Kedudukan Hadits

Dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Shamma` bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا لِحَاءَ عِنَبَةٍ أَوْ عُوْدَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضَغْهُ.

“Janganlah kalian berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian. Bila seseorang darimu tidak mendapatkan kecuali kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah itu.” [1]

Ulama berbeda pendapat tentang berpuasa sunnah pada Hari Sabtu. Imam Ahmad seperti yang dipahami al-Atsram dari perkataannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Al-Inshaf (3/347)] dan juga muridnya, Ibnul Qayyim serta ulama yang lain berpendapat boleh berpuasa secara khusus pada Hari Sabtu. Mereka memandang hadits yang melarangnya lemah.

Imam Malik mengatakan, “Ini adalah hadits yang dusta.”

Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim mengatakan, “Hadits ini mungkin syadz (ganjil) atau hukumnya telah dibatalkan.”

Mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa hadits shahih yang lain yang membahas masalah ini. Di antaranya adalah:

1. Hadits riwayat Juwairiyah binti al-Harits yang menyatakan bahwa Nabi mendatanginya pada Hari Jum’at dan ketika itu ia sedang berpuasa. Lalu Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah kamu berpuasa kemarin?” Dia menjawab, “Tidak.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Apakah kamu akan berpuasa besok?” Dia menjawab, “Tidak.” Lalu Nabi bersabda, ]]”Berbukalah!”

2. Hadits riwayat Abu Hurairah bahwa ia berkata,

لَا يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ.

“Janganlah seseorang darimu berpuasa pada Hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.”

  1. Hadits riwayat Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.

“Barangsiapa yang berpuasa pada Bulan Ramadhan lalu mengiringinya dengan puasa enam hari pada Bulan Syawal, maka seakan ia berpuasa sepanjang tahun.”

4. Hadits riwayat Abu Qatadah bahwa Nabi pernah ditanya tentang puasa Hari Arafah lalu ia menjawab, “Puasa itu dapat menghapus dosa pada tahun yang lalu dan dosa pada tahun yang akan datang.” Lalu Nabi ditanya tentang puasa Hari Asyura` dan beliau menjawab, “Puasa itu dapat menghapus dosa pada tahun yang lalu.”

5. Hadits riwayat Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ عِنْدَ اللّهِ صَوْمُ دَاوُدَ j، كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

“Puasa yang paling baik adalah puasa Nabi Dawud di mana ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”

6. Hadits riwayat Jarir bin Abdillah bahwa Nabi bersabda,

صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ، أَيَّامُ الْبِيْضِ صَبِيْحَةُ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ، وَخَمْسَ عَشْرَةَ.

“Berpuasa tiga hari setiap bulan sama dengan berpuasa sepanjang tahun dan hari-hari putih itu adalah tanggal 13, 14 dan 15.”

Berpuasa seperti dalam hadits-hadits ini pasti suatu saat bertepatan dengan Hari Sabtu.

Uraian Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (2/572),

Para sahabat kami dan para ulama berbeda pendapat tentang puasa Hari Sabtu. Abu Bakar al-Atsram berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang berpuasa pada Hari Sabtu secara khusus,” lalu beliau menjawab, “Mengenai berpuasa pada Hari Sabtu secara khusus terdapat hadits yang diriwayatkan ash-Shamma`, yakni hadits riwayat Tsaur dari Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya ash-Shamma` dari Nabi bahwa beliau bersabda,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.

‘Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian’.

Abu Abdillah berkata, “Yahya bin Sa’id menghindari hadits ini dan ia enggan menceritakannya kepadaku.” Ia mendengar dari Tsaur bahwa ia berkata, “Aku mendengar hadits ini dari Ashim…”

Selanjutnya al-Atsram mengatakan, “Argumentasi Abu Abdullah dalam membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu adalah bahwa hadits-hadits yang ada seluruhnya berbeda dengan hadits Abdullah bin Busr.” Di antaranya adalah:

1. Hadits Ummu Salamah bahwa ia pernah ditanya, “Pada hari apa sajakah Rasulullah sering berpuasa?” Ia menjawab, “Hari Sabtu dan Ahad.” (Hadits lemah)

2. Hadits Juwairiyah bahwa Nabi berkata kepadanya pada Hari Jum’at, “Apakah kemarin kamu berpuasa?” Ia menjawab, “Tidak” Nabi bertanya lagi, “Apakah kamu akan berpuasa besok?” Besok adalah Hari Sabtu.

