Dua manusia berbeda, itulah kondisi riil suami istri, berbeda jenisnya, satu laki-laki dan satu perempuan, perbedaan jenis ini menyeret kepada banyak perbedaan, perbedaan sifat, tabiat, emosi dan lainnya. Perbedaan latar belakang, pendidikan, status sosial, ekonomi dan perbedaan-perbedaan yang lain. Namun hal ini tidak berarti keduanya tak mempunyai kesamaan dan kemiripan, justru inilah yang saya yakin lebih besar, dan karena inilah keduanya menyatukan diri dalam akad pernikahan.

Perbedaan di antara suami istri yang lazim ini terkadang melahirkan konflik dan memicu kesalahpahaman, namanya saja konflik dan kesalahpahaman, ia membuat hidup kurang nyaman, karenanya ia harus diatasi dengan baik, karena bila tidak ia bisa menggelembung dan akhirnya… datang sesuatu yang tak diharapkan.

Shulh atau damai adalah salah satu usaha mujarab dalam mengatasi konflik. Bila perselisihan identik dengan kemarahan dan kemarahan adalah api, air adalah pemadamnya, maka shulh adalah air tersebut. Shulh di samping menghentikan perselisihan, ia juga memulihkan hubungan sehingga ia tetap terjaga dengan baik. Hubungan yang selalu baik inilah yang diharapkan oleh setiap suami istri dan diinginkan oleh agama.

Oleh karena itu memaafkan sangat dianjurkan. Dalam konteks perceraian di mana mahar dibagi setengah-setengah antara suami istri terdapat anjuran berdamai di antara kedua belah pihak dengan dengan membiarkan setengah mahar yang menjadi hak untuk pasangannya.

Bila kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu gauli padahal kamu sudah menetapkan mahar bagi mereka, maka bayarlah setengah dari mahar yang telah kamu tetapkan, kecuali bila mereka memaafkan atau kamu sebagai suami memaafkan, dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa.” Al-Baqarah: 237.

Memaafkan di sini adalah shulh, karena siapa yang memaafkan haknya berarti menggugurkannya dan memberikannya kepada lawannya, berarti dia ingin berdamai walaupun resikonya dia kehilangan hak, dan perbuatan ini lebih dekat kepada takwa karena ia menyudahi masalah yang kalau bukan karena shulh, bisa jadi ia tak kunjung selesai.

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.” An-Nisa`: 128.

Bila ada kekhawatiran dari salah satu pihak, suami atau istri, terhadap pasangannya bahwa dia akan mengacuhkannya atau meninggalkannya, maka shulh bila dilakukan di antara keduanya, seperti apa yang dipahami dari ayat. Demikian juga saat ada sebagian dari hak suami atau istri yang tidak tertunaikan karena satu dan lain hal, lalu keduanya mengadakan shulh, masalahnya tidak keluar dari kedua belah pihak, maka apa yang keduanya sepakati, itulah yang disepakati.

”Shulh itu boleh di antara kaum muslimin kecuali shulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi.

Shulh dengan mengalah demi kelangsungan rumah tangga dicontohkan oleh Ummul mukminin Saudah binti Zam’ah dengan memberikan hak bermalam Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah dengan izin Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, baginya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi bagi seorang wanita di atas posisi sebagai istri seorang Nabi, lebih-lebih Nabi terbaik.

Terkadang perselisihan di antara suami istri terjadi karena perkara-perkara yang jika diteliti maka hasilnya sulit untuk dikatakan suami benar seratus persen atau istri benar seratus persen, ternyata suami dalam batas-batas tertentu juga salah, istri pun juga demikian, biasanya masalah-masalah ini dipicu oleh selera, yang satu suka pedas, yang lain suka manis, yang satu suka tidur dengan lampu padam, yang lain malah tak bisa tidur bila lampu padam dan seterusnya, tak masalah dan tak perlu ribut, karena hanya sebatas selera yang kalau salah satunya dituruti bukan suatu dosa, atau yang lain dituruti juga bukan suatu maksiat, tinggal bagaimana Anda berdua menyelesaikannya. Manusia mempunyai banyak madzhab dalam soal selera, selama selera adalah selera yang halal, lain perkara bila Anda berselera kepada yang haram.

Kalau pihak yang salah harus meminta maaf, maka dalam kasus seperti ini siapa gerangan yang meminta maaf? Tetapi bagaimanapun yang memulai meminta maaf dan mulai mengalah, maka dialah yang lebih baik sebagaimana jika dua muslim bertemu, yang lebih baik adalah yang mendahului mengucapkan salam. Akan tetapi harus diingat, shulh: mengalah dan memaafkan adalah demi kebaikan dan dalam koridor yang dibolehkan oleh syariat. Jika sebaliknya maka tidak perlu, silakan cari jalan yang lain. Wallahu a’lam.