Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 284llah ta’ala berfirman:

 للهِ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ وَإِن تُبْدُوا مَافِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللهُ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 284).
_________________________________
Tafsir Ayat :

(284) Allah ta’ala mengabarkan tentang luasnya kekuasaan-Nya terhadap penghuni langit maupun bumi, ilmuNya yang meliputi segala apa yang ditampakkan oleh hamba-hambaNya maupun yang disembunyikannya dalam hati mereka. Dan bahwa Dia akan memberikan ganjaran kepada mereka, ( فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآء) “maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakiNya” yaitu orang yang kembali kepada Rabbnya dan bertaubat kepadaNya,

فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُورًا

“Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (Al-Isra’: 25)

(وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ)”Dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya” yaitu orang yang terus melakukan kemaksiatan, baik batiniyah maupun lahiriyahnya. Ayat ini tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ampunan terhadap hal yang masih terbersit dalam hati seorang hamba yang belum melakukan dan membicarakannya, maka itu adalah bisikan-bisikan hati yang terbersit dalam jiwa yang tidak merupakan sifat seorang hamba dan tidak dibentuk atasnya. Adapun dalam konteks ayat ini yaitu tekad yang bulat dan sifat yang mantap dalam jiwa; sifat yang baik maupun kehendak yang buruk. Oleh karena itu Allah berfirman, (مَافِي أَنفُسِكُمْ) “apa yang ada dalam hatimu”, artinya, yang tetap padanya dan terpatri baik tekad atau sifat mantap, dan Allah mengabarkan bahwasanya Dia, (عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِير) “Mahakuasa atas segala sesuatu”. Maka di antara kesempurnaan kekuasaanNya adalah mengadili para makhluk dan memberikan kepada mereka apa yang berhak mereka dapatkan dari pahala maupun siksaan.

Pelajaran berharga dari ayat di atas di antaranya:

1.Kesempurnaan kerajaan Allah ta’ala, ini berdasarkan firman Allah ta’ala: (للهِ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ): ” Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. “, semuanya tidak kita ketahui selain langit dan bumi. Adapun yang ada di langit mencakup Al-Kursi, Al-‘Arsy, malaikat-malaikat, ruh-ruh anak adam yang ada di langit, seperti ruh-ruhnya orang-oang yang beriman yang ada di Surga.
Adapun yang ada di bumi mencakup mahluk yang mempunyai akal dan yang tidak mempunyai akal, seperti anak Adam, jin, binatang, pepohonan, lautan, sungai dan selainnya.

2.Allah ta’ala berdiri sendiri di langit mengatur apa yang ada di langit dan di bumi sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Hal itu karena keduanya adalah kepunyaanNya.

3.Bahwasanya Allah ta’ala tidak ada sekutu baginya pada kekuasaannya.

4.Kewajiban mengesakan Allah ta’ala di dalam peribadahan, karena pengakuan terhadap Ar-Rububiyyah (penciptaan, pemberi rizki, yang menghidupkan dan yang mematikan dll) mewajibkan pengakuan terhadap hak Uluhiyyahnya (hak untuk disembah), hal ini adalah wajib. Oleh sebab itu Allah ta’ala berfirman: (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ): ” Hai manusia, sembahlah Rabb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. ” (QS.Al-baqarah:21)

5.Penetapan sifat yang sempurna bagi Allah ta’ala, karena jika kita memikirkan dan menghayati terhadap kerajaan yang sangat luas dan besar ini, yang mana Dia mengaturnya dengan pengaturan yang tidak semisalnya, maka kita akan mengetahui bahwa zat yang mengaturnya mempunyai sifat-sifat yang sempurna.

6.Penetapan bahwasanya langit lebih dari satu lapisan, lapisannya ada tujuh, sebagaimana ditunjukkan oleh nash Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’. Adapun nash Al-Quran adalah firman Allah ta’ala: (قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ): ” Katakanlah:”Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” (QS. Al-Mu’minun: 86). Adapun penjelasan As-Sunnah adalah ucapan Nabi [I]shallallahu ‘alaihi wasallam: (اللهم رب السموات السبع و ما أظللن و رب الأرضين السبع و ما أقللن …): “Ya Allah Sang pemilik tujuh lapis langit dan apa yang dinaunginya, dan Sang pemilik tujuh lapis bumi dan apa dikandungnya” (HR. Ibnu Hibban di dalam shahihnya: 11/399). Demikian juga lapisan langit sebagaimana disebutkan di dalam hadits di atas.

7.Kesempurnaan Ilmu Allah dan keluasannya, ini sebagaimana firmannya:
( وَإِن تُبْدُوا مَافِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللهُ):” Jika kamu menampakkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” Tidaklah ada perhitungan kecuali setelah mengetahui tentang perbuatan yang dilakukan tersebut.

