Ada nasib baik, ada nasib buruk. Ada rasa optimis, ada rasa pesimis. Ada untung, ada buntung. Ada sial, ada mujur. Sebagian masyarakat meyakini bahwa masing-masing dari keduanya mempunyai tanda dan perlambang, walaupun tidak selamanya tanda dan perlambang tersebut bisa dicerna oleh nalar, karena sumbernya adalah sugesti, kalaupun lebih dari itu maka titen, memperhatikan.

Orang-orang Arab jahiliyah mengenal tathayyur, dari kata tha`ir atau thayr yang berarti burung, tathayyur berarti burung, manuk dalam bahasa jawa, salah seorang dari mereka, bila hendak melakukan sesuatu yang penting, misalnya menikah atau safar, maka dia melepaskan seekor burung sebagai pertanda, apakah hajatnya sial atau mujur, bila yang pertama maka diurungkan, bila yang kedua maka diteruskan, bila burung saat dilepas terbang ke kiri maka itu berarti sial, bila ke kanan maka pertanda mujur. Dan setiap masyarakat khurafis, yang masih berpegang kepada khurafat, memiliki perlambang-perlambang untuk sial dan mujur ini.

Sebagian gubernur Khurasan merasa pesimis dengan mata juling, bila dia melihat orang juling, maka dia mencambuknya yang terkadang sampai 500 kali, kezhaliman tak terhingga hanya karena mata juling. Suatu kali sang gubernur bertemu dengan laki-laki juling, maka dia memerintahkan agar dicambuk. Laki-laki juling dicambuk, rupa-rupanya dia adalah laki-laki yang kuat dan tahan uji, selesai dicambuk dia berkata, “Tuan gubernur, mengapa engkau mencambukku?” Gubernur menjawab, “Karena aku merasa sial bila melihat orang juling sepertimu.” Maka laki-laki itu menjawab, “Sebenarnya siapa yang membawa sial kepada siapa? Engkau bertemu denganku dan engkau tidak mendapatkan kecuali kebaikan, bisa mencambukku, sebaliknya saya bertemu denganmu, saya mendapatkan cambukan sekian kali. Bila demikian engkaulah pembawa sial bagi diriku dan bukan aku.” Sang gubernur terdiam malu dan sesudah itu dia tak lagi merasa sial karena melihat si mata juling.

Orang ini, Thuwais, namanya adalah Isa bin Abdullah, laki-laki fasik, orang pertama yang memunculkan nyanyian di Madinah, dia adalah penyanyi yang diiringi rebana. Orang-orang Arab menjadikannya sebagai lambang kesialan, hingga mereka berkata, “Lebih sial dari Thuwais.” Hal itu karena Thuwais pernah berkata, “Saya lahir di hari Nabi wafat. Saya disapih dihari Abu Bakar wafat. Saya dikhitan di hari Umar dibunuh. Saya menikah di hari Usman dibunuh dan anak pertama saya lahir di hari Ali dibunuh.” Maka mereka berkata, “Lebih sial dari Thuwais.”

Asy-Sya’bi berpapasan dengan seorang laki-laki yang menuntut seekor keledai. Asy-Sya’bi bertanya kepadanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Wardan.” Asy-Sya’bi bertanya lagi, “Apa nama keledaimu?” Dia menjawab, “Amru.” Maka asy-Sya’bi berkata, “Seharusnya kamu dengan keledaimu tukeran nama.”

Ibnu Abu Atiq berpapasan dengan seorang laki-laki bersama seekor anjing. Dia bertanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Watstsab.” Dia bertanya lagi, “Lalu apa nama anjingmu?” Dia menjawab, “Amru.” Maka Ibnu Abu Atiq berkata, “Seharusnya kamu dengan anjingmu tukeran nama.” Karena watstsab berarti penerkam dengan cepat dan cekatan, ini adalah sifat anjing.

Iskandar memerinta pasukannya, dia melihat seorang laki-laki pincang maka dia memerintahkan agar dia dihapus dari daftar pasukan.

Laki-laki itu tertawa. Iskandar bertanya, “Mengapa kamu tertawa sementara aku telah menghapus namamu?” Dia menjawab, “Aku heran kepadamu yang lebih percaya kepada alat perang daripada alat berjalan, bagaimana pun aku masih punya alat berjalan, tetapi engkau malah menghapus namaku.” Jawabannya menakjubkan Iskandar maka dia memasukkannya ke dalam dewan penasihat raja.

Abu al-Qathuf melamar seorang wanita yatim kepada keluarganya, mereka berkata, “Wanita ini mempunyai harta sekian sekian. Lalu kamu punya apa?” Dia menjawab, “Bila kalian berkata benar maka hartanya cukup bagiku dan baginya selama kami hidup. Jadi tak usah bertanya tentang hartaku?”

Al-Haetsam bin Adi berkata, saat itu adalah sedang di Kunnasah –sebuah tempat- Kufah, seorang laki-laki berkata kepada makelar hewan,
“Carikanlah untukku seekor keledai yang tidak kecil yang diremehkan dan tidak besar yang terknal, bila jalan sepi ia berjalan cepat, bila jalan ramai ia berjalan perlahan, bila aku beri makan sedikit ia sabar, bila aku beri makan banyak ia syukur, bila aku mengendarainya ia berjalan, bila orang lain mengendarainya ia tidur.” Maka sang makelar menjawab, “Sabar wahai hamba Allah, bila hakim sudah dikutuk menjadi keledai maka kami mendapatkan apa yang kamu inginkan itu.”

Bahjatul Majalis, al-Hafizh Ibnu Abdul Bar.