Seandainya masing-masing kita memperhatikan praktek shalat kaum Muslimin, niscaya kita dapati bahwasanya mereka semua menunaikan sebagian besar rukun-rukun shalat yang diminta, seperti takbiratul ihram, berdiri, ruku’, sujud dan lain-lain. Akan tetapi pada waktu yang bersamaan kita dapati banyak dari kaum Muslimin yang tidak menunaikan salah satu rukun yang penting, yang mana shalat seseorang tidak akan sah kecuali dengan menunaikan rukun tersebut, dan rukun tersebut adalah rukun thuma’ninah (ithmi’naan). Padahal rukun ini menyertai kebanyakan rukun-rukun shalat yang lain, maksudnya adalah bahwa harus ada thuma’ninah ketika berdiri dalam shalat, ketika ruku’, sujud dan ketika duduk di antara dua sujud.

Dan yang dimaksud dengan thuma’ninah (ithmi’naan) dalam shalat adalah berdiam diri (tenang) seukuran waktu untuk membaca bacaan shalat yang wajib. Maka seseorang tidak dikatakan thuma’ninah kecuali jika ia tenang dalam ruku’ seukuran waktu untuk mengucapkan “سبحان ربِّي العظيم” satu kali (dengan bacaan normal, tidak cepat), dan dalam I’tidal (berdiri setelah ruku’) seukuran waktu untuk mengucapkan “ربَّنا ولك الحمدُ” dan dalam sujud seukuran waktu untuk mengucapkan “سبحان رَبِّي الأعلى” , serta dalam duduk di antara dua sujud seukuran waktu untuk membaca “رَبِّ اغفِر لي” dan seterusnya.

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah berkata dalam kitab Tuhfatul Muhtaj:“Batasannya adalah tenang dan mapannya anggota-anggota badan yang digunakan untuk melakukan rukun tersebut.”

Dan dalam Shahih disebutkan sebuah hadits dari Shahabat Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu tentang sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

…فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ

“…Maka jika beliau mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga masing-masing ruas tulang belakang kembali ke tempatnya.”

Dan dalam Shahih Muslim (no 1138) disebutkan dari hadits ‘Aisyah ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha

(فكان وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا)

“…Maka, apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak sujud sebelum berdiri tegak lurus (I’tidal).”

Maka hadits-hadits ini dan yang semisalnya menunjukkan bahwa thuma’ninah adalah mapan dan tenang pada posisi-posisi shalat dan tidak tergesa-gesa ketika berpindah dari satu rukun ke rukun berikutnya, akan tetapi justru diam sebentar hingga masing-masing tulan dan persendian kembali ke posisinya.

Dan dalil tentang rukun thu’maninah adalah hadits yang ada dalam Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

أنَّ رسول الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – دخل المسجد، فدخل رجلٌ فصلى، ثم جاء فسلَّم على رسولِ الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – فردَّ رسولُ الله – صلَّى الله عليه وسلَّم – السلام قال: ((ارجع فصل، فإنَّك لم تصل))، فرجع الرجلُ فصلى كما كان صلى، ثم جاء إلى النبي – صلَّى الله عليه وسلَّم – فسلم عليه، فقال رسولُ الله – صلَّى الله عليه وسلَّم -: ((وعليك السلام))، ثم قال: ((ارجع فصل، فإنَّك لم تصل))، حتى فعل ذلك ثلاثَ مراتٍ، فقال الرجلُ: والذي بعثك بالحقِّ ما أحسن غير هذا فعلِّمني، قال: ((إذا قمتَ إلى الصلاة فكبر، ثم اقرأ ما تيسر معك من القرآن، ثم اركع حتى تطمئنَّ راكعًا، ثم ارفع حتى تعتدل قائمًا، ثم اسجد حتى تطمئن ساجدًا، ثم ارفع حتى تطمئن جالسًا، ثم افعل ذلك في صلاتِك كلِّها)).

” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk kemudian ia shalat. Kemudian orang itu datang dan memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab salamnya dan bersabda:“ Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat (dengan shalat yang sah)!” Lalu orang itu kembali dan mengulangi shalat seperti semula. Kemudian ia datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil memberi salam kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:” Wa’alaikas Salaam” Kemudian beliau bersabda:“ Kembali dan ulangilah shalatmu karena kamu belum shalat!” Sehingga ia ini berulang sampai tiga kali. Maka laki-laki itu berkata:“ Demi Dzat yang mengutus anda dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari shalat seperti ini, maka ajarilah aku.” Beliau pun bersabda:“Jika kamu berdiri untuk shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat yang mudah dari Al Qur’an. Kemudian ruku’-lah hingga benar-benar thuma’ninah (tenang/mapan) dalam ruku’, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak (lurus), kemudian sujudlah sampai engkau thuma’ninah dalam sujud, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga thuma’ninah dalam keadaan dudukmu. Kemudian lakukanlah semua itu di seluruh shalat (rakaat) mu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Maka hadits yang mulia ini, yang dikenal dengan hadits al-Musii’u fii Shalaatihi (orang yang salah/keliru shalatnya) –disandarkan kepada lelaki yang ada dalam hadits di atas yang bernama Khalad bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu– adalah dasar hukum (landasan) dalam bab thuma’ninah dalam shalat. Dan nampak jelas bagi kita bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika memerintahkan lelaki ini untuk mengulangi shalatnya karena ia tidak thuma’nianh adalah menunjukkan bahwa thuma’niah adalah rukun, yang mana tidak sah shalat seseorang kecuali dengannya.

Sebagian Atsar dan Ucapan Dari Sebagian Shahabat Dan Ulama Tentang Pentingnya Rukun Ini

Shahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu melihat seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya:” Kamu belum shalat, dan kalau engkau mati sungguh engkau mati tidak di atas fitrah Allah yang di atasnya Dia menetapkan fitrah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. al-Bukhari)

Dan di dalam riwayat imam an-Nasaa’i:” Sejak kapan engkau shalat seperti ini?” Orang itu menjawab:”Sejak empat puluh tahun lalu.” Beliau (Hudzaifah) berkata:” Engkau belumlah shalat (dengan sah) selama empat puluh tahun.” (Sunan an-Nasaa’i al-Kubra)

Dahulu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu jika mengangkat kepalanya dari ruku beliau berdiri (I’tidal) sampai-sampai ada yang berkata:”Ia (Anas) lupa” dan ketika duduk di antara dua sujud sampai-sampai ada yang mengatakan:”Ia (Anas) lupa” (Shahih al-Bukhari)

Ucapan “Dia lupa” ini menunjukkan bahwa saking lamanya beliau berdiri (I’tidal) dan duduk di antara dua sujud menjadikan orang-orang mengira kalau beliau lupa dalam shalatnya. Wallahu a’lam.

Imam asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq rahimahumullah berkata:“Barang siapa yang tidak menegakkan (meluruskan) tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujud, maka shalatnya rusak/batal, berdasarkan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

((لا تجزئ صلاةٌ لا يقيمُ الرجلُ فيها صلبَه في الركوع والسجود))

” Tidak mencukupi (tidak sah) suatu shalat, yang mana pelakunya tidak meluruskan tulang belakangnya pada ruku’ dan sujudnya di shalat tersebut.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab rahimahullah)

Syaikh ‘Athiyyah Salim rahimahullah berkata:” Kami menyeru sebagian orang yang kami lihat mereka ruku’ namun tidak thuma’ninah dalam ruku’-nya. Sehingga kami melihat salah seorang di antara mereka seolah-olah sedang membuang (melemparkan) sesuatu dari punggungnya. Demikian juga dalam duduk di antara dua sujud. Dan mereka mengatakan:”Madzhab kami adalah bahwa ia (thuma’ninah) adalah rukun yang ringan”. Maka kami katakan:“Di dalam rukun-rukun shalat tidak ada rukun yang ringan dan berat. Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ruku’ dengan thuma’ninah, dan mengangkat kepala dari ruku’ sampai tenanag (mapan) dan masing-masing ruas tulang belakang kembali ke posisinya, dan setiap tulang kembali ke tempatnya. Dan gerakan yang ringan bukanlah gerakan yang mapan.”” (Dinukil dari ceramah kajian beliau dalam Syarh Arba’in an-Nawawi)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:”Maka yang melakukan ini –yakni tidak thuma’ninah dalam ruku’ (dan dalam rukun-rukun yang lainnya, red)- shalatnya batal (tidak sah), karena ia meninggalkan salah satu rukun shalat.” (asy-Syarh al-Mumti’)

(Sumber: الاطمئنان في الصلاة.. الركن الغائب karya Dr. Basim ‘Amir di http://www.alukah.net/Sharia/0/33594/#ixzz2BbrifJ66. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)