Kedudukan Pemerintah  (Penguasa) Menurut Agama

taatPara pemimpin memiliki kedudukan yang tinggi, dan derajat yang agung, yang diberikan oleh asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) kepada mereka, sesuai dengan beratnya tugas mereka dan besarnya tanggung jawab mereka. Dan sesungguhnya posisi mereka (posisi kepemimpinan/pemerintah)ditetapkan (diberlakukan) untuk menggantikan posisi nubuwah (kenabian) dalam menjaga (melindungi) agama dan mengatur dunia.

Hikmah Diangkatnya Para Pemimpin

Islam mensyari’atkannya pengangkatan pemimpin adalah untuk hikmah yang sangat banyak, di antaranya:

1.Sesungguhnya manusia tidaklah mau dipimpin kecuali oleh kekuatan imam (pemimpin) dan ketegasannya. Sebagian ahli hikmah berkata, ”Sesungguhnya Allah mencegah (keburukan) dengan perantara pemimpin (penguasa) sesuatu yang tidak bisa dicegah dengan al-Qur’an.”(al-I’tisham: 221)

2.Sesungguhnya maslahat-maslahat agama dan dunia tidak akan teratur kecuali dengan kemimpinan dan dengan jama’ah.

3.Seandainya bukan karena Allah kemudian karena pemimpin, niscaya akan banyak terjadi perpecahan dan pembunuhan sampai hari Kiamat.

4.Seandainya bukan karena Allahk kemudian karena pemimpin, niscaya retak dan hilanglah kemulian Islam.

5.Seandainya bukan karena Allah kemudian karena pemimpin, niscaya kosonglah mimbar-mimbar dan mihrab-mihrab dan terputuslah jalan-jalan (karena jalan-jalan dikuasai oleh para penjahat).

6.Seandainya bukan karena Allah kemudian karena pemimpin, niscaya para remaja yang tidak mampu tidak akan menikah dan anak-anak yatim tidak akan tertampung.

7.Seandainya bukan karena Allah kemudian karena pemimpin, niscaya hukum-hukum tidak bisa direalisasikan dan ditegakkan.

8.Seandainya bukan karena Allah kemudian karena pemimpin, niscaya manusia berada dalam kekacauan dan huru-hara, sebagian mereka memakan sebagian yang lain serta hilanglah hak-hak manusia.

Mentaati Pemimpin Adalah Ibadah

Sebagian kita mungkin belum mengetahui kalau mentaati pemerintah kaum muslimin adalah bagian dari ibadah, kenapa demikian? Karena dengan taat terhadap pemerintah muslim berarti kita telah melaksanakan kewajiban kita sebagai kaum muslimin, dan menjalankan kewajiban adalah bagian dari ibadah. Banyak sekali nash-nash yang mewajibkan kita taat kepada pemimpin kita, di antaranya firman Allah yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)

Al-Imam an-Nawawi berkata, “Yang dimaksud dengan ulul amri adalah orang yang Allah wajibkan untuk ditaati baik para pemimpin dan umara’ dan ini adalah perkataan jumhur ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, ahli fikih dan selain mereka. Dan ada yang mengatakan, ‘Mereka adalah ulama,’ dan ada yang mengatakan, ’Mereka adalah ulama dan umara’’” (Syarh Shahih Muslim, 12/223)

Dan sabda Nabi:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

 

“Wajib atas setiap Muslim untuk mendengar dan taat dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci, kecuali jika ia diperintah dengan kemaksiatan, maka jika diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya)

Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin berkata, ”Di sini terdapat dalil tentang batilnya pendapat orang yang mengatakan, ’Kami tidak mentaati pemerintah kecuali dalam hal-hal yang Allah perintahkan kami dengannya, maksudnya jika mereka menyuruh kami shalat, maka kami shalat, jika mereka menyuruh kami zakat, maka kami zakat. Adapun jika mereka menyuruh kami dengan sesuatu yang tidak ada perintah syar’i maka tidak wajib atas kami mentaatinya. Karena kalau kami wajib mentaati mereka berarti mereka adalah para pembuat syari’at.’ Sesungguhnya teori (pandangan) seperti ini adalah batil, menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah, karena kalau kita katakan bahwasanya kita tidak mentaati kecuali apa-apa yang Allah perintahkan, niscaya tidak ada beda antara mereka (para penguasa/pemimpin) dengan selainnya. Setiap orang yang memerintahkan kepada hal yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar maka ia ditaati.

Kemudian kita katakan, ”Bahkan kita diperintahkan untuk mentaati mereka dalam hal-hal yang tidak diperintahkan oleh Allah, jika hal itu tidak dilarang dan tidak diharamkan.”

Bagaimana Bermu’amalah Dengan Pemimpin (Penguasa)?

