(1316) Hadits Keduapuluh dua; dari Mu’adz radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ: لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تعالى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ، الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ. قَالَ: ثُمَّ تَلاَ: تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ (16) فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّاأُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (17) (السجدة: 16-17) ثُمَّ قَالَ: أَلاَأُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ وَعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هذَا. فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ (أَوْ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ) إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka’. Beliau menjawab, ‘Kamu telah menanyakan perkara yang besar, namun perkara tersebut adalah perkara mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah ta’ala, yaitu: kamu menyembah Allah (semata) dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu pun, kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat, kamu berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah’. Kemudian beliau bersabda, ‘Maukah kamu saya tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah (mampu) memadamkan dosa sebagaimana air (mampu) memadamkan api, demikian juga shalat seseorang di pertengahan malam. Kemudian beliau membaca, ‘Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.’ (As-Sajdah: 16-17). Kemudian beliau berkata, ‘Maukah kamu saya beritahukan tentang pokok perkara (agama), tiangnya, dan puncaknya?’Saya menjawab, ‘Tentu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, ‘Pokok perkara (agama) adalah Islam (berserah diri), tiangnya adalah Shalat, dan puncaknya adalah Jihad. Maukah kamu kuberitahukan yang mengendalikan semua itu?’ Saya menjawab, ‘Tentu wahai Rasulullah.’ Maka beliau memegang lidahnya seraya bersabda, ‘Jagalah ini’. Saya bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, apakah kami akan dihukum disebabkan kalimat yang kami ucapkan?’ Beliau menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu (maksudnya sebagai ungkapan kekagetan, pent.). Apakah (ada) yang menyebabkan seseorang terjerembab di neraka di atas wajah (atau hidung mereka) kecuali disebabkan oleh tindakan lisan mereka’?

Shahih: Telah dikemukakan pembahasannya secara terperinci dalam takhrijnya pada no. 1066.

Kami meriwayatkannya dalam Sunan at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

ذِرْوَةُالسَّنَامِ dengan mengkasrahkan atau mendhammahkan dzal bermakna, puncak sesuatu. Dan مَلَكُ اْلأَمْرِ dengan mengkasrahkan mim bermakna, maksud suatu perkara.

(1317) Hadits Kedua puluh tiga; dari Abu Dzar dan Mu’adz radiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

اِتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya perbuatan baik akan menghapus perbuatan buruk itu, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Hasan Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 5/153, 158, 169, dan 177; ad-Darimi 2/323; at-Tirmidzi, Kitab al-Birr, Bab Ma Ja`a fi Mu’asyarah an-Nas, 4/355, no. 1987; al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/54; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 4/378; dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 8025: dari beberapa jalur, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Maimun bin Abi Syabib, dari Abu Dzar dengan hadits tersebut.
Sanad ini dinyatakan memiliki illat dengan empat illat.

Pertama, perselisihan pada dua sahabat dalam sanadnya. Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkannya dalam al-Mushannaf, no. 25315; Ahmad 5/288 dan 236; at-Tirmidzi pada tempat sebelumnya; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 3791 dan al-Mu’jam ash-Shaghir, no. 531; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 8025: dari beberapa jalur dari Habib dari Maimun dari Mu’adz…maka dia menyebutkannya.

Mungkin saja penyebutan Mu’adz di dalamnya adalah salah. Dan yang benar bahwa ia termasuk Musnad Abi Dzar sebagaimana zahirnya riwayat al-Musnad dan at-Tirmidzi. Akan tetapi yang terpilih –wallahu a’lam– bahwa terjaga dari keduanya, dan ia yang diridhai oleh al-Baihaqi, al-Mundziri, an-Nawawi, dan Ibnu Rajab.

Kedua, ia telah diriwayatkan dari Habib dari Maimun dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara mursal. Dan ad-Daruquthni menyatakannya ini yang rajih! Ia merupakan kebalikan dari sesuatu yang dituntut oleh mayoritas dari riwayat-riwayat yang tegas menyebutkan sahabat, dan kebalikan dari apa yang dipilih dan diridhai oleh seluruh ahli ilmu yang saya dapatkan.

Ketiga, tadlis Habib bin Abi Tsabit dan ‘an’anahnya, akan tetapi hal tersebut merupakan perkara yang sangat jauh di sini, karena tadlis dari orang-orang semisalnya adalah dengan menghilangkan tabi’in dan meriwayatkan dari sahabat secara langsung. Apalagi dia melihat kepada orang yang lebih rendah martabatnya darinya yang mana dirajihkan tidak ada pentadlisan.

