Rumah adalah tempat kembali bagi anggotanya, markas bagi mereka, seorang suami, setelah seharian lelah bekerja atau telah menunaikan tugas dinas luar kotanya, dia pulang ke markasnya, anak-anak, setelah menyelesaikan tugas belajarnya atau hobi mainnya, mereka akan pulang kandang. Bila rumah memiliki peran demikian strategis bagi anggotanya, maka hal itu bukan karena ia sebagai rumah, sebuah bangunan dengan segala perlengkapannya, karena kalau karena ini, maka semua bangunan akan sama saja, tetapi kenyataannya tidak demikian, hal itu tidak lain karena di rumah ada satu orang, yaitu istri atau ibu, coba saja bila orang ini tak ada di rumah, bila Anda adalah suami, di rumah tak ada istri, maka Anda malas pulang, karena ada sesuatu yang hilang di sana, bila Anda sebagai anak, hal yang sama terjadi pada Anda.

Istri yang baik adalah istri yang membahagiakan suami yang memandangnya, menaati suami yang memerintahkannya, memenuhi suami yang bersumpah atasnya dan menjaga suami pada diri dan hartanya manakala suami meninggalkannya.

Pahit dan Manis

Istri yang tulus adalah istri yang tidak membiarkan suami dalam kesulitan seorang diri, hanya mau saat suami sedang berduit banyak, ada uang abang disayang, tak ada uang abang dibuang, habis manis sepah ditelan, sebagaimana dia hidup bersamanya pada hari-hari yang manis, dia juga hidup bersamanya pada hari-hari sulit tanpa merana dan mengeluh. Kehidupan tidak selalu berjalan di atas satu keadaan, itulah sunnah Allah pada hamba-hambaNya.

Al-Ashma’i berkata, “Orang-orang Arab pedalaman tertimpa kelaparan, aku melewati seorang laki-laki yang duduk bersama istrinya di persimpangan jalan, laki-laki itu berkata,

Ya Rabbi aku duduk seperti yang Engkau lihat
Dan istriku juga duduk sebagaimana Engkau lihat
Perutku lapar seperti yang Engkau lihat
Lalu apa yang Engkau lihat wahai Tuhan
Kami dalam apa yang Engkau lihat.

Sebelum itu adalah para Ummahatul Mukminin, para istri Rasulullah, mereka adalah para istri yang sangat setia kepada beliau, sekalipun hidup bersama Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam dalam kesulitan dan kemiskinan. Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, wahai keponakanku, kami melihat bulan sabit, tiga kali muncul dalam dua bulan sementara di rumah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tidak dinyalakan api.” Urwah berkata, aku bertanya, “Bagaimana hidup kalian?” Aisyah menjawab, “Dua benda hitam, kurma dan air.”

Abu Hurairah berkata, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Sesungguhnya aku dalam keadaan kesulitan hidup yang berat.” Maka beliau bertanya kepada sebagian istrinya, dia berkata, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku hanya mempunyai air.” Kemudian beliau bertanya kepada istrinya yang lain, dia menjawab sama, sehingga semua istri beliau memberikan jawaban yang sama, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku hanya mempunyai air.”

Ini adalah setetes dari hujan, namun demikian, para istri itu tetap setia bersama beliau, ikut serta dan turut aktif dalam memikul kesulitan hidup bersama suami mereka, Rasulullah.

Seni Berkomunikasi

Komunikasi dengan landasan cinta kasih merupakan keharusan untuk menciptakan hubungan emosi dengan orang yang kita cintai, agar perbincangan ini selalu berlangsung nikmat selama bertahun-tahun, maka suami istri harus menguasai seni pembicaraan, mempunyai beragam tema dalam koridor ini. Istri yang cerdik menguasai seni berbicara dengan cinta kasih, dia mampu menggali topik-topik baru untuk dia bicarakan bersama suami, topik-topik yang tidak membuat hitam suasana atau justru malah memperlebar perselisihan.

Perbincangan dengan cinta kasih tidak hanya berarti kebersamaan dalam pengetahuan dan pandangan hidup, ia juga merupakan sarana mengungkapkan perasaan dan apa yang dirasakan, kedua belah pihak memberikan kesempatan luas kepada pasangan untuk mengungkapkan perasaan dan isi hatinya, sesaat sebagai pembicara yang baik dan sesaat menjadi pendengar yang baik, dari sini akan lahir sebuah keselarasan yang membuat istri atau suami tahu perasaan pasangannya.

Aisyah berkata, Rasulullah berkata kepadaku, “Sungguh aku mengetahui kapan kamu ridha dan kapan kamu marah.” Aku bertanya, “Dari mana engkau tahu itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika kamu ridha maka kamu akan berkata, “Tidak, demi Tuhan Muhammad, dan jika kamu marah maka kamu berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim’.” Aisyah berkata, “Benar, demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak menghindari kecuali namamu.”

Qana’ah dan Ridha

Istri shalihah lagi mulia adalah wanita yang rela terhadap apa yang Allah berikan kepadanya, dia tidak membenci suaminya dan tidak menyombongkan diri atasnya jika suaminya lebih rendah darinya, baik dari sisi penghasilan atau dari sisi penampilan. Sebagaimana dia menerima segala apa yang dimiliki oleh suami dalam kondisi suka dan duka, karena hari-hari tidak berjalan dalam satu keadaan.

Di antara perkara yang menarik perhatian dalam hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Ashma’i, dia berkata, aku masuk ke daerah pedalaman, aku melihat seorang wanita yang tergolong cantik bersuamikan seorang laki-laki buruk rupa. Aku berkata kepada wanita itu,

“Wahai fulanah, apakah kamu rela bersuamikan orang ini?” Dia menjawab, “Diam kamu, kamu telah berkata keliru, mungkin suamiku ini telah berbuat baik kepada Tuhannya maka Dia memberikan diriku kepadanya sebagai balasannya, atau mungkin aku telah berbuat buruk kepada Tuhanku sehingga Dia menjadikannya sebagai hukuman atasku. Apakah aku tidak rela dengan apa yang telah Allah relakan untuk diriku?” Al-Ashma’i berkata, “Aku terdiam.”

Ibnu Abdi Rabbihi meriwayatkan dalam al-Iqdul Farid bahwa Imran bin Hatthan melihat kepada istrinya yang tergolong wanita cantik sementara Imran sendiri tergolong laki-laki terburuk, Imran berkata, “Aku dan kamu di surga insya Allah.” Istrinya bertanya, “Mengapa?” Imran berkata, “Aku dikaruniai istri sepertimu maka aku bersyukur sementara kamu dikaruniai suami sepertiku dan kamu bersabar.” Wallahu a’lam.