Oleh: Ustadz Agus Hasan Bashari. Lc. MAg.

Pemakalah:

Fatwa Syaikh DR Shalih Al-Fauzan Hafidzahullah

Syaikh DR Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”.

Beliau berkata: “Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka. Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya”

Jawaban:

a. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan sama dengan Syaikh Bin Baz, yaitu mewakili studi lama, mengacu pada taqwim Ummul Qura (s=19 derajat; lama waktu subuh 76 menit).

b. Beliau berhusnuzhan pada pembuat taqwim.

c. Beliau tidak membanggakan shalat subuh langsung setelah adzan taqwim Ummul Qura, akan tetapi bangga dengan mengakhirkan 20-30 menit setelah kalender ummul Qura atau 25-35 menit setelah adzan Kemenag RI. Pilihan beliau ini sesuai dengan kaidah yang beliau sampaikan tentang shalat subuh, yaitu:

وَيُسْتَحَبُّ تَعْجِيْلُهَا إِذَا تَحَقَّقَ طُلُوْعُ الْفَجْرِ

“Dan dianjurkan bersegera melaksanakan shalat subuh jika terbukti telah terbit fajar.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 1/106, Darul Ashimah)

Mengapa beliau tidak menyegerakan setelah adzan? Mengapa beliau justru bangga dan bersyukur dengan mengakhirkan? Jawabannya adalah pada saat adzan menurut taqwim fajar shadiq belum mutahaqqaq (nyata), maka tidak dianjurkan bersegera shalat. Supaya benar-benar yakin melaksanakannya tepat pada waktunya dan supaya pahalanya berlipat ganda, maka beliau bangga jika iqamah diundur. Beliau mengatakan: “Inilah waktu-waktu untuk Shalat lima waktu yang diwajibkan oleh Allah swt di dalamnya. Maka wajib bagimu untuk berpatokan dengannya, yaitu sekiranya engkau tidak shalat sebelum waktunya dan tidak mengakhirkannya dari waktunya.” (ibid, 1/106). “Telah berijma’ kaum muslimin bahwa shalat lima waktu ini memiliki waktu-waktu khusus yang telah ditentukan yang tidak sah shalat sebelumnya.” (ibid, 1/102)

Jadi beliau tidak membanggakan shalat subuh langsung berdasarkan taqwim Ummul Qura yang ada sekarang akan tetapi bangga dengan mengakhirkan. Diantara ucapan beliau dalam masalah ini adalah:

وَنَحْنُ وَالْحَمْدُ للهِ نُصَلِّي بَعْدَ مَا يَمْضِي ثُلُثُ سَاعَةٍ أَوْ نِصْفُ سَاعَةٍ مِنْ تَوْقِيْتِ حِسَابِ أُمِّ الْقُرَى وَإِذَا انْتَهَيْنَا مِنَ الصَّلاَةِ نَجِدُ اْلإِسْفَارَ وَاضِحاً وَمُنْتَشِراً.

“Kita, alhamdulillah melaksanakan shalat subuh setelah berlalu sepertiga jam atau setengah jam dari kalender Ummul Qura. Setelah kita selesai shalat kita dapatkan cahaya terang telah jelas dan menyebar.“[1]

Semoga pemakalah yang sudah menjadikan syaikh Ibn Baz da syaikh Shalih Fauzan sebagai hujjah mau mengikuti sikap beliau berdua yang memundurkan iqamat shalat subuh hingga 30 menit dari jadwal Kemenag yang ada.

Pemakalah:

Tanggapan Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [9], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]

Jawaban:

a. Fatwa Syaikh bin Baz itu lama.

b. Syaikh Utsaimin menulis dalam banyak buku dan berwasiat untuk memundurkan iqamah hingga 25 menit karena jadwal yang salah.

Silakan baca makalah-makalah kami tentang syaikh Utsaimin yang lengkap memuat ucapan-ucapan beliau, bukan hanya mengambil satu ucapan lalu seolah tidak mau tahu dengan yang lainnya bahkan yang menjadi wasiatnya.

