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَىٰ وَالْآخِرَةِ ۖ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Dan Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, segala puji bagi-Nya di dunia dan di akhirat (Qs. al-Qashash : 70)

Dikedepankannya ungkapan  اَلْمُلْكُ  kerajaan atas ungkapan  اَلْحَمْدُ  pujian, karena Dia adalah Raja. Maka, Dia dipuji dalam kerajaan-Nya.

Ungkapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Yakni, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sebagaimana ditegaskan-Nya dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Sungguh, Allah Maha kuasa atas segala sesuatu (Qs. al-Baqarah : 20).

Maka, tak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan kekuasaan-Nya. Dan, di antara kuasa-Nya adalah bahwa bila Dia menghendaki sesuatu niscaya Dia melakukannya tanpa ada sesuatu pun yang dapat mencegah dan menghalanginya (Tafsir as-Sa’diy, 1/44)

Adapun ditutupnya ungkapan ini dengan sabdanya, وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, untuk menyempurnakan makna al-hamd (pujian), karena pemberi nikmat tidaklah dipuji dengan sebenarnya sebelum dia diketahui bahwasanya dia mampu untuk menahan (tidak memberikan sesuatu).(al-Munawiy, At-Taisir Bi-Syarhi al-Jami’ ash-Shaghiir, 1/1066) Wallahu A’lam. (Redaksi)