Macam-macam Syirik Besar

Kedua: Syirik Dalam Cinta

Kami telah berkata bahwa rasa takut kepada Allah harus disertai rasa cinta kepadaNya, karena beribadah kepada Allah dengan asas rasa takut saja adalah agama sekte Khawarij.

Baca pula: Syirik Dalam Takut

Cinta merupakan dasar agama Islam yang porosnya berputar padanya. Dengan cinta kepada Allah yang sempurna, agama manusia sempurna, dan (sebaliknya) dengan berkurangnya cinta, berkurang pula tauhid manusia.

Yang dimaksud dengan cinta di sini adalah cinta ibadah yang mengandung ketundukan, kepasrahan, ketaatan sempurna dan mendahulukan siapa yang dicintai atas selainnya. Cinta ini hanya murni kepada Allah Ta’ala, tidak boleh dibagi dengan selainNya. Hal itu, karena cinta ada dua:

Pertama, cinta khusus, yaitu cinta ibadah yang mengandung ketundukan, kepasrahan, ketaatan sempurna dan mendahulukan siapa yang dicintai atas selainnya. Ini khusus hanya bagi Allah.

Kedua, cinta bersama, ini terbagi menjadi tiga:

(1) Cinta alamiah, seperti orang yang lapar cinta makanan.

(2) Cinta kasih sayang, seperti cinta seorang ayah kepada anak.

(3) Cinta ketenangan dan ketenteraman, seperti cinta seseorang kepada pasangannya, dan cinta seseorang kepada rekannya.

Ketiga bentuk cinta di atas tidak mengandung pengagungan dan kerendahan, tidak masalah bagi siapa pun, tidak menyaingi cinta khusus, keberadaannya bukan merupakan syirik, akan tetapi cinta khusus harus didahulukan atasnya.

Cinta khusus, yaitu cinta ibadah, tersebut dalam Firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبّاً لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada (sekelompok) orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah (sebagai sesembahan mereka), yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengabarkan bahwa barangsiapa mencintai sesuatu selain Allah sebagaimana dia mencintai Allah, maka dia telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah dalam cinta dan pengagungan.” (Madarij as-Salikin, 3/20).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang menyekutukanNya di dunia dan apa yang mereka dapatkan di akhirat, berupa azab dan siksa, di mana mereka mengangkat sekutu-sekutu dan tandingan-tandingan bagiNya, yang mana mereka mencintai sekutu-sekutu tersebut seperti cinta kepada Allah, yakni mereka menyamakan sekutu-sekutu tersebut dengan Allah dalam cinta dan pengagungan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/203).

Apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Majmu’ al-Fatawa, 8/357 dan al-Istiqamah, 1/261), sebagaimana Allah menyebutkan penyamaan mereka dalam Firman Allah Ta’ala,

تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Demi Allah, sesungguhnya kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kalian (berhala-berhala) dengan Tuhan seluruh alam.” (Asy-Syu’ara’: 97-98).

Juga Firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

Namun demikian, orang-orang kafir masih menyamakan Tuhan mereka dengan sesuatu.” (Al-An’am: 1).

Dan juga Firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبّاً لِلَّهِ

Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165.)

Yakni, cinta orang-orang beriman kepada Allah lebih besar daripada cinta para pemuja sekutu kepadaNya. Ada juga ulama yang berkata, yakni, cinta orang-orang yang beriman kepada Allah lebih besar daripada cinta para pemuja sekutu-sekutu kepada sekutu mereka.

Ayat ini menunjukkan, bahwa barangsiapa mencintai sesuatu seperti dia mencintai Allah, maka dia telah menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata, “Ini mengandung petunjuk bahwa barangsiapa mengangkat sekutu (bagi Allah), yang dia mencintainya sama dengan mencintai Allah, maka perbuatannya adalah syirik besar.” (Kitab at-Tauhid, hal. 148).

Belum jauh kami telah berkata bahwa cinta kepada Allah yang merupakan cinta ibadah harus didahulukan atas cinta yang bukan cinta ibadah, yaitu cinta bersama, seperti cinta kepada orangtua, anak-anak, suami atau istri, dan harta, karena Allah Ta’ala mengancam siapa yang mendahulukan cinta ini di atas cinta kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah, Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perdagangan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At-Taubah: 24).

Allah Ta’ala mengancam siapa saja yang mendahulukan cinta kepada hal-hal yang delapan ini atas cinta kepada Allah dan RasulNya serta amal-amal yang Allah cintai. Allah tidak mengancam atas kecintaan semata kepada hal-hal tersebut, karena hal ini adalah sesuatu yang manusia ditabiatkan di atasnya, bukan sesuatu yang diusahakan oleh manusia, sebaliknya Allah hanya mengancam siapa yang mendahulukannya atas cinta kepada Allah dan RasulNya, atas apa yang dicintai Allah dan RasulNya. Karena itu, harus mendahulukan apa yang Allah dan RasulNya cintai dan inginkan atas apa yang hamba cintai dan inginkan.