3. Hadits Abu Hurairah bahwa Nabi melarang berpuasa pada Hari Jum’at kecuali jika seseorang berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hari setelahnya adalah Hari Sabtu.

4. Nabi berpuasa pada Bulan Sya’ban selama sebulan penuh dan tentu termasuk di dalamnya adalah Hari Sabtu.

5. Rasulullah juga memerintahkan berpuasa pada Bulan Muharram dan di dalamnya juga ada Hari Sabtu.

6. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa pada Bulan Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari pada Bulan Syawal…” Dan ada kemungkinan Hari Sabtu termasuk di dalamnya.

7. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan berpuasa pada hari-hari yang putih dan bisa saja Hari Sabtu masuk ke dalamnya. Contoh-contoh semacam ini sangatlah banyak.

Al-Atsram memahami dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu menerima hadits Ibnu Busr dan ia membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu dengan menyebut hadits yang menjadi dasar untuk memakruhkannya. Kemudian al-Atsram menyebutkan bahwa Ahmad mengatakan dalam ‘Ilal al-Hadits bahwa Yahya bin Sa’id menjauhi hadits Ibnu Busr dan enggan menceritakannya kepadanya. Ini menunjukkan bahwa ia (Ahmad) menilai hadits Ibnu Busr ini lemah.

Berdasarkan nash-nash yang mutawatir, al-Atsram berpendapat bahwa berpuasa pada Hari Sabtu dibolehkan. Dan larangan berpuasa tersebut tidak bisa dipahami sebagai bentuk pelarangan mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja (tanpa hari yang lain). Sebab redaksinya berbunyi,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.

“Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.”

Pengecualian di sini menunjukkan bahwa larangan ini bersifat umum, sehingga hadits ini menunjukkan keumuman larangan berpuasa pada Hari Jum’at dalam bentuk puasa apa pun. Sebab jika yang dimaksud adalah larangan mengkhususkan puasa pada Hari Jum’at saja, tentu berpuasa wajib tidak dapat dikecualikannya karena tidak ada unsur mengkhususkan pada puasa wajib. Jadi adanya pengecualian ini menunjukkan bahwa larangan ini mencakup puasa selain puasa wajib itu. Hal ini berbeda dengan puasa pada Hari Jum’at di mana Nabi menjelaskan bahwa pelarangannya adalah dalam rangka mengkhususkan puasa pada hari itu saja. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini mungkin syadz (ganjil) dan tidak shahih serta mungkin hukumnya telah dibatalkan. Inilah metode yang ditempuh ulama-ulama terdahulu yang termasuk murid-murid Imam Ahmad seperti al-Atsram dan Abu Dawud.

Abu Dawud berkata, “Hadits ini telah dibatalkan hukumnya.” Abu Dawud juga menyebutkan dengan sanadnya dari Ibnu Syihab bahwa jika disebutkan kepada Ibnu Syihab larangan berpuasa pada Hari Sabtu, dia mengatakan, “Ini adalah hadits orang Himsha.” Sedangkan al-Auza’i mengatakan, “Sebelumnya saya melihat hadits ini masih disembunyikan, hingga akhirnya ia tersebar luas.” Maksudnya adalah hadits Ibnu Busr tentang puasa pada Hari Sabtu. Abu Dawud mengutip perkataan Malik yang mengatakan, “Hadits ini dusta.” Oleh karena itu banyak para ulama yang tidak memakruhkannya.

Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat makruh mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu. Menurut mereka alasan pelarangan pada hadits tersebut adalah karena kaum Yahudi mengagungkan Hari Sabtu, namun jika berpuasa pada hari tersebut disatukan dengan puasa pada hari lainnya, atau berbarengan dengan puasa rutinnya maka tidak dimakruhkan.

Dalil mereka adalah:

1. Hadits Juwairiyah binti al-Harits bahwa Nabi mendatanginya pada Hari Jum’at dan saat itu ia sedang berpuasa, lalu Nabi bertanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” Ia menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya lagi “Apakah kamu akan berpuasa besok?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka Nabi pun bersabda kepadanya, “Berbukalah.”

2. Hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Kuraib budak Ibnu Abbas di mana ia mengatakan, “Ibnu Abbas dan beberapa sahabat Rasul shallallohu ‘alaihi wasallam mengutusku kepada Ummu Salamah untuk menanyakan hari-hari apa saja yang paling banyak diisi Nabi dengan berpuasa” Ummu Salamah menjawab, “Hari Sabtu dan Ahad.” Lalu aku kembali kepada mereka, dan ketika aku sampaikan kepada mereka, seakan mereka mengingkarinya. Mereka pun berangkat untuk menemui Ummu Salamah, lalu mereka berkata, “Kami mengutus orang ini kepadamu untuk menanyakan masalah ini, lalu ia mengatakan bahwa kamu mengatakan begini dan begitu.” Ummu Salamah berkata, “Benar apa yang ia sampaikan, sesungguhnya hari-hari yang paling banyak diisi Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dengan berpuasa adalah Hari Sabtu dan Ahad. Beliau pernah mengatakan, ‘Keduanya adalah hari raya kaum musyrik dan karena itu aku ingin berbeda dengan mereka’.” [2]

Mereka juga berargumentasi dengan dalil-dalil yang dipegang oleh kelompok pertama.

Pendapat Para Ulama

Pendapat al-Kasani dalam Bada`i’ ash-Shana`i’ (2/79),
Dimakruhkan berpuasa pada Hari Sabtu saja karena itu me-nyerupai kaum Yahudi.

Pendapat ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar (2/81),
Berpuasa Hari Sabtu dibolehkan menurut kami -wallahu a’lam- dan mengenai hadits ash-Shamma` itu, sesungguhnya tujuan la-rangan berpuasa itu adalah agar tidak mengagungkan Hari Sabtu, sehingga orang menahan diri dari makan, minum dan jima’ pada hari itu seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Namun jika orang berpuasa pada hari itu bukan untuk mengagungkannya dan tidak bermaksud meniru kaum Yahudi, maka hal itu tidak dimakruhkan.

Pendapat an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/440),
Pendapat yang benar secara umum adalah apa yang telah kami kemukakan yang dikutip dari sahabat kami, yakni dimak-ruhkan berpuasa pada Hari Sabtu saja jika tidak bertepatan dengan puasa rutinnya berdasarkan hadits ash-Shamma`.

Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (4/428),
Para sahabat kami berpendapat makruh mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja… (Ia pun membawakan hadits ash-Shamma`). Selanjutnya Ibnu Qudamah mengatakan, “Al-Atsram mengutip pendapat Abu Abdillah (Ahmad) yang mengatakan, ‘Adapun mengenai berpuasa pada Hari Sabtu secara khusus, maka dalam hal ini terdapat hadits yang diriwayatkan ash-Shamma`. Namun Yahya bin Sa’id menghindari hadits ini dan ia enggan men-ceritakannya kepadaku. Aku mendengarnya dari Abi Ashim’.” Yang dimakruhkan adalah mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja. Sedangkan jika disertai dengan berpuasa pada hari yang lain, maka tidak dimakruhkan.

Pendapat at-Tirmidzi dalam al-Jami’ setelah meriwayatkan hadits ash-Shamma`,
Makna pemakruhan dalam hadits ini adalah jika seseorang mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja. Sebab kaum Yahudi mengagungkan Hari Sabtu.

Pendapat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/303),
Hadits Juwairiyah binti al-Harits yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya menunjukkan bolehnya berpuasa pada Hari Sabtu. Maka seolah maksud pelarangan dalam hadits ini adalah mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja untuk mengagung-kannya. Wallahu a’lam.

Pendapat al-Azhim Abadi dalam Aun al-Ma’bud (7/67),
Ath-Thibi mengatakan, “Ulama mengemukakan bahwa la-rangan di sini adalah mengkhususkannya seperti larangan meng-khususkan puasa pada Hari Jum’at. Tujuannya adalah agar berbeda dengan kaum Yahudi. Larangan ini bersifat makruh menurut mayo-ritas ulama. Kemudian yang dimaksud dengan apa yang diwajib-kan meliputi puasa wajib, puasa nadzar, puasa qadha dan puasa kaffarat. Termasuk yang semakna dengannya adalah puasa sunnah mu`akkadah yang bertepatan dengan hari itu, seperti Hari Arafah, Hari Asyura` atau bertepatan dengan puasa rutin seseorang.”