Syaikh Ibn Utsaimin telah banyak berbicara dalam masalah serius ini, diantaranya beliau berkata dalam Kitab Syarah Riyadhusshalihin:

“بِالنِّسْبَةِ لِصَلاَةِ اْلفَجْرِ، اَلْمَعْرُوْفُ أَنَّالتَّوْقِيْتَ اَّلذِيْ يَعْرِفُهُ النَّاسٌ لَيْسَ بِصَحِيْحٍ، فَالتَّوْقِيْتُ مُقَدَّمٌ عَلَى اْلوَقْتِ بِخَمْسِ دَقَائِقَ عَلَى أَقَلِّتَقْدِيْرٍ، وَبَعْضُ اْلإِخْوَانِ خَرَجُوْا إِلَى اْلبَرِّ فَوَجَدُوْا أَنَّ اْلفَرْقَ بَيْنَ التَّوْقِيْتِ الَّذِيْ بِأَيْدِي النَّاسِوَبَيْنَ طُلُوْعِ اْلفَجْرِ نَحْوَ ثُلُثِ سَاعَةٍ، فَالْمَسْأَلَةُ خَطِيْرَةٌ جِدًّا، وَلِهَذَا لاَ يَنْبَغِي اْلإِنْسَانُ فِيْ صَلاَةِالْفَجْرِ أَنْ يُبَادِرَ فِي إِقَامَةِ الصَّلاَةِ، وَلِيَتَأَخَّرَ نَحْوَ ثُلُثِ سَاعَةٍ أَوْ (25) دَقِيْقَةً حَتَّى يَتَيَقَّنَ أَنَّاْلفَجْرَ قَدْ حَضَرَ وَقْتُهُ”

“Sehubungan dengan shalat Fajar, yang sudah dimaklumi adalah bahwa jadwal yang dikenal manusia ini tidaklah benar, sebab jadwal tersebut mendahului waktu yang sebenarnya minimal 5 menit. Sebagian saudara kaum muslimin keluar (mengadakan penelitian) ke daratan, mereka mendapatkan bahwa perbedaan antara jadwal yang dipakai oleh manusia dengan munculnya fajar sekitar 1/3 jam (20 menit). Masalah ini sangat krusial, karena itulah, tidak seharusnya seseorang dalam melaksanakan shalat Fajar untuk segera iqamah, hendaknya menunda 20 atau 25 menit, hingga benar-benar yakin bahwa fajar telah muncul.[2]

Andai saja pemakalah mau menulis secara utuh, tidak sepotong-potong tentu akan faham masalah dan bisa memahamkkan orang lain dengan benar.

c. Kenyataan UQ kini telah berubah, sebagai pengakuan kalau selama ini salah.

Pemakalah:

Agama Ini Adalah Nasihat, Tetapi Untuk Siapa?

Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الد ين النصيحة قلنا لمن؟ قا ل للة ولكتا بة ولرسولة ولأئمة المسلمين وعا متهم

“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab : Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]

Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.

Jawaban:

Bagaimana dengan nasehat pada umat? Membiarkan kesalahan di depan mata sementara kita mampu mengingkarinya adalah tercela dan bukan sifat ahlussunnah.

Alhamdulill Qiblati telah (dan terus) memberikan nasehat kepada pemerintah dan umat sekaligus.

Alhamdulillah pemerintah memberikan apresiasi terhadap upaya Qiblati, dan masyarakat pun demikian. Ini semua adalah karunia Alah Subhanaahu wa Ta`ala .

Pemakalah:

Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [10]

Jawaban:

1. menyamakan shalat fardhu dan Hari raya adalah salah, bertentangan dengan fatwa dan wasiat Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam , yang menyuruh kita agar shalat fardhu sendiri-sendiri tepat waktu pada saat jadwal shalat pemerintah tidak tepat waktu.

