Seseorang berkata kepadanya, “Kamu pasti mati.” Dia menjawab, “Tidak sekedar mati, tetapi sebuah tikaman di atas ini –dia menunjuk ke ubun-ubunnya- dan darah mengalir ke sini –dia menunjuk jenggotnya.” Orang ini tidak hanya yakin dirinya mati, lebih dari itu dia tahu sebab kematiannya, sebuah sebab biadab akibat dari dorongan kebodohan terhadap agama, namun laki-laki besar ini sama sekali tidak gentar, tak sebersit pun terlihat rasa takut di paras wajahnya, dia mana kenal takut atau gentar, kan ibunya telah menamakannya dengan Haedar, singa.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa dia akan gugur sebagai syahid, dia tidak melupakan berita gembira tersebut selama-lamanya, dia sangat yakin bahwa dia akan terbunuh sebagai syahid sepanjang apa pun umurnya. Laki-laki itu adalah menantu Rasulullah dan suami putri beliau Fatimah, Ali bin Abu Thalib.

Dari Zaid bin Wahab berkata, Ali mendatangi suatu kaum dari Khawarij di Bashrah, di antara mereka terdapat seorang laki-laki bernama al-Ja’ad bin Ba’jah, dia berkata kepada Ali, “Bertakwalah kepada Allah, karena kamu mati.” Ali menjawab, “Tidak, akan tetapi terbunuh, sebuah tikaman di atas ini –Ali menunjuk ubun-ubunya- dan darah menetes ke ini –Ali menunjuk jenggotnya- perjanjian yang pasti terwujud, ketetapan yang pasti terlaksana dan sungguh merugi orang yang berdusta.”

Dari Abu Mijlaz berkata, seorang laki-laki dari kabilah Murad datang kepada Ali yang sedang shalat di masjid, dia berkata, “Berhati-hatilah karena beberapa orang dari Murad ingin membunuhmu.” Maka Ali menjawab, “Setiap orang didampingi oleh dua malaikat yang menjaganya dari apa yang tidak ditakdirkan kepadanya, jika takdir telah tiba maka keduanya akan membiarkannya dengan takdirnya, sesungguhnya ajal merupakan tameng yang kokoh.”

Al-Ashbagh al-Hanzhali berkata, di malam di mana Ali ditikam, dia didatangi oleh Ibnu at-Tayyah pada saat fajar terbit untuk mengajaknya shalat, pada saat itu Ali sedang berbaring bermalas-malasan, maka Ibnu at-Tayyah kembali untuk kedua kalinya sedangkan Ali masih demikian, kemudian Ibnu at-Tayyah mengulangnya ketiga kalinya, maka Ali berdiri dan berjalan sambil mengucapkan,

Kuatkanlah tekadmu untuk menghadapi kematian
Karena kematian pasti menjumpaimu
Jangan takut kepada kematian
Jika ia datang mengetuk rumahmu.

Tiga orang Khawarij berkumpul, mereka adalah Abdurrahman bin Muljam, al-Barak bin Abdullah dan Amru bin Bakr at-Taimi, mereka membicarakan keadaan kaum muslimin dan mereka mencela para pemimpin, kemudian mereka menyinggung orang-orang yang gugur dalam peristiwa an-Nahr, maka mereka mendoakan kepada Allah semoga Dia merahmati, mereka berkata, “Kita tidak melakukan apa pun terhadap kehidupan setelah mereka. Saudara-saudara kita di mana mereka adalah para penyeru manusia agar beribadah kepada Allah, mereka tidak takut karena Allah kepada celaan orang yang mencela, alangkah baikya kalau kita menjual diri kita, kita datangi para pemimpin sesat itu lalu kita membunuh mereka sehingga negera bisa beristirahat dari mereka dan kita bisa membalas dendam dari mereka untuk saudara-saudara kita.”

Ibnu Muljam berkata, “Aku yang menangani Ali bin Abu Thalib.” Al-Barak berkata, “Aku membunuh Muawiyah.” Amru bin Bakr berkata, “Aku membunuh Amru bin al-Ash.” Selanjutnya mereka berjanji dan berikrar tidak akan mundur apa pun resikonya sehingga mereka berhasil membunuh sasarannya masing-masing atau mereka yang terbunuh. Lalu mereka menyiapkan pedang mereka, mereka melumurinya dengan racun, mereka sepakat bahwa tanggal pelaksanaan rencana mereka adalah lima belas Ramadhan tahun 40 H, setiap orang harus menghabisi orang yang menjadi sasarannya, selanjutnya masing-masing dari mereka berangkat ke kota di mana sasarannya berada.

