bukhariMungkin sebagian kita bertanya:” Apa syarat al-Bukhari dalam Shahihnya?” Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita baca keterangan dari Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid rahimahullah berikut ini.

Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid rahimahullah berkata:

Sebenarnya imam al-Bukhari rahimahullah tidak menyatakan secara terang (sharih) tentang syarat yang beliau berlakukan di dalam kitabnya (al-Jami’u ash Shahih/Shahih al-Bukhari), namun secara umum syarat yang beliau berlakukan adalah shahihnya hadits tersebut. Akan tetapi apa itu syarat al-Bukhari? Ini adalah tema yang diperbincangkan oleh para Ulama, dan mereka mengambilnya (syarat tersebut) dari apa yang mereka pahami (pengetahuan) dari perbuatan al-Bukhari rahimahullah di dalam Shahihnya dan dari apa yang beliau jelaskan secara terang/tegas dalam kitabnya at-Tarikh al-Kabir. Maka mereka mengatakan:” Sesungguhnya syarat beliau rahimahullah terbatas (tidak keluar) dari dua hal:

Pertama, dalam jenis/tipe para rijal hadits (para perawinya), maka beliau rahimahullah memilih di antara rijal (para perawi) orang-orang pilihan yang memiliki sifat-sifat tertentu.

Kedua, syarat beliau dalam masalah ittishal (bersambungnya sanad)

Adapun syarat beliau rahimahullah yang berkaitan dengan rijal, maka hal itu adalah suatu hal yang sudah nampak jelas, yaitu bahwasanya beliau rahimahullah memfokuskan diri pada perawi-perawi yang tidak dikomentari/dikritik oleh para Ulama. Dan sekalipun pada sebagian mereka ada yang dikomentari/dikritik, hanya saja kritikan tersebut tidak berpengaruh menurut pandangan al-Bukhari. Dan beliau rahimahullah tidak membawakan (hadits) dalam masalah ushul (pokok) dari para perawi yang dibicarakan (dikomentari buruk), kecuali sangat sedikit dan itupun dalam ruang lingkup yang terbatas.

Oleh sebab itu kalau kita melihat perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam membela para perawi yang dikritik tersebut di antara perawi-perawi yang haditsnya dibawakan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, niscaya kita dapatkan bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata di banyak kesempatan/tempat:” Imam al-Bukhari membawakan haditsnya di tempat (pembahasan) anu, dengan mutaba’ah (didukung) si Fulan.” Jadi maknanya adalah bahwa Imam al-Bukhari rahimahullah tidak membawakan orang tersebut di riwayat untuk berhujjah dengannya, namun hanya untuk penguat/pendukung.

Dan terkadang –sekalipun beliau (al-Bukhari) berhujjah dengannya- beliau (Ibnu Hajar) berkata: ” Dia tidak memiliki riwayat dalam Shahih al-Bukhari kecuali hadits anu di tempat/pembahasan anu.” Maksudnya, bahwa al-Bukhari tidak mengambil banyak dari hadits-hadits mereka (para perawi yang dikritik), akan tetapi beliau hanya memilih apa yang kuat menurut beliau dan terbukti keshahihannya.”

Dan dalam banyak kesempatan, kita dapati bahwa mereka (para perawi yang dikritisi), jika dijadikan hujjah dalam hadits yang jumlahnya sedikit tadi, seperti satu hadits misalnya, niscaya kita dapati bahwa hadits tersebut dijadikan (dimasukkan) oleh al-Bukhari dalam kategori kitab ar-Raqa’iq wal Mawa’izh (kitab tentang sesuatu yang melembutkan hati dan tentang nasehat), dan dalam kitab-kitab yang tidak dibangun di atasnya hukum-hukum maupun akidah. Dan kaidah para Ulama (dalam masalah ini) telah diketahui di zaman itu, yaitu mereka bersikap longgar (tidak ketat) dalam hadits-hadits al-Mawa’izh.

Maka hendaknya kita cermati bahwa kelonggaran al-Bukhari rahimahullah dalam batasan yang sangat sempit sekali, yaitu beliau rahimahullah membawakan perawi yang bisa jadi menurut dugaan kuat beliau kritikan para ulama terhadapnya (perawi tersebut) tidak berpengaruh, kemudian beliau pun hanya memilih dari hadits-hadits perawi tersebut, dan tidak banyak membawakan hadits perawi tersebut, dan jika beliau membawakan riwayatnya, beliaupun mencatumkannya hanya pada kitab-kitab seperti kitab az-Zuhd, ar-Raqa’id dan yang semisalnya.