8.Peringatan bagi seorang hamba terhadap apa yang dia sembunyikan di dalam hatinya dari hal-hal yang tidak diridhoi Allah ta’ala

9.Penetapan terhadap perhitungan atas apa yang disembunyikan seorang hamba di dalam hatinya. Hal ini secara dhahirnya menunjukan keumuman (semua apa yang ada di dalam hati manusia), ini didasari firman Allah ta’ala: (مَافِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللهُ): “Apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” Akan tetapi datang nash-nash yang lain yang menjelaskan secara rinci tentang hal tersebut sebagai berikut:

Pertama: Apa yang terbetik di hati hanyalah berupa was-was atau bisikan yang tidak disetujui atau yang tidak dikehendaki (seseorang), maka hal itu tidak membahayakan, bahkan justru hal itu menunjukan akan kesempurnaan iman (pada dirinya), karena setan jika ia melihat keimanan dan keyakinan pada hati seorang hamba maka ia berusaha untuk merusaknya. Oleh sebab itu ketika para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang mereka dapati pada diri mereka dari was was tersebut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh kalian menemukan hal itu?”, para shahabat menjawab: “Ya”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah kemurnian iman”. (HR. Muslim: Kitabul Iman, no: 340)

Di dalam riwayat lain beliau bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu-dayanya (setan) dengan menjadikannya (hanya sekedar) was was”

Kedua: menginginkan sesuatu yang diharamkan atau berniat melakukannya yang kemudian ia meninggalkan (keinginan tersebut), maka hal ini terbagi menjadi beberapa kondisi:

1.Ia meninggalkannya karena Allah ta’ala, maka ia mendapatkan pahala atas apa yang ia lakukan tersebut, ini seperti yang datang penjelasan dari As-sunnah pada seorang yang berniat suatu keburukan kemudian ia tidak melakukannya, maka ditulis baginya satu kebaikan, Allah ta’ala berfirman di dalam hadits Qudsi: “… Ia meninggalkannya dikarnakan aku”. (HR. Muslim: 336)

2.Ia meninggalkan maksiat tersebut hanya karena ia tidak mau atau enggan melakukannya (bukan karena Allah), maka tidak ada pahala baginya, dan juga tidak ada dosa atasnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “انما الاعمال بالنيات وانما لامرئ ما نوى”: “Setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan”. (HR. Al-Bukhari: 1)

3.Seorang berangan-angan terhadap maksiat dan sangat berkeinginan untuk melakukannya, akan tetapi ia tidak melakukan hal-hal yang membantunya untuk mewujudkan hal itu, maka ia mendapatkan balasan atau hukuman atas niatnya dengan balasan atau hukuman yang tidak penuh, ini sesuai dengan hadits yang menjelaskan tentang fakir yang berangan-angan untuk mempunyai harta seperti harta yang dimiliki orang kaya, kemudian ia ingin menginfaknya terhardap hal-hal yang tidak diridhoi Allah ta’ala (seperti apa yang dilakukan oleh orang kaya tersebut), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang orang (fakir) ini : “Dia dengan apa yang ia niatkan, dosa keduanya sama”.(HR. Ahmad: 18187, At-Tirmidzi: 2325)

4.Ia berniat melakukan maksiat, kemudian ia melakukan sebab-sebab atau hal-hal yang menghantarkannya kepada maksiat tersebut, namun ia tidak mampu melakukannya sebab-sebab itu, maka baginya dosa pelaku maksiat tersebut, ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika dua orang muslim bertemu dengan membawa pedang-pedang mereka (saling membunuh), maka pembunuh dan yang dibunuh tempatnya di Neraka”, para Shahabat berkata: “Ya Rasulullah, pembunuh ia di neraka, akan tetapi apa sebab orang yang dibunuh tempatnya di neraka juga?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Karena ia ingin berusaha membunuh saudaranya”. (HR. Al-Bukhari: 31, Muslim: 7252)

10.Di antara pelajaran ayat di atas adalah penetapan akan perhitungan (amalan) seorang hamba, ini sesuai dengan firman Allah ta’ala: (يُحَاسِبْكُم بِهِ اللهُ): “Niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”, oleh karena itu diriwayatkan bahwa Umar bin Khathab berkata: “Hitunglah (amala-amalan) kalian sebelum (amalan-amalan itu) dihitung (pada hari kiamat-pen)”.(HR. At-Tirmidzi: 2359)

11.Bahwasanya setelah perhitungan amalan seorang hamba (pada Hari kiamat), maka jika Allah berkehendak Dia akan mengampuninya, dan jika Dia berkehendak ia akan mengazabnya, ini sesuai dengan firman Allah ta’ala: (فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ): “Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya”. jika ia seorang yang kafir, maka Allah akan mengazabnya, dan jika seorang muslim, maka ia di bawah kehendak Allah ta’ala, sebagaimana juga Allah ta’ala berfirman: (إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ): ” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya “(QS. An-Nisa: 48)

12.Penetapan Kemampuan bagi Allah ta’ala, kemampuan yang sangat luas mencakup segala sesuatu. Ini sesuai dengan firman Allah ta’ala: (وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ): “Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu “

[Sumber: Tafsir al-Quran al-Karim, oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin jilid 3, Tafsir as-Sa’di, oleh syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di]