20. Agar do`a tersebut di-i’rab (tepat tatabahasanya) tidak dikacaukan. Karena, i’rab merupakan sandaran perkataan (kalimat), yang dengannya makna menjadi benar, dan tanpanya makna menjadi salah. Dan bisa jadi makna terbalik menjadi salah hingga berubah menjadi berma`na kufur. Oleh karena itu, Abu Utsman al-Mazini rahimahullah pernah berkata kepada seorang muridnya: “Wajib bagimu mempelajari nahwu (tata bahasa), karena Bani Israel menjadi kafir hanya karena satu huruf berat yang mereka jadikan ringan. Allah Ta’ala telah berfirman kepada Nabi Isa ‘Alaihi sallam : ‘Sesungguhnya Aku telah menjadikanmu terlahir’, lalu mereka (membunyikannya dengan) berkata, “Sesungguhnya Aku telah melahirkanmu”, maka mereka pun menjadi kafir.”

Diriwayatkan dari ar-Rayasyi, ia berkata, “Imam Asma’i pernah menjumpai seorang pemuda yang mengatakan di dalam do`anya: ‘Yâ Dzul Jalâli wal ikrâm,’ [seharusnya: Yâ Dzal jalâli] lalu beliau bertanya: ‘Siapa namamu?’ Pemuda tersebut menjawab: ‘Laits.’ Maka, beliau pun melantunkan bait syair: “Laits memanggil Tuhannya dengan ucapan yang salah. Karenanya, jika dia berdo`a kepada-Nya, Dia tidak mengabulkannya. Sya’n ad-Du’a karya al-Khithabi, hal. 19-20; dan Mu’jam al-Udaba karya Yaqut, (1/54).

Dan yang demikian ini dalam i’râb yang tidak dipaksa-paksakan (takalluf). Karena, sikap takalluf padanya, juga pada pengaturan lidah dan makhraj (tempat keluarnya) huruf dan bentuk takalluf dan berfasih-fasih lainnya, itu justeru bisa melemahkan konsentrasi hati pemohon (orang yang berdo`a) dalam menghadap kepada Tuhannya.

Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah punya jawaban lengkap atas suatu pertanyaan. Redaksinya Al-Fatâwâ,(22/488-489).: “Beliau pernah ditanyakan tentang seseorang yang berdo`a dengan bacaan yang salah, lalu orang tersebut bertanya kepada beliau: ‘Apakah Allah Ta’ala tidak mengabulkan do`a yang tatabahasanya salah?’ Beliau menjawab: “Siapa saja yang mengatakan perkataan semacam ini, maka dia berdosa dan menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, serta menyelisihi apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf. Adapun orang yang berdo`a kepada Allah Ta’ala, tulus di dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya dengan membaca do`a yang diperbolehkan, maka Allah Ta’ala akan mendengarnya dan mengabulkan do`anya, baik do`a tersebut dengan bahasa yang benar i`rabnya ataupun masih salah. Sedangkan perkataan (penanya) tersebut tidak ada dasarnya, akan tetapi orang yang berdo`a seharusnya tidak memaksakan diri dengan i`rab jika itu memang bukan kebiasaannya. Seorang ulama salaf pernah berkata, “Jika ada i’râb, maka sirnalah kekhusyu’an.” Juga dimakruhkan pula untuk bersajak di dalam berdo`a. Namun, jika ternyata itu terjadi tanpa dibuat-buat, maka hukumnya sah-sah saja. Karena, dasar do`a itu dari hati, sementara lisan hanya sebatas mengikuti hati.”

Barangsiapa yang konsennya dalam berdo`a hanya sebatas memfasihkan bacaan do`a, maka ia telah melemahkan konsentrasi hatinya. Oleh karena itu, seseorang yang dalam kondisi malarat akan berdo`a dengan do`a yang bisa membukakan hatinya (saeakan-akan melihat Allah), tidak pernah ia rasakan sebelum itu. Yang demikian itu bisa ditemukan oleh setiap orang mu’min di dalam hatinya.

Do`a itu boleh dengan bahasa Arab dan bahasa lainnya, karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui maksud yang ingin dicapai oleh si pemohon, sekalipun lisannya tidak fasih, karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui berbagai bunyi suara dengan berbagai bahasa yang berbeda-beda dan berbagai variasi kebutuhan.

