Hubungan di antara keluarga adalah hubungan paling dekat dan paling kuat, hubungan yang tak terjembatani oleh seseorang, ikatan suami dengan istri bersifat langsung tanpa penghalang, hal ini memberi nilai positif tersendiri, namun di saat yang sama ada negatifnya, yakni bila terjadi ketidaksepahaman, maka emosi yang terpancing cenderung lebih kuat, karena di sana ada perasaan memiliki dan harapan pada pasangan yang dimilikinya tak terwujud, akibatnya dongkolnya lebih banyak dan kesalnya lebih berat, kalau kepada orang lain, Anda bisa cuek, apa bukan, siapa bukan, peduli amat. Maka di sinilah perlunya wal kazhiminal ghaizha, menahan amarah.

Perselisihan terjadi ketika keinginan dan harapan suami dan istri tidak terakomodir dengan baik, yang satu ingin ke selatan pada saat yang sama yang lain ingin ke utara dan tidak ada dari keduanya yang bersedia mengalah. Perselisihan biasanya diikuti dengan kekesalan dan kemarahan karena keinginan dan harapan yang menurutnya baik tidak direspon oleh pasangan, sebaliknya pasangan juga demikian.

Marah adalah emosi karena itu pertimbangan nalar pada saat marah cenderung terbenam karena kuatnya sinar pengaruh emosi. Oleh karena itu jika ia tidak terkontrol dan pemiliknya tidak menahan diri maka peluang lahirnya tindakan destruktif terbuka lebar, karena kemarahan cenderung kepada akibat yang umumnya disesali maka agama Islam memuji orang-orang yang mampu menahan amarahnya.

Firman Allah,

وَالكَاظِمِيْنَ الغَيْظَ وَالعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ المُحْسِنِيْنَ .

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْسَ الشَدِيْدُ بِالصُّرُعَةِ وَلَكِنَّ الشَدِيْدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ .

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang kuat itu bukan dengan bantingannya, akan tetapi orang kuat itu adalah orang yang memiliki dirinya pada saat marah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Bukankah orang yang kita paling berhak dan paling patut untuk menahan amarah di hadapannya adalah orang yang mendampingi kita, istri atau suami dan anak-anak?

Termasuk menahan diri pada saat marah terhadap pasangan adalah mengontrol ucapan, menghindari mencaci, menghina, sumpah serapah, kata-kata kasar dan ucapan-ucapan yang tidak layak lainnya di mana ia tidak patut diarahkan kepada orang lain, lebih-lebih kepada pendamping kita, di samping itu kata kasar bisa melukai hati dan apabila hati telah luka maka penyelesaian perselisihan semakin rumit.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سَبَّابًا، وَلاَ فَحَّاشًا وَلاَ لَعَّانَا .

Dari Anas bin Malik berkata, “Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bukanlah pencaci, bukan pengucap kotor dan bukan pelaknat.” (HR. Al-Bukhari).

Termasuk menahan diri adalah menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan tercela: memukul, menendang, membuang, membanting dan tindakan-tindakan emosional lainnya karena tindakan-tindakan tersebut merupakan pelanggaran dan tindakan melampui batas yang tidak pada tempatnya yang justru membuka konflik baru.

Ketika sebagian istri Rasulullah shalllallohu ‘alaihi wasallam menuntut sesuatu dari Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang tidak beliau miliki, beliau tidak menghardik mereka dan tidak melakukan kekerasan kepada mereka, yang beliau lakukan hanyalah meminta mereka memilih antara kenikmatan dunia atau Allah, RasulNya dan alam akhirat.

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, aku berkata kepadamu suatu perkara, aku tidak ingin kamu memutuskan sebelum kamu berunding dengan kedua orang tuamu.” Aisyah bertanya,”Apa itu ya Rasulullah?” Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam membaca firman Allah, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 28-29). Aisyah menjawab, “Aku memilih Allah, RasulNya dan Hari Akhirat, aku tidak perlu berunding dengan kedua orang tuaku.”

Maka Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam tersenyum. Ketika ucapan tersebut dibacakan kepada istri-istri Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang lain mereka semua menjawab sama dengan jawab Aisyah. Selesai persoalan tanpa kemarahan dan kekerasan.

Kesal dan marah adalah api, api membakar, bila dihadapi dengan marah juga maka apinya lebih besar dan daya bakarnya lebih besar pula, akibatnya resiko merusaknya lebih terbuka, semestinya api dihadapi dengan sesuatu yang memadamkannya, air, bila salah satu marah, yang lainnya berusaha untuk dingin, maka tidak perlu waktu lama untuk api hingga ia pun padam. Boleh marah karena tidak ada dalil yang melarang marah secara mutlak, namun ada dalil yang memuji orang yang menahan amarahnya. Wallahu a’lam.