Ibnu al-Mulk menambahkan:
Termasuk puasa pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah atau bertepatan dengan puasa yang paling baik, yakni puasa Nabi Dawud. Yang terlarang di sini adalah memberikan perhatian yang besar terhadap Hari Sabtu sehingga seolah berpuasa pada hari itu wajib seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Jika tujuannya demikian (memberikan perhatian yang besar terhadap Hari Sabtu hingga harus berpuasa pada hari itu), maka larangannya bersifat haram. Namun jika tidak bertujuan seperti itu, maka larangannya hanya bersifat makruh karena adanya unsur meniru kaum Yahudi.

Penulis buku al-Badr al-Munir mengkompromikan antara hadits-hadits yang ada. Ia mengatakan,
Larangan ini ditujukan kepada pengkhususan puasa pada Hari Jum’at saja. Sedangkan bolehnya berpuasa adalah jika diga-bungkan dengan puasa sebelumnya atau setelahnya. Ini didukung oleh izin Nabi a terhadap orang yang berpuasa pada Hari Jum’at agar ia berpuasa pula setelahnya. Upaya pengkompromian antara hadits-hadits selama itu bisa dilakukan lebih baik dari pada mem-batalkan hukum yang terdapat pada salah satunya.[Nail al-Authar (4/299)]

Kesimpulan

Pendapat yang kuat menurut saya -wallahu a’lam- adalah pendapat Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu walaupun dilakukan hari itu saja selama tidak bertujuan mengagungkannya. Sebab hadits-hadits yang melarang berpuasa tidak kuat untuk mengimbangi hadits-hadits yang shahih yang secara tegas membolehkannya. Di samping itu telah dibeberkan pendapat para ulama hadits yang menyatakan bahwa hadits ini mengandung ‘illat.

Pendapat Syaikh Abu Abdullah Mushthafa bin al-Adawi setelah ia meriwayatkan hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits ini:

Masing-masing hadits secara sendiri dari semua hadits yang telah kami kemukakan ini lebih shahih dari pada hadits yang melarang berpuasa pada Hari Sabtu. Maka tidak seyogyanya dan walau bagaimana pun tidak layak menolak hadits-hadits ini dengan mendahulukan hadits yang berbunyi,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.

‘Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.’

Kemudian bagaimana pun juga pandangan para ulama dalam masalah ini tidak dapat begitu saja diabaikan.

Akan tetapi semua hadits-hadits yang ada harus dikumpulkan lalu dipilah mana di antara hadits-hadits tersebut yang lebih shahih dan lebih kuat. Demikian juga perlunya meninjau pandangan para ulama, baik dalam hal penilaian mereka terhadap derajat hadits maupun dalam hal pemahaman mereka terhadap hukum yang terkandung di dalamnya. Adapun hanya melihat satu matan hadits saja dan satu sanad saja dengan mengabaikan selain itu akan menimbulkan pemahaman yang ganjil.

Jadi sangat aneh bila ada seorang yang tidak berpuasa pada Hari Asyura` sementara Kaum Muslimin semuanya berpuasa lantaran Hari Asyura` itu jatuh pada Hari Sabtu dan menurut dugaannya berpuasa pada Hari Sabtu haram.

Juga sangat aneh bila ada seseorang yang bukan sedang melakukan ibadah haji tidak berpuasa pada Hari Arafah sementara semua orang di sekelilingnya berpuasa.

Bukankah orang seperti ini telah rugi, tidak mendapatkan pahala karena kekurangpahamannya dan sikapnya mengabaikan semua hadits? Bukankah sepatutnya ia menggabungkan semua hadits dan melihat pandangan para as-Salaf ash-Shalih serta mengkompromikannya dengan cara yang dapat diterima? Sungguh benar, itulah yang semestinya dilakukan sebagaimana sabda Nabi a,

مَنْ يُرِدِ اللّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ.

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan pada dirinya, maka Allah akan memahamkannya dalam Agama.”