Sesungguhnya manhaj ahli sunnah wal jama’ah dalam berinteraksi dengan pemerintah (penguasa) kaum Muslimin adalah benar-benar manhaj yang tepat, dan jalan lurus, bagaimana tidak demikian, padahal manhaj mereka di bangun di atas al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman salafush shalih, sehingga tidak ada pada mereka sikap ekstrim dan sikap meremehkan. Berbeda dengan khawarij dan mu’tazilah yang mereka berpandangan bolehnya keluar dari ketaatan (memberontak) pemerintah, jika mereka melakukan kemunkaran. Dan adapun syi’ah Rafidhah, maka mereka menganggap pemimpinnya suci (sakral), hingga mengangkat mereka ke derajat ma’shum (terbebas dari kesalahan)

Ahli Sunnah di dalam mu’amalah dengan para pemimpin mereka tidak melanggar batasan yang digariskan Kitabullah dan Sunah Rasulullah, mereka memiliki kaidah-kaidah syar’iyah yang menjadi panduan langkah mereka, di antaranya adalah:

1.Sabar terhadap gangguan dan kezhaliman mereka. Kita tetap diperintahkan untuk bersabar sekalipun mereka tidak menunaikan hak-hak rakyat, merampas milik rakyat dan yang lainya. Rasulullah bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

 

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dibenci (tidak disukai) dari pemimpinnya hendaklah ia bersabar atasnya, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal, lalu ia mati, maka ia adalah kematian jahiliyyah.” (Mutafaq ‘alaihi, dan ini adalah lafazh imam Muslim)

2. Tidak memberontak terhadap pemimpin selama mereka tidak melakukan kekafiran yang jelas (nyata). Rasulullah bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا، فَمَاتَ، فَمِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

 

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dibenci (tidak disukai) dari pemimpinnya hendaklah ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal, lalu ia mati, maka ia adalah kematian jahiliyyah.” (Mutafaq ‘alaihi, dan ini adalah lafazh imam Muslim)

Beliau juga bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ: لاَ مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

 

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian dan kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Lalu dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah kami turunkan (lengserkan) mereka dengan pedang?’ Maka beliau bersabda, ”Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat sesuatu yang dibenci dari para pemimpin kalian, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian melepaskan tangan (janji ba’iat) dari ketaatan.” (HR. Muslim)

Imam al-Barbahari berkata:”Tidak dihalalkan memerangi pemimpin dan memberontak mereka sekalipun mereka zhalim.”

3. Menasihati mereka secara sembunyi-sembunyi (tidak terang-terangan di hadapan umum). Dan kaidah ini telah dilupakan oleh orang-orang yang menobatkan dirinya sendiri sebagai da’i (penyeru) di jalan Allah. Dan dalil dalil dari kaidah ini sangat banyak, di antaranya sabda Nabi:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ

 

“Barang siapa yang ingin menasihati pemimpinnya, maka janganlah menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia membawanya lalu menyepi dengannya (untuk menasihatinya). Maka jika diterima itulah yang diharapkan, dan jika tidak maka berarti dia telah menunaikan kewajiban yang ditanggungnya.” (Dishahihkan oleh al-Albani dalam Takhrij kitab as-Sunnah 1097)

Demikan juga apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Usamah bin Zaid ketika dikatakan kepada beliau, ”Kenapa engkau tidak masuk menemui Utsman untuk berbicara dengannya (menasihatinya)?” Maka beliau menjawab, ‘Apakah kalian mengira aku tidak berbicara dengannya (menasihatinya) melainkan apa-apa aku yang diperdengarkan kepada kalian. Demi Allah aku telah berbicara antara aku dengannya, tanpa aku membuka perkara yang aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membukanya.'”

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, sebagaimana dinukil dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar (13/57), ”Maksud Usamah adalah bahwasanya beliau tidak membuka pintu terang-terangan dalam mengingkari imam, karena beliau takut terhadap akibat perbuatan tersebut. Namun beliau bersikap lemah lembut terhadapnya, dan menasihatinya secara diam-diam, karena hal itu lebih pantas untuk diterima.”

4. Tidak mencela mereka dan menghina mereka. Dari Anas bin Malik berkata:

كَانَ الْأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَا عَنْ سَبِّ الْأُمَرَاءِ

 

“Dahulu para pembesar (senior) dari kalangan shahabat Rasulullah melarang kami mencela pemimpin.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam at-Tamhiid, 21/287, dan ada lafazh yang mirip di Kitab as-Sunnah Ibnu ‘Ashim, dan Syu’abul Iman)

5. Mendoakan kebaikan untuk mereka
Imam ath-Thahawi dalam kitabnya “al-’Aqidah ath-Thahawiyyah” berkata, ”Dan kami tidak berpandangan untuk keluar (memberontak) dari para pemimpin kami dan pemerintah kami, sekalipun mereka zhalim, dan kami tidak mendoakan keburukan atas mereka serta kami tidak melepaskan janji ketaatan dari mereka. Dan kami memandang bahwasanya taat kepada mereka adalah termasuk ketaatan kepada Allah, dan wajib selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan. Dan kami mendoakan untuk kebaikan dan kesehatan. ” (Syarh ath-Thahawiyyah, hal. 379)

Imam al-Barbahari berkata dalam Syarhus Sunnah (113-114), “Jika engkau melihat seseorang mendoakan keburukan atas para pemimpin, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu, dan jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi seorang pemimpin dengan kebaikan maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah, Insyaallah.”
Inilah beberapa contoh manhaj ahlu sunnah wal jama’ah dalam berinteraksi dengan para pemimpin (pemerintah) kaum Muslimin. Semoga Allah menghidupkan dan mematikan kita di atas Sunnah Nabi.Wallahu a’lam.

Sumber: Diterjemahkan oleh Sujono, Lc dari Tatsqif al-Awwam bi manhaji salafina as-Shalih fi muamalah al-Hukkam disertai dengan beberapa tambahan dari beberapa sumber yang lain.