Edisi Th. XVIII No. 873/ Jum`at I/Ramadhan 1433 H/ 03 Agustus 2012 M.

Allah memerintahkan kepada hamba-Nya beberapa jenis ibadah, ada ibadah yang wajib dan ada yang sunnah. Di antara hikmahnya adalah agar seorang hamba tidak bosan dengan satu jenis ibadah sehingga ia meninggalkan ibadah tersebut. Juga menjadi peluang seorang hamba dalam mengumpulkan pahala untuk bekal menghadap Allah.

Di antara jenis ibadah sunnah tersebut adalah shalat tahajud. Allah memuji orang-orang yang senantiasa melaksanakannya. Allah berfirman, artinya, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang Kami berikan. Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. as-Sajdah: 16-17).
Rasulullah pun bersabda,

أَفْضَلُ الصَلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ الصَلاَةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat di pertengahan malam.” (HR. ad-Darimi, no. 1476).

Ini adalah sebuah keutamaan bagi yang mau melaksanakan dan lebih utama lagi bila shalat malam tersebut dilaksanakan pada bulan Ramadhan atau yang lebih dikenal dengan shalat Tarawih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Apa Shalat Tarawih Itu?
Shalat Tarawih adalah shalat malam yang dilaksanakan secara berjamaah pada bulan Ramadhan. Dinamakan shalat Tarawih karena para sahabat memanjangkan shalatnya, hingga mereka beristirahat setiap selesai empat rakaat.

Asal mula shalat ini dilakukan secara berjamaah seperti termaktub di dalam Shahih al-Bukhari dari ‘Aisyah, dia berkata, “Bahwa Nabi pada suatu malam melaksanakan shalat di masjid, lalu manusia beramai-ramai bermakmum di belakang beliau. Kemudian pada malam kedua dan ketiga jamaahnya semakin banyak, hingga pada malam keempat manusia berkumpul, namun beliau tidak keluar ke masjid. Pada pagi harinya Rasulullah bersabda,

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ

“Aku melihat apa yang telah kalian perbuat, padahal tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali karena aku takut shalat tersebut diwajibkan kepada kalian.” (HR. Muslim, no. 1819).

Dan kisah ini terjadi pada bulan Ramadhan.

Jumlah Rakaat
Terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih yang digabung dengan witir. Ada yang mengatakan 41, 39, 23, 19, 13 dan 11 rakaat. Di antara pendapat yang paling mendekati sunnah adalah 13 atau 11 rakaat disertai salam setiap dua rakaat. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah ketika ditanya tentang shalatnya Nabi pada bulan Ramadhan? Aisyah menjawab,

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Nabi tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat di bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. al-Bukhari, no. 3569).

Kemudian dalam riwayat lain, Umar bin al-Khaththab pernah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami manusia dengan 11 rakaat. (HR. Malik, no. 379).
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas,

كَانَتْ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يَعْنِي بِاللَّيْلِ

“Adalah shalat Nabi 13 rakaat, maksudnya adalah shalat malam.” (HR. al-Bukhari, no. 1138).

Akan tetapi jika dilaksanakan lebih dari 11 atau 13 rakaat, maka hal itu diperbolehkan karena Nabi pernah ditanya tentang shalat Malam, beliau menjawab,

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah dia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. al-Bukhari, no. 990 dan Muslim, no. 749).

Dalam hadits ini Rasulullah tidak menyebutkan batasan jumlah shalat malam, ini menunjukan bahwa shalat malam tersebut boleh dilakukan lebih dari 11 atau 13 rakaat.

Namun demikian, melakukannya dengan jumlah yang disunnahkan Nabi disertai dengan ketenangan, panjang dan tidak menyulitkan manusia adalah lebih utama dan sempurna.

Adapun shalat Tarawih yang dilakukan dengan cepat dan tergesa-gesa, sesungguhnya hal ini menyelisihi apa yang disyariatkan, sehingga dikhawatirkan meninggalkan rukun atau syarat wajibnya dan shalatnya batal.

Selayaknya bagi umat muslim untuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakan shalat Tarawih. Sesungguhnya orang yang shalat bersama imam sampai selesai, ‘ditulis’ baginya seperti shalat semalam suntuk meskipun ia tidur setelahnya. Rasulullah bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam selesai menunaikannya, ditulis baginya shalat semalam suntuk.”(HR. at-Tirmidzi, no. 806).

Wanita dan Tarawih
Diperbolehkan bagi wanita untuk menghadiri shalat Tarawih di masjid sekiranya aman dari fitnah. Rasulullah bersabda,

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ

“Jangan kalian larang hamba-hamba Allah perempuan untuk pergi ke masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun disyaratkan bagi wanita untuk menutup aurat, tidak mengeraskan suara dan senantiasa berhias dengan rasa malu, bukan bertabaruj (pamer kecantikan) dengan perhiasan atau parfum.

Kemudian, senantiasa ingat bahwa sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang, sebagaimana hadits Rasulullah,

وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“…dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang dan yang paling jelek adalah yang paling depan.” (HR. Muslim, no. 1013).
Selanjutnya, segera meninggalkan masjid jika imam selesai salam dan tidak mengakhirkan keluar masjid. Dalam sebuah riwayat dari Ummu Salamah berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ

“Adalah Nabi jika telah salam, maka berdirilah para wanita ketika Nabi selesai salam dan beliau tetap duduk di tempatnya sebentar sebelum berdiri (berbalik).” (HR. al-Bukhari, no. 870).
Kemudian Ummu Salamah melanjutkan, “Kami melihat wallahu a’lam bahwasannya Rasulullah melakukan demikian agar para wanita segera berpaling sebelum laki-laki.” (Redaksi)
[Sumber: Diterjemahkan secara bebas dan ringkas dari kitab, “Fushul fi Shiyam wa Tarawih wa Zakat dalam al-Maktabah asy-Syamilah,” penulis Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin]