Antara Lapang dan Sempit

Ada saatnya seorang muslim berada dalam keadaan lapang, namun tidak terlepas pula dirinya kadang dihadapkan oleh keadaan yang sulit. Dimana ia sangat membutuhkan uang tunai./biaya dalam segera, namun ia tidak mendapati seorang pun yang memberikan pinjaman uang melainkan mensyaratkan di dalamnya riba. Jika kondisinya semacam ini, tentu hal itu menjadi dilema yang mana ia harus berhati-hati dalam menetapkan pilihannya agar tidak terjatuh dalam transaksi haram.

Meminjam uang dari orang lain yang mengandung unsur riba jelas bukan solusi yang tepat, karena di satu sisi terjatuh dalam perbuatan haram yaitu melakukan transaksi riba, dan di sisi lain pinjaman tersebut bukannya meringankan beban yang sedang menimpanya, ia justru akan membuat beban dalam dirinya semakin bertambah, yaitu dengan adanya kewajiban untuk mengembalikan pinjaman bersama tambahannya sebagai konsekuensi dari pinjaman yang diperolehnya.

Karena keadaan pilihan yang sulit ini, lantas ia mengambil jalan tengah, yaitu menjual barang-barang miliknya dengan harga yang murah dengan tujuan segera mendapatkan uang tunai, meskipun dalam hatinya ia terpaksa untuk menjualnya, namun di sisi lain cara tersebut lebih selamat daripada harus meminjam uang yang mengandung unsur riba.

Seperti salah seorang yang salah satu anggota keluarganya divonis mengindap kanker oleh team dokter, kemudian team medis tersebut menyimpulkan agar si pasien segera dilakuakan tindakan operasi. Namun operasi tersebut tidak akan dilakukan kecuali pihak keluarga telah membayar seperempat dari biaya operasi yang ditetapkan oleh pihak rumah sakit. Karena kondisi yang mendesak ini, maka pihak keluarga menjual mobil miliknya dengan harga yang murah yaitu 50 juta rupiah, padahal harga pasar mobil tersebut masih laku di dijual seharga 100 juta rupiah. Apakah seseorang yang membeli barang tersebut yang dijualnya karena kondisi yang mendesak hukumnya sah dan dibolehkan secara syariah?

Bagaimana islam memandang kasus semacam ini, khususnya bagi pihak pembeli. Apakah jual beli semacam ini dibolehkan dan apakah akad jual beli tersebut dianggap sah?

Yang perlu menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum dari transaksi semacam ini ialah keridhaan dari kedua belah pihak saat melakukan transaksi jual beli yang menjadi salah satu syarat sahnya jual beli. Hal ini sebagaimana firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)

Rasulullah juga bersabda:

إنما البيع عن تراض

“Jual beli (yang sah) ialah yang didasari oleh keridhaan.” (HR. Ibnu Hibban: 4967, Ibnu Majah: 2185)

Lantas, apakah kasus transaksi di atas bisa dikategorikan jual beli yang tidak disertai unsur ridho dari salah satu pihak, khususnya penjual? Karena jual beli dengan keterpaksaan termasuk jalan memakan harta orang lain secara batil, dan cara ini adalah sebuah kezaliman.

Perbedaan ulama

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya membeli barang tersebut dengan harga murah di saat penjual melepaskan barangnya karena terdesak oleh kebutuhan uang yang segera.

Pendapat pertama, Ulama dalam madzhab Hanafi dan sebagian mazhab Hanbali menyatakan tidak boleh dan tidak sah jual beli semacam ini.

Yang menjadi dasar argument pendapat mereka adalah sebuah hadits:

سيأتي على الناس زمان عضوض يعض الموسر على ما في يديه ولم يؤمر بذلك قال الله تعالى { ولا تنسوا الفضل بينكم } ويبايع المضطرون وقد نهى النبي صلى الله عليه و سلم عن بيع المضطر

“Akan datang suatu masa dimana manusia sangat kikir, dimana orang yang lapang akan memegang erat apa yang dimilikinya, padahal ia tidak diperintahkan demikian, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu.” (QS. Al-Baqarah: 237). Akhirnya mereka melakuakan jual beli secara terpaksa. Padahal Nabi melarang penjualan orang yang terdesak (terpaksa).” (HR. Abu Dawud:3382 )

Imam Ahmad menjelaskan maksud hadits ini bahwa seseorang yang terdesak butuh biaya lalu datang kepada anda untuk menjual barang miliknya dengan harga 10 dinar, sedangkan harga pasar barang tersebut 20 dinar.

Di samping itu, penjualan yang dilakukan oleh penjual tersebut juga mengandung unsur ketidakridhaan dalam dirinya yang sepenuhnya, dimana ia menjual barang tersebut karena kondisi yang terdesak dan terpaksa. Sehingga orang yang membeli barang tersebut bisa dikategorikan memakan harta orang lain dengan cara yang batil karena dilakukannya lewat jual beli yang tidak didasari oleh keridhaan dari salah satu pihak.

Pendapat kedua, merupakan pendapat mayoritas para ulama bahwa jual beli semacam ini sah, karena pembeli sesungguhnya turut meringankan beban penjual, andai dia tidak membelinya dengan sesegera mungkin , tentu kesusahan penjual semakin lama untuk mendapatkan biaya yang ia butuhkan.

