إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Kautsar: 1-3).

Informasi Umum

Surat Al-Kautsar terdiri atas 3 ayat dan merupakan surat terpendek di antara surat-surat yang ada di dalam al-Qur’an. Surat ini termasuk golongan surat-surat Makkiyah yang diturunkan sesudah surat Al-’Adiyat.

Dinamakan surat Al-Kautsar karena diambil dari perkataan “Al-Kautsar” yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat ini sebagai penghibur hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala orang-orang Quraisy mencela dan merendahkan beliau karena dua anak laki-laki beliau meninggal dunia, yaitu Al-Qasim di Makkah dan Ibrahim di Madinah. Mereka menyebut bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah al-Abtar, yaitu orang yang telah terputus dari rahmat Allah setelah meninggalnya anak laki-laki beliau.

Aspek Balaghiyah

Kalau kita perhatikan secara seksama, ada satu aspek balaghiyah yang secara khusus terdapat dalam ayat ini, meskipun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an sebenarnya mengandung nilai-nilai balaghiyah yang menjadi salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur’an.

Sebagai contoh kita ambil pada ayat pertama. Dalam ayat itu Allah menggunakan kata ganti jamak, yaitu “Kami” dan tidak menggunakan kata ganti tunggal, yaitu “Aku”. Hal ini menunjukkan akan kemahaagungan Allah atas semua makhluknya. Keagungan Allah bersifat absolute yang tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang bisa menandingi kemahaagungan-Nya.

Dalam redaksi selanjutnya, Allah menggunakan fiil madhi (past tense) dengan ungkapan (إِنَّاأَعْطَيْنَاكَ), Kami telah memberimu (Muhammad) dan tidak menggunakan fiil mudhari (future tense) dengan ungkapan (سَنُعْطِيْكَ), Kami akan memberimu (Muhammad). Hal ini menunjukkan akan kepastian terealisasikannya janji Allah untuk memberikan nikmat yang banyak kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, baik di dunia maupun di akhirat.

Nikmat yang banyak di dunia telah beliau rasakan. Syaikh Asy-Syinqithi menyebutkan dalam kitab tafsirnya Adhwa’ul Bayan bahwa hal itu bisa dilihat dari ayat-ayat yang lain. Sebagai contohnya apa yang terdapat dalam surat Al-Insyirah, seperti dilapangkannya dada beliau, diringankannya beban beliau dalam mengemban risalah islam, ditinggikannya nama beliau, dan dimudahkan setelah datangnya kesulitan.

Adapun nikmat di akhirat, salah satunya seperti yang terdapat dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertidur, kemudian beliau bangun dari tidurnya sembari tersenyum. Para sahabat pun bertanya, Wahai Rasulullah apa yang membuat anda tersenyum? Rasulullah menjawab, Baru saja diturunkan kepadaku sebuah surat. Kemudian beliau membaca surat Al-Kautsar sampai selesai. Setelah itu Rasulullah bertanya, Apakah kalian tahu apa itu Al-Kautsar? Para sahabat menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lantas beliau bersabda:

فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الْجَنَّةِ وَعَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ عَلَيْهِ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ الْكَوَاكِبِ

“Ia adalah sebuah sungai yang telah Allah janjikan kepadaku di dalam surga yang mengandung banyak kebaikan dan terdapat telaga di dalamnya. Kelak di hari kiamat umatku akan menuju kepadanya, dan cangkir-cangkir minumnya sebanyak taburan bintang di langit.” (HR. Abu Dawud, no. 4749).

Makna Kosakata

(الْكَوْثَرَ) : Para ulama berbeda pendapat tentang makna al-Kautsar. Di antara maknanya ialah kebaikan yang banyak, ini merupakan pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Makna yang lain bahwa al-Kautsar adalah sebuah sungai atau telaga di surga. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Syaikh Asy-Syinqithi lebih memilih makna al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak, karena sungai ataupun telaga di surga termasuk dalam konteks makna tersebut.

(شَانِئَكَ) : Yakni orang-orang yang membenci Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa mereka adalah musuhnya, yaitu yang selalu memusuhi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, baik terhadap dirinya ataupun kebenaran risalah yang dibawa olehnya.

(الْأَبْتَرُ) : Yakni terputus dari rahmat Allah atau terputus dari setiap kebaikan yang tidak ada kesudahan baginya, baik di dunia maupun di akhirat. Syaikh As-Sa’di menyebutkan makna lain, yaitu amalnya terputus dan penyebutannya juga terputus, maksudnya bahwa setelah meninggal dunia namanya tidak dikenal dalam hal kebaikan.

Sebab Turunnya

Di antara sebab turunnya surat ini ialah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari As-Sidi bahwa ia berkata, “Kebiasaan orang-orang Quraisy apabila anak laki-lakinya meninggal dunia mereka mengatakan, Fulan telah terputus (dari rahmat Allah). Maka tatkala anak laki-laki Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia. Al-Ash bin Wa’il berkata, Muhammad telah terputus (dari rahmat Allah). Lantas Allah menurunkan ayat yang artinya, Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).

Pelajaran

Beberapa nilai yang bisa diambil dari ayat ini ialah:

1. Surat ini menekankan kembali agar manusia senantiasa beribadah kepada Allah semata dan bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka.

2. Di dalam surat ini mencakup semua jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyah, tahuid uluhiyah dan tauhid asma wa sifat.

3. Shalat merupakan ibadah badaniyah dan berkurban adalah ibadah maliyah. Adapun rangkaian ibadah haji merupakan refleksi dari kedua jenis ibadah tersebut karena telah mencakup semuanya. Oleh karena itu, ibadah haji merupakan ibadah yang sangat mulia.

4. Ibadah kurban yang dilaksanakan setelah shalat Idul Adha merupakan aplikasi nyata sebuah syukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan-Nya.

5. Golongan manusia yang terputus dari rahmat Allah adalah orang-orang yang membenci dan memusuhi Rasulullah, baik terhadap pribadi beliau maupun risalah yang dibawanya.

6. Allah senantiasa menolong dan memuliakan hamba-hamba-Nya yang beriman lagi taat.

7. Wajib hukumnya mengikhlaskan diri dalam beribadah semata-mata karena Allah. Dimana ikhlas dan ittiba’ adalah konsekuensi dari dua kalimat syahadat yang tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Apabila salah satu dari keduanya tidak ada, maka ibadah tidak akan diterima oleh Allah. ( Saed As-Saedy, Lc).

Referensi

1. At-Tafsir Al-Munir, Wahbah Az-Zuhaili, Darul Fikri, Damaskus.

2. Adwa’ul Bayan, Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, Darul Fikri, Beirut.

3. Tafsir Seper Sepuluh dari Al-Qur’an Al-Karim, Yayasan Al-Sofwa, Jakarta, dll.

Sumber: Majalah Shafa, Edisi 3, Tahun 1, Hal. 5-7.