21. Hendaknya pemohon mengangkat kedua tangannya mengarah ke mukanya, dengan salah satu tangannya menyatu ke tangan yang lainnya. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika berdo`a, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, dan menjadikan yang tengah-tengahnya menghadap ke mukanya.” (HR. ath-Thabrani di dalam al-Kabir, dengan sanad dhaif (lemah). Lihat Syarh al-Ihya, (5/35).

Karena, mengangkat kedua tangan termasuk di antara sebab-sebab diterimanya do`a. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ رَبَّكَ حَيِيٌّ سَتِـيْرٌ، يَسْتَحْيِيْ مِنْ عَبْدِهِ إِنْ رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا.

“Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Pemalu lagi Maha Tersembunyi (Tertutup), Dia merasa malu dari hamba-Nya -jika hamba tersebut (sewaktu berdo`a) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya- untuk menolak kedua tangan itu dalam keadaan hampa.”

Dan pemohon tidak perlu mengangkat kedua tangannya pada saat melakukan do`a yang terikat oleh keadaan, waktu dan tempat, mengingat tidak ada riwayat yang menyatakan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengangkat kedua tangannya pada saat itu. Seperti halnya do`a di dalam khutbah Jum’at, karena di sini khatib dan jamaah yang hadir dimakruhkan mengangkat kedua tangan mereka, kecuali jika berdo`a memohon turunnya hujan (istisqa).

Dalam hal mengangkat kedua tangan pada waktu do`a ini, telah diriwayatkan secara mutawatir (maknawi) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam banyak hadîts. Dan mengangkat kedua tangan serta menengadahkannya kepada Allah Ta’ala merupakan bentuk ketundukan, penyembahan dan permohonan rizki. Allah Ta’ala telah mencela orang-orang munafik dikarenakan mereka selalu menggenggam tangan mereka. Maksudnya adalah mereka sangat bakhil untuk mengeluarkan harta dan berjihad. Salah seorang ahli tafsir berkata, “Allah Ta’ala mencela para kaum yang tidak mau menengadahkan tangan-tangan mereka (berdo`a) kepada Allah.” Selanjutnya dia menafsirkan ayat:

وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ

“Dan mereka mengenggam tangan mereka…” (at-Taubah: 67)
dengan mengatakan, “Maksudnya, mereka tidak mau mengangkat tangan mereka kepada Kami ketika berdo`a.”

Boleh bagi orang yang berdo`a mengusap mukanya dengan kedua tangannya tersebut sehabis berdo`a pada waktu di luar shalat, bukan di dalamnya, mengingat tidak adanya dalil shahih -bahkan dha’if sekalipun- yang mengajarkan untuk mengusap muka setelah mengangkat kedua tangan pada qunut di dalam shalat. Lihat al-Fatâwâ, (22/519).

Dalam hal mengangkat kedua tangan dan menghadap ke arah kiblat ini sudah pernah dikerjakan dan diabaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Dan sungguh Allah Ta’ala telah berfirman,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk….” (Ali ‘Imran: 191). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdo`a pada hari Jum’at di dalam khutbahnya, beliau memohon turun hujan sementara beliau berada di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya, dan beliau tidak menghadap ke arah kiblat.

Do`a disyariatkan dalam keadaan bersuci, dan ini merupakan sifat kesempurnaan do`a, dan juga dalam keadaan tidak bersuci. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan keduanya. Dari ‘Aisyah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan, dia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ فِيْ جَمِيْعِ أَحْيَانِهِ.

“Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdzikir kepada Allah Ta’ala dalam seluruh waktunya.” (HR. Muslim).

22. Agar pemohon menampakkan kefakiran dan kemiskinannya di hadapan Tuhannya, dalam suasana yang sangat mulia, yaitu berupa kehadiran hati, penuh harapan, menghadap kepada-Nya dengan sepenuh hati, tunduk, pasrah, khusyu’, harap dan cemas, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, sukar dan mudah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala ketika menggambarkan keadaan para nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَباًوَكَانُوا لَنَاخَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (al-Anbiya: 90). Kata ‘yad’uunana’ (berdo`a kepada Kami) di dalam ayat ini, berarti: mereka menyembah Kami.

Di dalam sebuah hadîts disebutkan:

اْلقُلُوْبُ أَوْعِيَةٌ وَبَعْضُهَا أَوْعَى مِنْ بَعْضٍ.

“Hati itu ibarat wadah, dan sebagian wadah tersebut lebih luas daripada sebagian wadah yang lain.” (HR. Ahmad)

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]