Adapun banyak membawakan riwayat dari para perawi yang dikritisi (diperselisihkan tentang status mereka), maka beliau rahimahullah tidak melakukan hal itu, akan tetapi yang melakukan hal itu adalah Imam Muslim rahimahullah. Oleh sebab itu mereka (para Ulama) berkata:” Sesungguhnya syarat Imam al-Bukhari dalam masalah rijal lebih baik (afdhol) daripada syarat Imam Muslim.” Sebagaimana juga syarat beliau (al-Bukhari) lebih kuat dibandingkan syarat Imam Muslim dalam masalah ittishal (ketersambungan sanad). Karena beliau rahimahullah tidak meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang mu’an’an (mu’an’an yaitu sanad yang di dalamnya terdapat ‘an fulan, ‘an fulan? dari fulan, dari fulan), kecuali jika hal itu muncul/berasal dari seorang perawi yang terbukti secara kuat menurut beliau bahwa dia (perawi mu’an’an) telah mendengar (hadits tersebut) dari syaikhnya (gurunya), atau ungkapan yang lebih tepatnya adalah dia (perawi mu’an’an) bertemu dengan syaikhnya walaupun sekali.

Maka jika tidak terbukti secara kuat (bahwa perawi dan gurunya bertemu atau mendengar langsung), maka beliau rahimahullah tidak menerima sanad yang bentuknya seperti ini, dan beliau melihat bahwa sanad tersebut tidak terpenuhi syarat ittishal.

Beliau rahimahullah tidak secara terang (gamblang) menyebutkan syarat ini dalam kitab Shahih beliau (shahih al-Bukhari), akan tetapi hal itu dipahami dari perbuatan beliau dalam at-Tarikh al-Kabir. Karena beliau rahimahullah memfokuskan pada sisi ini. Dan dengan penggabungan ucapan yang ada dalam at-Tarikh al-Kabir menunjukkan bahwa ini adalah madzhab beliau rahimahullah, dan secara spesifiknya dalam kitab al-Jami’ ash-Shahih (Shahih al-Bukhari)

Dalam beberapa kesempatan kita dapati bahwasanya dalam beberapa bab beliau rahimahullah membawakan hadits yang tidak ada kaitannya dengan bab tersebut secara mutlak, baik kaitan dari dekat maupun dari jauh, sampai-sampai orang (ulama) yang berbicara dalam masalah ta’wil (syarh/penjelasan hadits) tidak mampu mengatakan:” Sesungguhnya kaitan hadits ini dengan bab ini adalah seperti ini dan seperti ini.”. Akan tetapi yang mendorong beliau rahimahullah dalam membawakan hadits tersebut pada bab itu adalah bahwasanya beliau membawakan sebuah hadits dalam bab tersebut dari jalur seorang perawi dari syaikhnya dengan cara ‘an’anah, maksudnya dengan mengatakan:”‘an Fulan (dari Fulan).” Maka untuk menjelaskan bahwa perawi tersebut telah bertemu dengan syaikhnya, maka beliau rahimahullah mencari/meneliti hadits-hadits perawi tersebut, lalu beliau rahimahullah mendapatkan sebagian hadits di mana perawi tersebut menyebutkan secara jelas/gamblang bahwa dia mengambil dari syaikh tersebut beberapa hadits. Maknanya bahwa dia telah mendengar darinya.

Maka untuk menunjukkan bahwa beliau rahimahullah tidak menyelisihi syaratnya sendiri di tempat (bab/permasalahan) ini, beliau membawakan hadits yaitu yang tidak ada kaitannya dengan bab itu, hanya untuk tujuan sanad saja, untuk membuktikan bahwa murid ini (perawi) telah mendengar dari syaikh (guru) tersebut. Maka secara ringkas inilah syarat al-Bukhari rahimahullah di dalam Shahihnya.

(Sumber:فتاوى حديثية karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid, cet. Dar ‘Ulumis Sunnah 1/78-80. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)