______________________

Footnote:

[1] Sanad hadits ini shahih (Banyak pendapat ulama yang menyatakan hadits ini mengandung ‘illat) dan dikeluarkan oleh Abu Dawud, no. 2421; at-Tirmidzi, no. 744; an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2762, 2763, 2764); Ibnu Majah, no. 1726; Ahmad (6/368); ad-Darimi dalam as-Sunan (2/19); Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani, no. 3411; Ibnu Khuzaimah, no. 2163; ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani al-Atsar (2/80); ath-Thabrani dalam al-Kabir (24/no. 818, 819, 820, 821) dan dalam Musnad asy-Syamiyin, no. 434); al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/435); Tamam dalam al-Fawaid, no. 653; Abu Nu’aim dalam Ma’rifat ash-Shahabah, no. 7727; al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/302); al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah (6/No. 1806); Ibnu al-Atsir dalam Usud al-Ghabah (7/174). Semuanya melalui jalur Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya ash-Shamma.
<p align="justify">Dari Tsaur dengan jalur periwayatan seperti diriwayatkan oleh Abu Ashim an-Nabil, Ashbagh bin Zaid, al-Auza'i, Qurrah bin Abdurrahman, al-Fadhl bin Musa, Sufyan bin Hubaib, al-Walid bin Muslim, Abdullah bin ash-Shabah.</p>
<p align="justify">Berbeda dengan mereka perawi-perawi berikut:
1. Abdullah bin Yazid al-Muqri
Dia meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari ibunya. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani, no. 3413 dan Tamam dalam al-Fawa
id, no. 654.
2. Baqiyah bin Walid
Dia meriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari bibinya ash-Shammasebagaimana yang dikeluarkan an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2765)
3. Isa bin Yunus dan Utbah bin Sakan
Keduanya meriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasai dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2761); Ibnu Majah, no. 1726); Abdun bin Humaid dalam al-Muntakhab (2/No. 2761); Tamam dalam al-Fawaid, no. 655; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (5/218)

Saya katakan:
Riwayat para ahli hadits yang bersumber dari Tsaur dengan menyebut saudaranya itulah yang lebih utama untuk diterima.

Riwayat Tsaur berbeda dengan riwayat beberapa perawi hadits berikut:
1. Dawud bin Ubaidillah
Dia meriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Sham’a dari Aisyah. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2771).

Saya katakan:
Riwayat ini tidak shahih karena Dawud bin Abdullah adalah perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya) sebagaimana dikemukakan Ibnu Hajar.

2. Al-Fudhail bin Fudhalah
Riwayat yang bersumber darinya berbeda-beda. Ibnu Salim meriwayatkan dari az-Zubaidi dari Fudhail dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari ayahnya. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2768) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (2/no. 1191). Sedangkan Muhammad bin Harb meriwayatkan dari az-Zubaidi dari Fudhail dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Shamma` (dengan menggugurkan Khalid bin Ma’dan).
Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/no. 2767); Ibnu Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani, no. 3412; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (2/No. 822).

Saya katakan:
Riwayat ini juga lemah karena tidak dikenalnya Fudhail (majhul) dan hanya Ibnu Hibban yang menilainya tsiqah sesuai kaidah yang dipakainya, yakni menilai tsiqah perawi yang majhul. Sementara Ibnu Hajar dalam at-Taqrib mengomentarinya dengan maqbul (bisa diterima).

3. Luqman bin Amir
Riwayatnya berbeda-beda:
Isma’il bin Iyasy meriwayatkan dari az-Zubaidi dari Luqman bin Amir dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Shamma`. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ahmad (6/368-369) dan ath-Thabrani dalam Musnad asy-Syamiyin, no. 1591.
Sementara riwayat Baqiyah berbeda dengan riwayat Isma’il dan riwayat dari Baqiyah pun berbeda-beda: Sa’id bin Amr meriwayatkan dari Baqiyah dari az-Zubaidi dari Luqman bin Amir. Hanya saja dia menyebut “saudaranya ash-Shamma`. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2766)
Amr bin Utsman meriwayatkan dari Baqiyah dari az-Zubaidi dari Luqman bin Amir dari Amir bin Jusyaib dari Khalid dari Abdullah bin Busr dari Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/2766)
Sedangkan Yazid bin Abdu Rabbih meriwayatkan dari Baqiyah dari az-Zubaidi dari Amir bin Jusyaib seperti riwayat Amr bin Utsman di atas (dengan menggugurkan Luqman bin Amir).

Saya katakan:
Riwayat ini tidak lebih baik dari kedua riwayat sebelumnya. Karena Luqman bin Amir dalam penilaian Abu Hatim adalah perawi yang boleh ditulis haditsnya dan tidak ada kritikus hadits yang diakui yang menilainya tsiqah.

Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa riwayat yang kuat adalah riwayat yang bersumber melalui jalur Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya, ash-Shamma`. Karena Tsaur adalah perawi yang tsiqah dan dia hafal hadits yang bersumber dari Khalid bin Ma’dan. Al-Walid bin Muslim mengatakan, “Tsaur hafal hadits yang bersumber dari Khalid bin Ma’dan. Perawi-perawi yang riwayatnya berbeda dengannya tidak perlu dihiraukan karena mereka perawi yang tidak dikenal atau lemah. Wallahu a’lam.”

Riwayat Khalid bin Ma’dan berbeda dengan riwayat perawi-perawi berikut:
1. Ibnu Abdullah bin Busr
Riwayatnya dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/2760); Ibnu Khuzaimah, no. 2164); ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (24/ 2760); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/302); Abu Nu’aim dalam Ma’rifat ash-Shahabat, no. 7725 melalui jalan Mu’awiyah bin Shalih dari Ibnu Abdullah bin Busr dari bapaknya dari bibinya ash-Shamma`. Sanad ini sangat lemah karena Ibnu Abdullah bin Busr menurut Ibnu Hajar dalam at-Taqrib tidak dikenal dan namanya juga tidak diketahui.
2. Hasan bin Nuh
Riwayatnya berbeda-beda:
Ali bin Iyasy dan Mubasysyir bin Isma’il meriwayatkan dari Hasan bin Nuh dari Abdullah bin Busr dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam al-Mu’jam al-Kubra (2/2759); Ahmad (4/189); Ibnu Qani’ dalam Mu’jam ash-Shahabat (2/81); Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 3615; ad-Daulabi dalam al-Kuna (2/118).
Sementara berbeda dengan mereka berdua, Abu al-Mughirah Abdul Quddus bin al-Hajjaj al-Khaulani yang meriwayatkan dari Hasan bin Nuh dari Abu Umamah.

Saya komentari:
Perbedaan riwayat itu menurut saya dari Hasan bin Nuh. Sebab dia perawi yang tidak dikenal dan hanya Ibnu Hibban serta al-‘Ijli yang menilainya tsiqah. Jadi kekeliruan muncul darinya. Pandangan ini lebih baik daripada menilai wahm (memiliki kekeliruan) terhadap perawi-perawi tsiqah yang meriwayatkan darinya. Wallahu a’lam.

3. Yahya bin Hassan
Riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad (4/189) dan dari Ahmad riwayat ini dikeluarkan oleh al-Khatib dalam Tarikh Baghdad (6/24) melalui jalur Ibrahim bin Ishaq ath-Thaliqani dari al-Walid bin Muslim dari Yahya bin Hassan dari Abdullah bin Busr dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam.

Komentar saya:
Sanad hadits ini masih bisa diterima. Hanya yang dikhawatirkan adalah tadlis yang dilakukan al-Walid bin Muslim, di mana pada sanad ini ia menggunakan redaksi ‘an’anah (dari si Fulan dari si Fulan).

Komentar saya lagi:
Riwayat ini tidak kuat untuk melawan riwayat Khalid bin Ma’dan karena seperti dijelaskan riwayat ini lemah.

Yahya bin Hisan memiliki jalur periwayatan lain dari Abu Umamah dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dikeluarkan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (8/No. 7722) melalui jalan Isma’il bin Iyasy dari Abdullah bin Dinar dari Abu Umamah.

Komentar saya:
Sanad ini tidak shahih dan kelemahan terletak pada Abdullah bin Dinar, seorang Bahrani Himsha.
Ibnu Ma’in mengatakan, “Ia seorang warga Syam yang lemah.”
Abu Hatim mengatakan, “Dia seorang syaikh yang tidak kuat.”
Ad-Daruquthni mengatakan, “Dia perawi yang tidak diperhitungkan.”
Al-Azdi berkata, “Haditsnya tidak sama dengan hadits kebanyakan perawi dan mayoritas ulama menilainya lemah kecuali penilaian yang ganjil dari Abi Ali al-Hafizh, di mana ia mengatakan, “Dia menurut saya perawi yang tsiqah” Namun yang dipegang adalah pendapat jumhur (Mayoritas ulama).

