subhahPada tahapan ini terdapat beberapa pembahasan, di antaranya: (1). Definisi subhah (tasbeh); (2). Nama-namanya; 3. Bahan (materi)-nya; (4). Sejarahnya pada orang-orang non Arab; (5). Peranannya bagi mereka; (6). Sejarahnya pada orang-orang Arab; (7). Sejarahnya pada masa-masa Islam; (8). Jumlah biji-bijiannya; (9). Peranannya bagi sebagian kaum muslimin yang menggunakannya; dan (10). Nama-namanya menurut kaum muslimin.

1. Definisinya 

“As-Subhah” dengan harakat dhammah pada huruf Sîn dan sukûn pada huruf ’, berasal dari kata “at-Tasbîh”, yaitu ucapan: “Sub-hânallâh.” Atau, bentuk kata “taf’îl”dari kata “as-sabhu”, yang berarti: “bergerak dan berbalik, datang dan pergi.” Sebagaimana terdapat di dalam firman Allah ta’ala:

إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلاً

“Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (al-Muzammil: 7).

Bentuk jamak dari kata ini adalah “Subah”, seperti kata “Ghurfah” dan “Ghuraf”, yang mempunyai arti: alat tasbîh, yaitu: batu merjan yang dirangkai di dalam benang untuk digunakan menghitung bacaan tasbîh.

Kata “as-Subhah” ini sebagaimana dikatakan oleh al-Azhari merupakan kata yang diadopsi (muwalladah). Alfarabi dan diikuti oleh al-Jauhari berkata, “As-Subhah”adalah sesuatu (alat) yang dipakai untuk bertasbîh. Guru kami(Yang berkata adalah az-Zubaidi di dalam kitabnya “Tâj al-‘Arûs” dari gurunya, Ibnu ath-Thayyib asy-Syarqi) berkata: “Sesungguhnya kata ini bukan berasal dari bahasa Arab, dan orang-orang Arab pun tidak ada yang mengetahuinya. Akan tetapi, kata ini sudah muncul pada masa-masa pertama sebagai penopang dzikir, yang difungsikan sebagai peng-ingat dan penyemangat.”

Adapun “as-Subhah” menurut istilah syar’i, berarti: “do`a”, dan juga berarti: “shalat sunnah” (shalat tathawwu’). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menamakan jari telunjuk dengan “al-Musabbihah”, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab “al-Faraj ba’da asy-Syiddah” (1/185). Maka, kata ini termasuk dalam kategori “musytarak lafdhi”, alias kata yang mengandung dua makna syar’i, yaitu: do`a dan shalat sunnah, karena dia dipakai untuk bertasbîh, di antaranya adalah tasbîh dhuha (subhah adh-dhuha). Sedang maknanya yang bukan syar’i, adalah batu-batu merjan yang dirangkai untuk menghitung bacaan dzikir (inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini. Penj).

2. Nama-namanya 

“Subhah” dijamakkan menjadi “Subah.” Dikatakan pula: “Misbahah” (alat untuk bertasbih) se-wazan dengan “Mif’alah” berasal dari kata kerja (fi’il) “Sabaha”, bentuk mashdarnya “as-Sabhu”, dijamakkan menjadi “Masâbih” dan “Masâbîh.”

Disebut juga dengan “at-Tasâbîh”, sebagaimana disebutkan di dalam kitab “al-Mushannaf” karangan Ibnu Abi Syaibah (2/391): “Bab: orang-orang yang membenci alattasbîh.” Beliau menyebutkan lengkap dengan sanadnya dari Ibrahim an-Nakh’i, “bahwasanya dia (Ibrahim an-Nakh’i) telah melarang anak perempuannya untuk membantu para wanita memintal benang-benang alat tasbîh yang digunakan untuk bertasbîh.”

Juga, disebut “an-Nidhâm”, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Waddhah di dalam kitabnya “al-Bida’ wa an-Nahyu ‘Anhâ”, hal. 12, dengan sanadnya dari Ubban bin Abu ‘Iyasy, dia berkata, “Aku telah bertanya kepada al-Hasan tentang “an-Nidhâm” yang terbuat dari batu merjan, biji-bijian dan sejenisnya yang digunakan untuk bertasbîh? Lalu beliau menjawab, “Tidak seorang pun dari istri-istri Nabi dan para wanita yang ikut berhijrah (muhajirât) yang pernah melakukan hal itu.” Di dalam sanadnya terdapat orang yang diabaikan riwayatnya (matruk), yaitu: Ubban bin Abu Syaibah al-Bashri. Oleh karena itu ia tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), bahkan akan lebih lemah daripada yang lemah ketika dia meriwayatkan dari al-Hasan, dan dia (al-Hasan) juga demikian, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh adz-Dzahabi di dalam “al-Mîzân” (1/11).”

Juga, disebut “Alat”, mengingat as-Suyuthi rahimahullah di dalam “al-Minhah” ketika menyebutkan beberapa atsar (riwayat) tentang banyaknya ibadah mereka, yang di antaranya: seratus ribu kali bertasbîh dan sebagainya, seraya mengatakan: “Di antara hal yang sudah diketahui secara pasti adalah bahwa jumlah seratus ribu, empat puluh ribu, dan yang lebih kecil darinya, itu tidak dihitung dengan menggunakan jari. Sungguh, ada atsar shahih yang menyatakan bahwa keduanya dihitung dengan menggunakan alat.”

Para kaum sufi telah memberi sebutan (laqab) bagi tasbeh ini, seperti “al-mudzakkirat billâh” (pengingat kepada Allah), “râbithat al-qulûb” (pengikat hati), “habl al-washl”(tali penghubung kepada Allah), dan “sauth asy-syaithan” (cambuk setan).

3. Bahannya 

Berdasarkan yang terlihat, alat tasbeh ini terbuat dari berbagai materi (bahan) yang berbeda-beda menurut perbedaan keadaan, kemampuan, kemudahan, lemahnya keahlian, dan menurut waktu dan tempat. Dan sesungguhnya masing-masing daerah mempunyai perhatian tersendiri untuk membuat benda ini dari materi-materi tertentu, seperti yang terdapat di Mesir, India, China dan Eropa. Sedangkan materi-materi yang kemungkinan digunakan untuk membuat alat tasbeh ini, di antaranya adalah: tanah, batu kerikil, biji-bijian, logam (metal), gading gajah, kaca (kristal), emas, perak, porselin, anbar (tulang ikan paus) dan beberapa wangi-wangian yang lainnya, batu-batu berharga, sesuatu yang lunak (elastis), atau dilaburi dengan emas atau perak, atau dibuat dari tulang-tulang binatang, seperti tulang gigi gajah, dan dari berbagai macam kayu, seperti padi di Lebanon, serta dari biji berbagai buah-buahan seperti buah mismis dan buah persik. Selain itu, tasbeh ini juga punya warna yang ber-beda-beda, sehingga butiran-butirannya ada yang berwarna hitam, merah, putih, dan lain sebagainya.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]