Syubhat-syubhat Kaum Musyrikin Yang Mereka Pegang dalam Membolehkan Syirik Mereka dalam Tauhid Uluhiyah

Syubhat-syubhat (pemahaman dan pemikiran yang menyimpang) dan hikayat-hikayat yang telah menyesatkan kebanyakan orang dan mereka memandangnya sebagai dalil yang bisa dipijak untuk membolehkan syirik dan kesesatan mereka, mereka merasa nyaman dengan apa yang mereka lakukan, dari sini maka harus membongkar kepalsuan dan kebatilan syubhat-syubhat tersebut,

لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ

Agar orang yang binasa itu binasa dengan bukti yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidup dengan bukti yang nyata.” (Al-Anfal: 42).

Di antara syubhat ini ada yang klasik yang pernah dilontarkan kaum musyrikin dari umat-umat terdahulu, ada juga yang dilontarkan oleh kaum musyrikin dari umat ini.

Pertama: Syubhat yang sama di kalangan kaum musyrikin dari berbagai umat, yaitu beralasan dengan apa yang ditinggalkan oleh nenek moyang dan leluhur, dan bahwasanya mereka mewarisi akidah ini dari pendahulu mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

Dan demikianlah bahwa tidaklah Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, kecuali orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar para pengikut jejak-jejak mereka‘.” (Az-Zukhruf: 23).

Syubhat ini adalah hujjah yang disodorkan oleh orang-orang yang tidak mampu menegakkan dalil atas klaimnya, dan ini adalah hujjah yang tidak berharga, tidak punya nilai apa pun dalam diskusi, karena nenek moyang yang mereka bertaklid kepadanya tidak di atas hidayah, karena itu tidak boleh meniru mereka. Allah Ta’ala berfirman menyanggah mereka,

قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ

(Rasul itu) berkata, Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?'” (Az-Zukhruf: 24).

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Al-Ma’idah: 104).

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 170).

Meniru leluhur menjadi suatu yang terpuji, bila mereka di atas kebenaran, sebagaimana yang diucapkan Nabi Yusuf ‘alaihissallam,

وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ

Dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishaq dan Yaqub. Tidak pantas bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah.” (Yusuf: 38).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ

Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga).” (Ath-Thur: 21).

Syubhat berhujjah dengan peninggalan nenek moyang yang sesat ini bergelora di dalam jiwa kaum musyrikin, dan dengannya mereka menentang dakwah para Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kaum Nabi Nuh ’alaihissalam berkata kepada beliau,

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ . فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

Wahai kaumku! Sembahlah Allah, (karena) tidak ada tuhan yang berhak disembah bagi kalian kecuali Dia. Maka mengapa kalian tidak bertakwa (kepadaNya)? Maka berkatalah para pemuka orang kafir dari kaumnya, Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang ingin menjadi orang yang lebih mulia daripada kalian. Dan seandainya Allah menghendaki, tentu Dia mengutus malaikat. Kami belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada (masa) nenek moyang kami dahulu.” (Al-Mu’minun: 23-24).

Mereka beralasan dengan apa yang mereka dapati dari leluhur mereka, mereka menentang dengannya apa yang dibawa oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam, nabi mereka.

Kaum Nabi Shaleh  ‘alaihissalam berkata kepada beliau,

أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا

Mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami?” (Hud: 62).

Kaum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga berkata kepada beliau,

بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ

Tidak, tetapi kami mendapati nenek moyang kami berbuat begitu.” (Asy-Syu’ara’: 74).

Begitu pula Fir’aun berkata kepada Nabi Musa ‘alaihissalam,

فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

Maka bagaimana keadaan umat-umat yang dahulu?” (Thaha: 51).

Begitu juga orang-orang musyrik Arab yang berkata kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat beliau berkata kepada mereka, “Ucapkanlah la ilaha illallah.” Maka mereka menjawab,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (Shad: 7).[1]

Kedua: Syubhat lain yang disodorkan oleh para penyembah kuburan di zaman ini adalah anggapan mereka bahwa sekedar mengucapkan “la ilaha illallah” sudah cukup mengantarkan masuk surga, sekalipun sesudahnya seseorang melakukan apa saja yang dia lakukan, dia tidak kafir karena telah mengucapkan “la ilaha illallah”. Mereka berpegang kepada zhahir hadits-hadits yang menyatakan bahwa barangsiapa mengucapkan “la ilaha illallah”, maka dia diharamkan atas neraka.

Jawaban atas syubhat ini: Hadits-hadits ini tidak berlaku mutlak, sebaliknya ia terikat dengan hadits-hadits lain yang mengharuskan siapa yang mengucapkan “la ilaha illallah” (dengan syarat-syarat) meyakini maknanya dengan hatinya, mengamalkan tuntutannya, dan kafir kepada apa yang disembah selain Allah, sebagaimana dalam hadits Itban radhiyallahu ‘anhu,

فَإِنَّ اللّٰهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ، يَبْتَغِي بِذٰلِكَ وَجْهَ اللّٰهِ

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka siapa yang mengucapkan, ‘La ilaha illallah’ dalam rangka mengharapkan Wajah Allah.”[2]

Bila tidak demikian, maka orang-orang munafik pun mengucapkan “la ilaha illallah” dengan lisan mereka, tetapi mereka tetap berada di kerak api neraka paling bawah, ucapan “la ilaha illallah” tidak berguna bagi mereka, karena mereka tidak meyakini makna yang dikandungnya dengan hati mereka. Dalam Shahih Muslim,

مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ، وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ، حَرُمَ مَالُهُ، وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللّٰهِ

Barangsiapa mengucapkan, ‘La ilaha illallah’ dan kafir kepada apa yang disembah kecuali Allah, niscaya harta dan darahnya haram dan hisab (amal perbuatan)nya terserah kepada Allah.[3]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantungkan keterjagaan harta dan darah kepada dua perkara. Pertama: Mengucapkan “La ilaha illallah. Kedua: Kufur kepada apa yang disembah selain Allah. Hadits tidak memandang cukup dengan yang pertama saja. Ini menunjukkan bahwa siapa yang mengucapkan “La ilaha illallah, tetapi tidak meninggalkan ibadah kepada orang-orang mati dan kuburan, maka darah dan hartanya tidak terjaga.

Ketiga: Syubhat yang mereka sodorkan adalah anggapan bahwa syirik tidak terjadi pada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka mengucapkan dua kalimat syahadat. Apa yang mereka lakukan di atas kuburan dan terhadap orang-orang mati, berdoa kepada mereka dengan meninggalkan Allah bukan syirik, menurut mereka.

Jawaban terhadap syubhat ini: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa di kalangan umat beliau ada orang-orang yang meniru orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam perbuatan mereka.[4]

Di antaranya adalah pengangkatan mereka terhadap ahli ilmu dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa Hari Kiamat tidak tiba sebelum sebagian umat beliau memihak (ikut-ikutan) orang-orang musyrik, dan sekelompok umat beliau menyembah berhala.[5] Faktanya, syirik, pemikiran-pemikiran sesat dan aliran-aliran menyimpang telah muncul di tubuh umat ini, yang membuat banyak kaum Muslimin keluar dari Islam sekalipun mereka mengucapkan “la ilaha illalah Muhammad Rasulullah.

Keempat: Di antara syubhat mereka adalah masalah syafa’at. Mereka berkata, “Kami tidak menginginkan para wali dan orang-orang shalih yang sudah mati menunaikan hajat-hajat kami selain Allah, akan tetapi kami berharap mereka memberi kami syafa’at di sisi Allah, karena mereka adalah orang-orang shalih yang punya kedudukan di sisi Allah, kami ingin Allah memenuhi hajat kami melalui kedudukan dan syafa’at mereka.”

Jawaban terhadap syubhat ini: Ucapan ini persis dengan yang diucapkan oleh orang-orang musyrik sebelum ini, dan Allah mengkafirkan mereka serta menyebut mereka kaum musyrikin, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah’.” (Yunus: 18).

Syafa’at itu benar adanya, tetapi ia adalah milik Allah Semata, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan,

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا

Katakanlah, Syafa’at itu hanya milik Allah semuanya’.” (Az-Zumar: 44).

Syafa’at diminta dari Allah Ta’ala, bukan dari orang-orang yang mati; karena Allah tidak memberi izin kepada manusia untuk meminta syafa’at kepada para malaikat, para nabi dan lainnya, karena syafa’at itu hanya milikNya, maka ia diminta dariNya, lalu Allah memberi izin pemberi syafa’at untuk memberi syafa’at. Urusan syafa’at ini bukan seperti syafa’at di antara manusia, seseorang bisa memberi syafa’at di depan orang lain bagi seseorang tanpa izinnya, lalu dia mengabulkannya karena dia juga memerlukannya, sekalipun terkadang mereka tidak rela terhadap penerima syafa’atnya, karena manusia memerlukan pembantu dan penolong. Sedangkan Allah Ta’ala, tidak seorang pun memberi syafa’at di sisiNya kecuali sesudah izinNya dan ridhaNya kepada penerima. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhai.” (An-Najm: 26).

Kelima: Di antara syubhat mereka, mereka berkata, “Para wali dan orang-orang shalih mempunyai kedudukan di sisi Allah, kami memohon kepada Allah Ta’ala melalui kedudukan dan tempat mereka di sisiNya.”

Jawaban terhadap syubhat ini: Semua orang-orang Mukmin adalah wali-wali Allah, tetapi memastikan orang Mukmin tertentu adalah wali Allah memerlukan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Siapa yang kewaliannya ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, kita tidak boleh bersikap ghuluw padanya dengan mencari keberkahan darinya, karena ia termasuk sarana kepada syirik. Allah Ta’ala memerintahkan kita agar berdoa langsung kepadaNya tanpa mengangkat perantara antara kita denganNya. Sebab, inilah alasan yang diungkapkan oleh kaum musyrikin dahulu, bahwa mereka menjadikan berhala-berhala mereka sebagai perantara dan pemberi syafa’at di sisi Allah, mereka meminta kepada Allah dengan perantaraan kedudukan dan kedekatan mereka dengan Allah, dan Allah Ta’ala mengingkari hal itu dari mereka. Wallahu a’lam.

 

 Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.

 

Keterangan:

[1] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3232: dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 425 dan Muslim, 1/455 No. 33.

[3] No. 23 dari hadits Abu Malik al-Asyja’i dari bapaknya.

[4] Lihat Shahih al-Bukhari, no. 2456 dan Shahih Muslim, no. 2669 dari hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

[5] Lihat Sunan Abu Dawud, no. 4252.