Saya katakan:
Riwayat Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya ash-Shamma` itulah riwayat yang kuat sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dan inilah pendapat yang dikuatkan ad-Daruquthni 5, di mana dalam al-‘Ilal (juz V ha. II bagian 86 B) setelah membawakan semua jalur periwayatan hadits ini ia mengatakan, “Riwayat yang shahih adalah riwayat yang bersumber dari Ibnu Busr dari saudara perempuannya.”
Hadits ini sanadnya shahih karena semua perawinya tsiqah. Akan tetapi banyak ulama yang menilai bahwa hadits ini ma’lul (mengandung ‘illat), meskipun secara lahir shahih. Berikut pendapat mereka:
1. Imam Malik
Abu Dawud mengatakan dalam as-Sunan (2/807), bahwa Malik mengatakan, “Hadits ini dusta.”
2. Imam az-Zuhri
Abu Dawud, no. 2423 dan al-Hakim (1/436) meriwayatkan melalui jalur Ibnu Wahab bahwa ia berkata, “Aku mendengar al-Laits meriwayatkan dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa jika disebutkan di dekatnya hadits yang melarang berpuasa pada Hari Sabtu, ia (Ibnu Syihab) mengatakan, ‘Ini hadits orang Himsha’.”
Ath-Thahawi berkata, “Az-Zuhri tidak menganggap hadits ini hadits yang bisa diriwayatkan dan dia menilainya hadits lemah.”
3. Imam al-Auza’i
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 2424 dan dari jalurnya dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/302-303) melalui jalan al-Walid bin Muslim dari al-Auza’i bahwa ia berkata, “Saya masih melihat haditsnya tertutup debu (belum tersiar) hingga akhirnya saya melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr tentang puasa Hari Sabtu.”
4. Yahya bin Sa’id al-Qahthan
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Mukhtashar as-Sunan (3/298), “Abu Abdillah -Ahmad bin Hanbal- mengatakan, ‘Yahya bin Sa’id menjauhi hadits ini (hadits berpuasa Hari Sabtu) dan ia tidak mau menceritakannya kepadaku. Ia mendengar hadits ini dari Tsaur yang mengatakan, “Saya mendengarnya dari Abi Ashim.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ungkapan seperti ini merupakan penilaian terhadap lemahnya hadits ini.”
5. Imam Ahmad
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (2/574) bahwa al-Atsram mengatakan, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang berpuasa secara khusus pada Hari Sabtu. Lalu ia menjawab, “Adapun mengenai berpuasa secara khusus pada Hari Sabtu terdapat dalam hadits ash-Shamma`, yakni yang diriwayatkan oleh Tsaur bin Zaid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya, ash-Shamma` dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.”
Abu Abdullah mengatakan, “Yahya bin Sa’id menjauhi hadits ini dan ia enggan menceritakannya kepadaku. Ia mendengarnya dari Tsaur yang mengatakan, “Aku mendengarnya dari Ashim.”
Al-Atsram berkata, “Dasar yang dipegang Abu Abdullah dalam membolehkan berpuasa pada hari Sabtu adalah karena hadits-hadits yang ada semuanya berbeda dengan hadits Abdullah bin Busr.” (Beliau menyebutkan hadits tentang berpuasa sepanjang masa, berpuasa pada bulan Sya’ban dan hari Jum’at setelahnya, hadits-hadits tentang mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari bulan Syawwal dan hadits tentang berpuasa pada hari yang putih.”
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan, “Al-Atsram memahami dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu untuk menerima hadits Ibnu Busr dan Ahmad membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu tersebut, di mana ia menyebutkan hadits yang dijadikan dasar untuk memakruhkannya. Kemudian Al-Atsram menuturkan bahwa Imam Ahmad mengatakan dalam ‘Ilal al-Hadits, ‘Yahya bin Sa’id menjauhi hadits ini dan ia enggan menceritakannya kepadaku.’ Ini adalah bentuk penilaian terhadap kelemahan sebuah hadits.”
6. Abu Dawud
Setelah meriwayatkan hadits Ibnu Busr ia mengatakan, “Hadits ini telah dibatalkan hukumnya.” (Selanjutnya ia menyebutkan pendapat para ulama yang menilai hadits ini mengandung ‘illat).
7. An-Nasa`i
Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish (2/216) bahwa an-Nasa`i berkata, “Hadits ini mudhtharib (kacau).”