2. seandainya pemakalah sudah melihat fajar shadiq sebagaimana kami, niscaya akan berkata lain.

3. ini adalah salah persepsi, bukan beberkan salahnya pemerintah, tetapi menjelaskan shalat kita yang menyalahi sunnah nabi, dan meluruskan kesalahan yang ada pada diri kita dan mereka. Juga menjelaskan wasiat Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam untuk umatnya dalam menghadapi jadwal pemerintah yang salah. Baca-hadits-haditsnya di 2 buku kami; Koreksi awal waktu subuh dan buku Tanggapan Lumrah terhadap Makalah siapa yang salah kaprah. Selain itu perlu kiranya kita meneladani salaf shalih dalam inkarul munkar terhadap pemerintah atau yang terkait dengan pemerintah agar tidak terjebak dalam faham murji`ah (yang merestui kesalahan dan membisu) ataupun khawarij (yang ingkar dengan cara memberontak) . Alhamdulillah dalam hal ini Qiblati mengikuti manhaj sahabat Abdullah ibn Mas’ud Rodiallohu `anhu .

4. pasrah begitu saja kepada kesalahan jadwal ulil amri menyalahi wasiat Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam .

5. Pemerintah memberi apresiasi kepada Qiblati, maka seharusnya yang taat ulil amri bersikap seperti ulil amri, bukan malah melancangi.

6. Hingga hari ini tidak ada kekacauan, itu hanya ketakutan.

7. Qiblati mengikuti manhaj sunnah menghindari manhaj Khawarij dan murjiah.

 

Pemakalah:

Kesimpulan
1. Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya fajar.

2. Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang putih yang tipis dan samara.

Jawaban:

Para ulama Ijma’ bahwa criteria fajar shadiq adalah:

Fajar kedua, Tabayyun, yanfajir, yastathir, yantasyir, ya’taridh di ufuk; al-abyadh aw al-ahmar al-mu’taridh. Tidak ada khilaf.

Pemakalah:

3. Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera, biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.

Jawaban:

– Kriteria Salafi (Al-Quran, Sunnah, Ijma’ salaf): terlihat nyata oleh mata, membentang di ufuk.

– Kriteria falaki: fajarnya tidak bisa dilihat!!! Sampai hari, setelah satu tahun setengah penentangan orang yang mengoreksi jadwal tidak mampu mendatangkan foto fajar shadiq al-bayyin, baik yang 20 derajat maupun yang 18 derajat. Sementara kami alhamdulillah tidak henti-hentinya membuktikan foto fajar shadiq 15 derajat. Alhamdulillah alhaqq ablaj wal bathil lajlaj.

Apakah ayat fajar masih relevan di jaman sekarang? Bisakah diamalkan? Kalau menurut konsekuensi kriteria pemakalah ayat ini sudah tidak bisa diamalkan!!!?

Sungguh beda antara orang yang sudah melihat fajar shadiq dan yang tidak melihat, dan beda antara orang yang serius dan setengah-setengah!

Pemakalah:

4. Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
5. Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.

6. Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam

 

Jawaban:

– ucapan pemakalah no. 5 menyalahi para ulama yang meragukan dan yang mengetahui kesalahan jadwal. Mereka menulis makalah, kitab, berbicara dan mempraktikkan shalat subuh pada waktu fajar shadiq, tidak menunggu izin pemerintah. Silakan baca di buku Koreksi awal waktu subuh dan iqomat shalat subuh menurut ulama.

– menyalahi wasiat Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam

– menyalahi sikap para sahabat dan tabi’i. insyaallah akan kita sendirikan dalam satu makalah.

– Kami telah membuktikan kesalahannya sebagaimana para ulama ahlussunnah yang terkemuka.

[Malang, senin 13 Ramadhan 1431/ 23 agustus 2010]

________________________________

[1] (http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=370631)

[2] Syarhu Riyadhus Shalihin, 3/216