Cinta kepada Allah memiliki tanda-tanda:

  • Di antaranya: Barangsiapa mencintai Allah, maka dia mendahulukan amal-amal yang Allah cintai di atas apa yang dicintainya, berupa kesenangan hidup, seperti harta, anak-anak, dan negeri tempat tinggal.
  • Di antaranya: Barangsiapa mencintai Allah, maka dia mengikuti RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam apa yang beliau bawa, melakukan apa yang beliau perintahkan dan meninggalkan apa yang beliau larang. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ. قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah (wahai Muhammad), Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah (wahai Muhammad), Taatilah Allah dan Rasul. Jika kalian berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir‘.” (Ali Imran: 31-32).

Sebagian as-Salaf berkata, “Suatu kaum mengaku mencintai Allah, maka Allah menurunkan ayat ujian cinta ini,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Katakanlah (wahai Muhammad), Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’.’ (Ali Imran: 31).

Ayat ini menetapkan dalil cinta kepada Allah Ta’ala beserta buah dan faidahnya. Dalil dan tandanya adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan faidah dan buahnya adalah mendapatkan cinta dari Allah Ta’ala dan ampunan bagi dosa-dosa.”

  • Di antara bukti jujurnya cinta hamba kepada Allah adalah apa yang Allah Ta’ala sebutkan dalam FirmanNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kalian yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (Al-Ma’idah: 54).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan empat tanda cinta kepada Allah, yaitu:

Tanda Pertama, orang-orang yang mencintai Allah bersikap lemah lembut kepada orang-orang beriman. Artinya, mereka mengasihi, menyayangi, dan melindungi orang-orang beriman. Atha’ rahimahullah berkata, “Mereka bersikap kepada orang-orang Mukmin seperti sikap ayah kepada anaknya.”

Tanda Kedua, mereka bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Yakni, memperlihatkan sikap keras, tegas dan kemuliaan diri di depan mereka, tidak menunjukkan kelemahan dan ketundukan.

Tanda Ketiga, mereka berjihad di jalan Allah dengan jiwa, tangan, harta dan lisan dalam rangka memuliakan Agama dan menundukkan musuh-musuhNya dengan segala sarana yang ada.

Tanda Keempat, mereka tidak tergoyahkan dalam agama Allah oleh celaan orang yang mencela. Mereka tidak terpengaruh oleh cibiran manusia dan celaan mereka atas pengorbanan harta dan jiwa mereka demi menolong agama Allah, karena mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar, iman dan keyakinan mereka kokoh. Setiap pecinta yang menjadi lemah (tidak bersemangat) oleh celaan orang, lalu dia mundur membiarkan orang yang dicintainya, maka dia bukan pecinta sejati.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 10 sebab yang bisa mendatangkan cinta kepada Allah Ta’ala:

(1) Membaca al-Qur’an dengan tadabur dan pemahaman terhadap makna-makna dan maksudnya.

(2) Mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala melalui amal-amal sunnah sesudah fardhu.

(3) Senantiasa berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah dengan hati, lisan, dan amal perbuatan.

(4) Mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang hamba cintai saat keduanya berbenturan.

(5) Merenungkan Asma’ul Husna dan Sifat-sifat Allah yang tinggi, kesempurnaan dan keagungan yang dikandung; dan dampak-dampak baik yang diakibatkannya.

(6) Memperhatikan nikmat-nikmat Allah, lahir dan batin; menyaksikan kebaikan Allah, kemurahanNya dan karuniaNya kepada hamba-hambaNya.

(7) Merendahkan hati di depan Allah dan menunjukkan kebutuhan kepadaNya.

(8) Bermunajat kepada Allah saat Allah turun di sepertiga malam akhir, membaca al-Qur’an di waktu tersebut dan menutupnya dengan taubat dan istighfar.

(9) Bergaul dengan orang-orang shalih dan mulia yang mencintai Allah dan mengambil ilmu dari mereka.

(10) Menjauhi sebab-sebab yang menghalangi hati dari Allah. (Madarij as-Salikin, 3/17).

Di antara tuntutan dan konsekuensi cinta kepada Allah Ta’ala adalah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ، وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan seluruh manusia.” (Al-Bukhari, no. 15 dan Muslim, no. 44/70).

Maksudnya, tidak beriman dengan sempurna, kecuali orang yang lebih mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada dirinya sendiri dan manusia seluruhnya.

Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan bagian dari cinta kepada Allah, dan merupakan tuntutannya. Dan barangsiapa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia pasti mengikuti beliau. Barangsiapa mengaku mencintai Rasulullah, tetapi dia menyelisihi beliau dalam apa yang beliau sampaikan, menaati selain beliau yaitu orang-orang yang menyimpang, ahli bid’ah dan orang-orang rusak, menghidupkan bid’ah dan mematikan sunnah, maka dia dusta dalam klaim cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena orang yang mencintai mengikuti orang yang dia cintai.

Orang-orang yang merekayasa bid’ah yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menghidupkan acara maulid Nabi dan bid’ah lainnya atau melakukan apa yang lebih berat darinya berupa sikap ghuluw kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berdoa kepada beliau dengan meninggalkan Allah Ta’ala, memohon pertolongan dan beristighatsah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sekalipun demikian mereka mengaku mencintai Rasulullah, maka pengakuan mereka adalah dusta besar, mereka sama dengan orang-orang yang Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,

وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ

Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (keduanya). Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman.” (An-Nur: 47).

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal-hal tersebut, lalu mereka menentang larangan Rasulullah, mendurhakai beliau, dan mereka mengaku mencintai beliau; mereka dusta. Semoga Allah memberikan keselamatan.

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.