Keempat, terputusnya sanad antara Maimun, Abu Dzar, dan Mu’adz. Maimun, tidak ada bukti bahwa dia mendengar dari salah seorang sahabat sebagaimana disebutkan oleh bukan satu orang saja. Inilah dua illat yang menyerang ke dalam dua hadits tersebut secara bersamaan.
Akan tetapi hadits Abu Dzar datang dari jalur-jalur lain. Ahmad meriwayatkannya 5/181 dari jalur Darraj, dari Abu Haitsam, dari Abu Dzar…lalu dia menyebutkannya dengan semisalnya. Al-Mundziri menyatakan isnadnya jayyid (baik)! Sedangkan riwayat Darraj dari Abu al-Haitsam adalah lemah. Dan potongan bagian tengah diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 5/169 dan az-Zuhd, hal. 35, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 4/217 dengan dua sanad yang dinyatakan jayyid oleh al-Albani dalam ash-Shahihah pada no. 1373.

Sedangkan hadits Mu’adz, al-Bazzar meriwayatkannya pada no. 1682 Mukhtashar az-Zawa`id: dari jalur Ibnu Lahi’ah dari Abu az-Zubair dari Abu ath-Thufail. Dan sanadnya la ba`sa bihi dalam asy-Syawahid. Riwayat yang menjadi syahid untuk kedua hadits tersebut adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 2/283, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 8742, al-Hakim 1/54, 4/244: dari dua jalur, dari Harmalah bin Imran, dari Sa’id al-Maqburi, dari ayahnya, dari Ibnu Amr bahwa Mu’adz bin Jabal berkata kepada Nabi, “Wasiatkanlah kepadaku…” lalu dia menyebutkan lengkap hadits tersebut dengan lafazh semisal. Sanadnya shahih. Al-Hakim menshahihkannya, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

Secara global kedua hadits tersebut adalah hasan shahih. At-Tirmidzi menyatakan hasan hadits Abu Dzar, dan al-Mundziri menyepakatinya. Al-Hakim dan adz-Dzahabi menshahihkannya. Al-Albani menyatakan hasan hadits tersebut dengan kepanjangannya, dan menshahihkan sebagiannya. Sedangkan hadits Mu’adz, maka al-Hakim dan adz-Dzahabi menshahihkannya, al-Mundziri menyatakan jayyid sebagian sanadnya, al-Albani menyatakannya hasan. Lihat sebagai tambahan penjelasan untuk keduanya dalam Jami’ al-Ulum wa al-Hikam hal. 18.

Kami meriwayatkannya dalam Sunan at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits ini hasan.” Dan dalam sebagian naskah Sunan at-Tirmidzi yang dijadikan pegangan, “Hadits ini hasan shahih.”

(1318) Hadits Kedua puluh empat, dari al-Irbadh bin Sariyah radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا. قَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ (حَبَشِيٌّ). وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ، فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati kami dengan nasihat yang sangat mendalam yang mana hati bergetar dan mata bercucuran karenanya. Maka kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, seakan akan ini merupakan nasihat perpisahan. Maka berilah wasiat kepada kami.’ Beliau bersabda, ‘Saya wasiatkan kamu dengan bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (segala perintah), walaupun kamu dipimpin oleh seorang hamba Ethiopia. Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian (sesudahku) akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidun yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah ajaran-ajaran (agama) yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126-127; ad-Darimi 1/44; Ibnu Majah, al-Muqaddimah, Bab Ittiba’ Sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin, 1/15, no. 42-44; Abu Dawud, Kitab as-Sunnah, Bab Luzum as-Sunnah, 2/611, no. 4607; at-Tirmidzi, Kitab al-Ilm, Bab al-Akhdzu bi as-Sunnah, 5/44, no. 2676; Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 26-34, 48,49, 54-59 dan 1037-1045; ath-Thahawi dalam al-Musykil 2/69; Ibnu Hibban, no. 5; al-Hakim 1/ 95-97; al-Baihaqi 6/541; dan al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah no. 102: dari beberapa jalur, dari al-‘Irbadh radiyallahu ‘anhu.

Dan isnad-isnadnya yang shahih dan yang hasan sangat banyak sekali, maka tidaklah aneh para ahli ilmu menshahihkannya seperti at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baghawi, al-Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi dan al-Albani.

Kami meriwayatkannya dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

(1319) Hadits Kedua puluh lima; dari Abu Mas’ud al-Badri radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.

‘Sesungguhnya di antara ucapan para nabi terdahulu yang didapatkan manusia adalah ucapan, ‘Apabila kamu tidak malu maka berbuatlah sekehendakmu’.

Kami meriwayatkannya dalam Shahih al-Bukhari, Kitab al-Anbiya`, Bab, 6/515, no. 3483 dan 3484.

(1320) Hadits Kedua puluh enam; dari Jabir radiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya,

أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذلِكَ شَيْئًا، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: نَعَمْ.

“Apa pendapat anda apabila aku melaksanakan shalat-shalat wajib, berpuasa di bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambahkan sesuatu pun atasnya, apakah aku akan masuk surga?’ Beliau menjawab, ‘Ya’.

Kami meriwayatkannya dalam Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Iman al-Ladzi Yudkhilu bihi al-Jannah, 1/44, no. 15

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.