وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3

“Demi al-‘Ashr. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Makna Al-Ashr

Para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan al-Ashr, ada yang mengatakan, al-‘Ashr ialah “malam dan siang”, “shalat Ashar”, “masa Nabi atau zaman umatnya.” (Adhwaul Bayan, 9/88, Syinqithiy). Ada juga yang mengatakan, “waktu sore”, “waktu yang terbaik”, “zaman (masa).” (Tafsir Juz ‘Amma, Ibnu Utsaimin). Pendapat yang terakhir, bahwa yang dimaksud dengan al-‘Ashr ialah zaman (waktu atau masa) adalah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Wallahu a’lam.

Urgensi Waktu

Di awal surat ini, Allah bersumpah dengan makhlukNya, yaitu “waktu.” Diriwayatkan bahwa al-Hasan rahimahullah berkata, Allah Subhanahu wa Taala boleh bersumpah dengan makhluk yang dikehendaki-Nya. Namun, tidak boleh bagi seorang pun bersumpah kecuali dengan nama Allah.

Allah Subhanahu wa Taala bersumpah dengan makhluk-Nya, karena makhluk itu menunjukkan Penciptanya, yaitu Allah Subhanahu wa Taala, di samping menunjukkan pula akan keutamaan dan kemanfaatan makhluk tersebut, agar  dijadikan pelajaran bagi manusia. (Mabahits Fii Ulumi al-Qur’an, 1/303).

Dengan demikian, sumpah Allah dengan waktu dalam surat ini menunjukkan betapa urgennya waktu itu dan betapa besarnya keutamaan dan kemanfaatannya bagi manusia, dan hendaknya hal ini dapat dijadikan sebagai pelajaran dan diambil pelajaran yang berharga darinya.

Bagaimana tidak penting? Sementara manusia hidup dalam lingkaran waktu; waktu dulu, kini dan yang akan datang.

Dulu, telah berlalu dan tak mungkin akan kembali lagi namun masih ada pertanggungjawabannya.

Yang akan datang, seseorang tidak tahu secara pasti apakah ia akan menjumpainya ataukah tidak, namun satu hal yang pasti bahwa setiap yang bernyawa akan mati dan kepada-Nya manusia kembali.

Sekarang, maka inilah kesempatan, ia menjadi bagian dari kunci keberuntungan dan kerugian di dunia dan akhirat. Pemanfaatan “waktu sekarang“ dengan perkara yang akan menyampaikan kepada keberuntungan di dunia dan akhirat adalah perkara yang diusahakan oleh orang-orang yang cerdik. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

“Orang yang cerdik adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya dan berbuat untuk kepentingan setelah mati.” (HR. at Tirmidzi, no.2459).

Manusia Berada Dalam Kerugian

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” Manusia di sini bersifat umum, karena menunjukkan jenis. Tanda yang menunjukkan umum adalah ال pada kata الْإِنْسَانَ yang bermakna كُلٌّ (semua).

Dengan demikian, makna ayat ini adalah bahwa manusia senantiasa berada dalam kerugian dan kekurangan di dunia dan akhirat kecuali orang-orang yang dikecualikan oleh Allah Subhanahu wa Taala. (Tafsir Juz ‘Amma, Ibnu Utsaimin).

Syaikh Syinqithi berpendapat bahwa ini berlaku bagi orang muslim dan orang kafir, kecuali yang dikecualikan oleh Allah Subhanahu wa Taala. (Adhwaul Bayan, 9/89).

Golongan yang Tidak Merugi

Adapun orang-orang yang dikecualikan oleh Allah Subhanahu wa Taala bahwa mereka tidak termasuk orang-orang yang akan merugi adalah orang-orang yang mempunyai empat kriteria:

Kriteria pertama: Keimanan yang tidak dicampuri dengan keraguan dan kesyirikan.

Yakni mereka yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perkara-perkara lainnya yang wajib diimani sebagaimana yang telah dijelaskan oleh-Nya di dalam kitab-Nya dan yang telah dijelaskan rasul-Nya di dalam sunnahnya dan mengamalkan syariat-Nya. Mereka inilah yang tidak akan merugi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82).

Kreteria kedua: Beramal Shalih.

Amal shalih ini meliputi seluruh kebaikan yang lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, yang wajib maupun yang sunnah. (Tafsir as Sa’di, 1/934).

Dan, ketika melakukan amal tersebut mereka ikhlas dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, sehingga mereka beruntung alias tidak merugi.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَن الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang Maha Kaya yang tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang menyekutukan Aku dalam amalannya maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya.’” (HR. Muslim, no. 7666).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590).

Kriteria ketiga: Saling menasihati supaya mentaati kebenaran.

Syaikh Syinqithi berkata, “Yang dimaksud dengan al-Haq (kebenaran) adalah Islam dengan segala kesempurnaannya.” (Adh-wa-ul Bayan, 9/90).

Syaikh Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan kebenaran adalah syariat.” (Tafsir Juz ‘Amma, Ibnu Utsaimin).

Jadi, mereka yang tidak merugi adalah yang saling menasihati untuk mentaati syariat Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya, masing-masing saling menasihati, jika ia melihat ada yang melalaikan kewajiban, maka ia memberinya nasihat, seperti “Wahai saudaraku laksanakanlah kewajibanmu”!, dan jika ada yang melakukan hal yang diharamkan, maka ia memberinya nasihat, “Wahai saudaraku jauhilah hal-hal yang diharamkan.”

Kriteria keempat: Saling menasihati supaya menetapi kesabaran.

Yakni satu sama lain saling menasihati agar tetap bersabar. Bersabar dalam mentaati Allah, bersabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah, dan bersabar dalam menghadapi takdir Allah.

Kesimpulan

1. Allah Subhanahu wa Taala telah bersumpah dengan waktu, hal tersebut menunjukkan keutamaan dan kemanfaatan, serta pentingnya waktu bagi manusia.

2. Pemanfaatan waktu merupakan salah satu kunci untuk meraih keuntungan dan terhindar dari kerugian.

3. Seluruh manusia berada dalam kerugian. Kerugian tersebut mengelilinginya dari segala sisi, kecuali orang-orang yang mengisi waktu dalam kehidupannya di dunia dengan empat hal yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat ini, yaitu; beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menapaki kesabaran. Wallahu a’lam. (Amar Abdullah, Lc).

 Referensi :

1. Adhwa-ul Bayan Fii Iidhohi al-Qur’an bil Qur’an, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi.

2. Mabaahits Fii ‘Uluumi al-Qur ’an, Manna’ al-Qaththan.

3. Tafsir Juz Amma, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

4. Taisir Al-Karimirrahman fii Tafsir Kalamil Mannan, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

Sumber : Majalah Shafa, Edisi 5, Th. 1, Hal. 5-7.