Dasar argumentasi lain dari pendapat ini ialah sebuah hadits, “Bahwa tatkala Nabi mengusir Yahudi Bani Nadhir dari Madinah, Beliau menganjurkan mereka untuk menjual barang-barangnya, agar tidak merepotkan dalam perjalanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa boleh hukumnya menjual dan memeli barang dengan harga miring disebabkan penjual terdesak (terpaksa) butuh uang, karena Yahudi Bani Nadhir terpaksa menjual barang-barang mereka dengan harga murah agar tidak merepotkan mereka dalam perjalanan keluar dari kota Madinah. Jika jual beli ini tidak dibolehkan tentu Nabi tidak akan menyarankan mereka untuk melakukannya.

Pendapat yang terpilih

Dari dua pendapat tersebut di atas, pendapat kedua adalah pendapat yang terpilih, yaitu bolehnya membeli barang dengan harga murah dari seorang penjual yang sedang terdesak butuh biaya. Hal itu dikarenakan:

  1. Hadits yang menjadi dasar argument pendapat pertama adalah hadits lemah, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Albani dalam kitabnya Shahih Dhaif Sunan Abu Dawud (hal 273), dan Dhaif Al-Jami’ Ash-Shoghir (hal 873)
  2. Perbuatan Nabi yang menyarankan para Yahudi Bani Nadhir untuk menjual barang-barangnya agar tidak merepotkan dalam perjalanan menunjukkan bolehnya transaksi tersebut.

  3. Penjualan barang dengan harga yang lebih murah yang dilakukan oleh seseorang karena kebutuhan yang mendesak tidaklah termasuk dalam kategori jual beli yang tidak didasari oleh unsur ridho (suka sama suka) dari kedua belah pihak. Sehingga akadnya tersebut tetap sah dan tidak terlarang, dan si pembeli pun tidak bisa dikatakan memakan harta orang lain secara batil, karena si pembeli dengan rela membeli barang tersebut, demikian juga si penjualnya dengan sadar dan ridho menjual barang miliknya dengan harga yang lebih murah dari harga pasar. Sehingga dari mana kesimpulan pendapat pertama bahwa si penjual telah menjual barang miliknya tidak didasari oleh keridhaan. Jadi, sebab yang mendorong si penjual menjual barang miliknya tidak bisa disamakan saat si penjual itu melakukan transaksi jual belinya dengan pembeli. Karena disaat si penjual melakukan transaksi, ia sudah ridho dengan jual beli yang dilakukannya.

  4. Kasus menjual barang dengan harga yang lebih murah karena kebutuhan biaya yang mendesak tidaklah sama dengan kasus seseorang yang dipaksa menjual barang miliknya dengan harga yang lebih murah, meskipun keduanya menjual barang tersebut dengan harga yang jauh lebih murah. Akan tetapi sumber keterpaksaan dari keduanya tidaklah sama.

Yang pertama terpaksa karena kondisi pribadinya yang sangat membutuhkan biaya segera yang mengharuskan ia menjual barangnya dengan harga yang lebih murah, tujuannya agar barang tersebut segera laku dan ia mendapatkan uang atau biaya dengan segera. Sehingga si penjual dalam menjual barang tersebut bukan karena paksaan orang lain, baik dari pihak pembeli ataupun pihak ketiga selain pembeli.

Adapun pada kasus yang kedua, si penjual melakukan penjualan karena dipaksa oleh orang lain, entah itu oleh si pembeli itu sendiri atau oleh pihak ketiga selain pembeli. Sehingga transaksi penjualan yang dilakukannya bukan murni atas dasar keinginan dirinya, melainkan paksaan dari orang lain.

  1. Tidak semua jual beli terpaksa diharamkan, ada beberapa kasus transaksi jual beli terpaksa yang dibolehkan, seperti qadhi (hakim) yang menjual terpaksa sisa harta orang yang jatuh pailit untuk menutupi hutangnya atau ia menjual barang agunan untuk menutupi hutang pemilik barang yang telah jatuh tempo.

Atau juga orang yang dipaksa untuk menjual tanah dan rumahnya karena terkena proyek pembuatan jalan raya atau perluasan fasilitas umum, seperti masjid, rumah sakit, taman kota, stasiun, terminal bis dan lain sebagainya. Maka jual beli semacam ini hukumnya sah meskipun mereka dipaksa untuk menjual rumah dan tanahnya, dengan syarat pihak pemerintah memberikan ganti rugi yang adil (layak sesuai dengan harga pasar). Namun jika tujuan tersebut adalah untuk investasi pemerintah atau kepentingan pribadi, maka hukumnya tidak sah karena ia termasuk kezaliman dan perampasan terhadap hak orang lain yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Adapun dasar yang membolehkan bentuk penjualan terpaksa di atas ialah kebijakan Umar bin Khattab yang menggusur rumah-rumah yang berada di sekitar Masjidil Haram dan memberikan ganti rugi kepada para pemilik rumah dan tanah yang terkena penggusuran, namun pada saat itu ada beberapa orang yang menolak penggusuran rumah mereka, maka Umar menggusur paksa serta meletakkan uang ganti rugi di dalam Ka’bah. (Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi).

Kesimpulannya, bahwa membeli barang dengan harga murah dari orang yang menjualnya karena terdesak membutuhkan biaya/uang dengan segera hukumnya sah dan tidak terlarang dalam kacamata syariah. Wallohu a’lam bishowab

Oleh: Saed As-Saedy

Referensi:
1. Harta Haram Muamalat Kontemporer, DR. Erwandi Tarmizi, MA, Penerbit PT. Berkat Mulia Insani, Cetakan Keempat Tahun 2013, Bogor.
2. Buyu’ Muharramah, Al-Maktabah Asy-Syamilah terbitan 3.28, dan referensi lainnya.