Komentar saya:
Penilaian bahwa hadits ini mudhtharib tidak dapat diterima, karena jalur-jalur periwayatannya tidak sama dan telah dikemukakan sebelumnya riwayat yang kuat.
8. Al-Atsram
Pendapatnya sebelumnya telah dikemukakan.
9. Ath-Thahawi
Setelah ia menyebutkan hadits-hadits yang berbeda dengan hadits Ibnu Busr ath-Thahawi mengatakan dalam Syahr Ma’ani al-Atsar (2/80), “Riwayat-riwayat ini semuanya menunjukkan dibolehkannya berpuasa sunnah pada Hari Sabtu dan hadits-hadits ini lebih masyhur dan lebih jelas dari hadits ini yang ganjil yang berbeda dengan hadits-hadits di atas.”
10. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Dalam bukunya Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (2/575) Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits ini mungkin ganjil, tidak shahih dan mungkin juga hukumnya telah dibatalkan.”
11. Ibnul Qayyim
Ibnul Qayyim dalam Muhktashar as-Sunan (3/298) mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini tidak shahih serta ganjil.”

Sementara itu sekelompok ulama yang lain menyatakan secara tegas bahwa hadits ini shahih. Mereka antara lain:
Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, an-Nawawi dan Ibnu as-Sakan.
An-Nawawi setelah menyebutkan pendapat Abu Dawud yang mengutip pernyataan Imam Ahmad bahwa hadits ini dusta mengatakan dalam al-Majmu’ (6/439): Pendapat ini tidak dapat diterima karena para ahli hadits telah menilai bahwa hadits ini shahih. Misalnya al-Hakim Abu Abdillah yang mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan al-Bukhari.”

Komentar saya:
Siapa yang memperhatikan apa yang telah dipaparkan sebelumnya dapat melihat bahwa yang menilai hadits ini mengandung ‘illat datang dari para ulama yang menggeluti bidang ini dan para pakar ‘illal hadits, maka pendapat yang layak dipegang adalah pendapat mereka.

Al-Hakim berkata dalam Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits,hal. 112,
“Sebuah hadits dinilai mengandung ‘illat dari beberapa sisi dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah jarh (sifat tidak kredibel seorang perawi yang membuat haditsnya ditolak). Sebab hadits perawi yang tidak kredibel telah dinyatakan gugur (ditolak). Sedangkan ‘illat hadits kebanyakan terjadi pada hadits-hadits perawi yang tsiqah (kredibel) yang meriwayatkan sebuah hadits yang mengandung ‘illat, lalu mereka tidak tahu adanya ‘illat tersebut sehingga haditsnya dikatakan ma’lul (mengandung ‘illat). Namun yang menjadi hujjah bagi kami adalah sifat hifzh (memiliki daya hafalan), pemahaman dan pengetahuan dan bukan yang lainnya. Ulama yang menilai hadits Ibnu Busr ini shahih nampaknya tidak terlepas dari sikap mereka yang longgar dalam menyatakan shahihnya sebuah hadits sebagaimana itu dimiliki oleh sebagian ulama hadits.

[2] Hadits ini lemah dan dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/no. 2776); Ahmad (6/323-324); Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, no. 2167; Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 3616. 3646; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (23/No. 616, 964); al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/436); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/303). Semuanya melalui jalur Ibnul Mubarak dari Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali dari bapaknya dari Kuraib.

Komentar saya:
Sanad hadits ini lemah.
Abdullah bin Muhammad bin Umar tidak dinilai tsiqah oleh ulama yang mu’tabar (penilaian dapat diterima).
Ibnu al-Madini mengatakan, “Dia perawi yang statusnya pertengahan.” Ibnu Hajar dalam at-Taqrib mengatakan, “Dia perawi yang maqbul (bisa diterima haditsnya), yakni jika ada hadits yang mendukungnya, namun jika tidak, dia adalah perawi yang lemah. Bapaknya Muhammad bin Umar hanya dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban saja.

[Sumber: Disarikan dari kitab, Shiyamu ath-Tathauwu`, Syaikh Usamah Abdul Aziz; Edisi Indonesia, Puasa Sunnah, Hukum & Keutamaannya; Pent. Darul Haq Jakarta]