WA NUFIKHA FISH SHURHal pertama yang mengetuk pendengaran penduduk dunia setelah datangnya tanda-tanda Kiamat kubra adalah nafkhatul faza’ (tiupan kekagetan) yang mengalir dari tiupan sangkakala. Tidak seorang pun mendengarnya kecuali mengangkat lehernya untuk mendengar perkara besar ini. Inilah makna firman-Nya Taala, “Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS. Al-Muddatstsir: 8-10).

Abdullah bin Abbas sebagaimana di dalam shahih al-Bukhari dan lainnya berkata tentang firman Allah, ‘Apabila ditiup sangkakala’ yaitu tanduk yang ditiup. Rajifahadalah tiupan pertama, dan radifah adalah tiupan kedua. Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara muallaq, kitab ar-Raqaq bab an-Nafkhu fi ash-Shur. Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya secara bersambung disebutkan oleh ath-Thabari dan Ibnu Abu Hatim dari jalan Ali bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas.”

Dari segi hakikat dan wujud, sangkakala adalah sesuatu yang ghaib. Yang kita ketahui bahwa ia adalah tanduk yang ditiup sebagaimana tercantum dalam hadits shahih dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata, “Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, dia bertanya, ‘Apa itu sangkakala?’ Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tanduk yang ditiup’.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Selang beberapa waktu sesudah itu Allah Taala memerintahkan, lalu sangkakala ditiup untuk kedua kalinya. Orang yang pertama kali mendengarnya adalah seseorang yang memperbaiki tempat minum untanya, dia mati, begitu pula orang-orang buruk yang tersisa di muka bumi semuanya mati. Termasuk penghuni langit juga mati kecuali siapa yang dikehendaki oleh Allah.

Kemudian Allah memerintahkan maka sangkakala ditiup kembali. Maka manusia berdiri dari kubur menghadap Rabbul Alamin. Sebagaimana firman Allah, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68).

Dalam hadits shahih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jarak antara dua tiupan adalah 40.” Abu Hurairah ditanya, “40 hari?” Abu Hurairah menjawab, “Saya menolak.” Mereka bertanya, “40 bulan?” Abu Hurairah menjawab, “Saya menolak.” Mereka bertanya, “40 tahun?” Abu Hurairah menjawab, “Saya menolak.” Kemudian Allah menurunkan hujan dari langit maka mereka bermunculan seperti tumbuhnya sayuran dan tidak ada bagian manusia yang tidak hancur kecuali satu tulang yaitu ajbu-dzanab darinya makhluk disusun kembali pada hari Kiamat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Maksud Abu Hurairah dengan ucapannya, ”Saya menolak.” yakni saya tidak memastikan 40 hari atau 40 bulan atau 40 tahun, saya hanya mengatakan 40 saja.Ajbu Dzanab adalah tulang ekor manusia.

Yang dimaksud oleh hadits ini adalah nafkhatus shaiq (tiupan kematian) dan nafkhatul faza’ (tiupan kekagetan) yang pertama. Bisa pula yang dimaksudkan adalah antaranafkhatus shaiq dengan nafkhatul qiyam (tiupan kebangkitan) dari kubur untuk berkumpul menghadap Allah Rabbul Alamin. Wallahu A’lam.

Yang seyogyanya diketahui di sini adalah bahwa nafkhatus shaiq diikuti oleh kehancuran jagat raya secara menyeluruh, planet-planet keluar dari orbitnya, bumi yang tenang bergetar dan berguncang, gunung-gunung yang kokoh beterbangan dan berarak seperti awan. Bumi dan gunung diangkat lalu keduanya dibenturkan sekali benturan bagian atas dan bawahnya menjadi rata. Firman Allah Taala, “Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur.” (QS. Al-Haqqah: 13-14).

Kehancuran jagat raya ini menyeluruh meliputi keadaannya, bentuknya dan tatanannya tidak hanya terbatas pada bumi semata, ia juga meliputi bintang-bintang dan planet-planet dan seluruh tata surya. Hal ini telah dijelaskan dalam berbagai surat al-Qur’anul Karim. Semuanya menyatakan rusaknya tatanan jagat raya ini secara dahsyat dan mencengangkan.

Setelah itu Allah menurunkan hujan yang karenanya jasad manusia tumbuh seperti sayuran dan bermunculan, kemudian sangkakala ditiup untuk yang ketiga kalinya, maka manusia bangkit untuk menghadapi hisab dan balasan amal masing-masing. Hal ini disebutkan dalam hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim, “…kemudian Allah mengirim –atau menurunkan– hujan seperti hujan gerimis atau seperti bayangan, jasad-jasad manusia tumbuh darinya. Kemudian sangkakala ditiup kembali maka mereka berdiri menunggu. Kemudian diserukan, ‘Wahai manusia, pergilah kepada Tuhan kalian, ‘Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya’. (Ash-Shaffat: 24). Kemudian dikatakan kepada mereka, ‘Pisahkanlah rombongan Neraka’. Dijawab, ‘Dari berapa?’ Dikatakan, ‘999 dari 1000’. Dia berkata, ‘Hari itulah anak-anak menjadi beruban, dan hari itulah betis disingkap’.” (HR. Muslim)

Ucapannya, “Hujan seperti gerimis atau bayangan.” Ini adalah keraguan dari Nu’man bin Salim salah seorang rawi hadits. Syaikh al-Albani dalam Tahqiq mukhtashar Shahih Muslim berkata, para ulama berkata, “Yang benar adalah yang pertama (yaitu hujan kecil atau gerimis) karena ia sesuai dengan hadits lain.” Wallahu a’lam.