Ibnu Muljam yang mempunyai pendukung dari suku Kindah pergi ke Kufah, dia tidak mengatakan apa pun kepada saudara-saudaranya di sana karena dia khawatir rahasianya terbongkar, di Kufah terdapat sepuluh orang Taim ar-Rabab, di antara mereka terdapat seorang wanita yang dipanggil dengan Qitham binti asy-Syajnah, Ali telah membunuh bapaknya dan saudaranya pada perang an-Nahr, wanita ini sangat cantik, ketika Ibnu Muljam melihatnya maka dia terpesona dengannya sehingga dia hampir melalaikan niat yang membuatnya datang ke Kufah, Ibnu Muljam melamarnya, maka wanita itu berkata, “Aku tidak menerima lamaranmu sebelum kamu memenuhi keinginanku.” Ibnu Muljam bertanya, “Apa keinginanmu?” Dia menjawab, “Tiga ribu, seorang hamba sahaya dan seorang wanita penyanyi serta nyawa Ali bin Abu Thalib.” Ibnu Muljam menjawab, “Ia adalah mahar untukmu. Adapun Ali maka aku tidak melihatmu menyebutnya untukku sedangkan kamu menginginkanku.” Dia berkata, “Carilah kelengahannya, jika kamu berhasil membunuhnya maka dirimu dan diriku akan puas dan kamu pun bisa hidup tenang bersamaku, jika kamu terbunuh maka apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal daripada dunia dan perhiasannya dan perhiasan penghuninya.” Ibnu Muljam berkata kepadanya, “Demi Allah, aku tidak datang ke kota ini kecuali dengan maksud itu.” Lalu wanita ini memilihkan seorang laki-laki dari kaumnya untuk membantunya dan Ibnu Muljam juga memilih orang satu lagi untuk membantunya.

Di malam Jum’at 15 Ramadhan tahun 40 H, mereka mengintai Ali, ketika Ali keluar untuk shalat Shubuh, Ibnu Muljam menikamkan pedangnya ke ubun-ubun Ali sambil berkata, “Hukum itu milik Allah, bukan milikmu dan kawan-kawanmu.” Maka orang-orang yang sedang berada di masjid terkejut.

Akhirnya Imam kita ini menghadap kepada Tuhannya karena sebuah tebasan pedang beracun, sebagaimana yang dialami sebelumnya oleh al-Faruq yang juga gugur karena tikaman pisau berujung ganda.

Dalam kondisi sangat kritis ini dia masih meminta orang-orang yang membawanya dan orang-orang yang mengerumuninya agar pergi ke masjid sehingga mereka tetap mendapatkan shalat Shubuh berjamaah sebelum ia berlalu, shalat inilah yang hendak dilaksanakan Ali, namun pembunuhan keji yang penuh dosa menghalangi Ali untuk menghadirinya atau menyempurnakannya, ketika orang-orang sudah menyelesaikan shalat, mereka kembali kepadanya sebagaimana dia sendiri kembali pada saat yang sama, sebagian kaum muslimin masih memegang sang pembunuh, Abdullah bin Muljam, pada saat itu Imam kita ini membuka matanya, kedua matanya tertuju kepada Ibnu Muljam, dia menggelengkan kepadanya dengan penuh penyesalan ketika dia mengenalinya, dia berkata, “Apakah kamu pelakunya? Selama ini aku telah berbuat baik kepadamu.”

Pahlawan besar ini memandang anak-anaknya dan kawan-kawannya sekilas, dia melihat wajah-wajah yang memendam amarah, menahan balas dendam, dia melihat aroma kematian mengalir di persendiannya, dia hampir memastikan nasib yang akan menimpa Ibnu Muljam, sebuah balas dendam yang sangat mengerikan yang akan dilakukan oleh anak-anaknya dan rekan-rekannya, maka dia melangkah dengan teguh untuk memberikan perlindungan kepada pembunuhnya dari kezhaliman atau pelanggaran terhadap batasan-batasan qishash yang disyariatkan.

Dia memanggil mereka kepadanya, kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan tersendat dan terbata-bata untuk menggariskan keagungan manusiawi yang diberikan oleh al-Qur`an kepada Ali dalam sebuah lembaran yang cemerlang.

Ali berkata kepada anak-anak dan keluarganya, “Perlakukan dia dengan baik, sikapilah dengan mulia. Jika aku hidup maka aku yang lebih berhak atasnya, qishash atau maaf. Jika aku mati maka susulkanlah dia denganku, aku akan memperkarakannya di sisi Rabb alam semesta. Jangan membunuh siapa pun selainnya karenaku, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Para ahli sejarah berkata, Abdurrahman bin Muljam menikamnya di Kufah pada hari Jum’at ketika bulan Ramadhan menyisakan tiga belas malam. Ada yang berkata, malam dua puluh satu darinya tahun empat puluh. Ali bertahan dua hari, Jum’at dan Sabtu dan meninggal di malam Ahad, dimandikan oleh kedua anaknya dan Abdullah bin Ja’far, al-Hasan menshalatkannya dan dimakamkan di waktu sahur. Allah meridhainya dan seluruh sahabat Rasulullah. Wallahu a’lam. (Oleh Ustadz Izzudin Karimi, Lc)

[Sumber: Ashaburrasul, Syaikh Mahmud al-Mishri]