wali nikahSyarat sah dibutuhkan, keberadaannya bisa mensahkan akad dan ketiadaannya membatalkannya.

Pertama: Wali

Jumhur ulama berpendapat bahwa wali merupakan syarat sah pernikahan, wanita tidak menikahkan dirinya tanpa wali, bila dia melakukan maka pernikahannya batal, berdasarkan hadits Abu Musa di mana Nabi bersabda, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.” Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan hadits Aisyah di mana Nabi bersabda, “Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batal.” Beliau mengucapkannya tiga kali. Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Imam Abu Hanifah berpendapat wali bukan syarat sah pernikahan bila yang menikah adalah wanita dewasa dan berakal, dengan mengqiyaskan akad pernikahan kepada akad muamalat seperti jual beli, sewa-menyewa dan lainnya. Dalam hadits, “Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Yang shahih adalah pendapat jumhur ulama, karena berhaknya janda atas dirinya tidak mengotomatiskan boleh menikah tanpa wali, karena makna hadits adalah bila terjadi perbedaan antara wali dengan janda, maka pilihan janda didahulukan dan selanjutnya walinya yang menikahkannya.

Wali Memaksa

Janda: Wali tidak berhak menikahkan janda tanpa izinnya, baik wali bapak atau lainnya, ini adalah ijma’ para ulama, hadits Abu Hurairah, “Janda tidak dinikahkan hingga dimintai pendapatnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Bila wali menikahkan tanpa izinnya lalu dia menerima maka pernikahan sah tanpa perlu diulang menurut jumhur ulama, sedangkan Syafi’iyah berpendapat harus diulang.

Gadis: Gadis dewasa berakal, wali juga tidak berhak menikahkannya tanpa izinnya, ini adalah pendapat yang shahih, berdasarkan hadits, “Anak gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Rasulullah bagaimana izinnya?” Nabi menjawab, “Dia diam.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadits Ibnu Abbas bahwa seorang gadis mengadu kepada Nabi bahwa bapaknya menikahkannya padahal dia tidak berkenan, maka Nabi memberinya pilihan. Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Wali Menghalangi

Wali tidak boleh menghalangi wanita menikah dengan orang yang dia terima bila orang tersebut beragama dan berakhlak baik, sepadan dengannya. Allah berfirman,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ [البقرة : 232]

Bila kamu mentalak istrimu lalu masa iddahnya hampir selesai, maka jangan menghalanginya untuk rujuk kepada suaminya bila keduanya sama-sama rela dengan cara yang ma’ruf.” Al-Baqarah: 232.
Bila wali tetap menghalangi, maka asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat hak perwalian diambil alih oleh hakim, sedangkan Abu Hanifah berpendapat berpindah ke wali yang lebih jauh.
Siapa Wali?
Wali seorang wanita adalah kaum laki-laki dari pihak bapak bukan ibu. Siapa yang paling berhak? Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, yaitu bapak kemudian kakek. Sesudah kakek, terjadi perbedaan antara Syafi’iyah dengan Hanabilah. Menurut yang pertama adalah saudara, keponakan, paman dan anak paman. Sedangkan menurut yang kedua adalah anak, cucu dari anak laki-laki, saudara, keponakan, paman dan anak paman.
Di zaman Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, yang menikahkan adalah bapak bila ada, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menikahkan putri-putri beliau, lalu Abu Bakar yang menikahkan Aisyah dengan Nabi dan Umar bin al-Khatthab yang menikahkan Hafshah dengan Nabi.
Bila Wali Yang Sederajat Berbeda
Bila dua saudara berbeda pendapat, maka yang sah menikahkan adalah pihak yang diterima oleh wanita, bila wanita menerima keduanya, maka yang sah adalah yang lebih dulu menikahkan, bila terus berselisih, maka wanita mengadukan perkara kepada hakim dan hakim yang menjadi walinya dalam kondisi ini. Hadits berkata, “Bila mereka berselisih maka sultan adalah wali bagi siapa yang tak mempunyai wali.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Wali jauh tidak menikahkan selama wali dekat ada, bila wali dekat tidak hadir, menunggunya melepaskan kemaslahatan wanita, maka hak perwalian dialihkan kepada wali jauh, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.
Syarat Wali
Islam, karena kafir bukan wali bagi muslimah, laki-laki, berakal dan dewasa. Apakah harus adil? Adil adalah orang yang beragama dan berakhlak lurus. Asy-Syafi’i berkata, ya harus adil, demi kebaikan wanita. Jumhur berkata, tidak harus adil, karena kefasikan tidak menghalangi seorang wali untuk menyetujui yang terbaik bagi wanita. Wallahu a’lam.
Wali Menikah dan Menikahkan
Bolehkah wali menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya dengan dirinya sendiri?
Jumhur ulama berpendapat boleh tanpa memerlukan orang lain untuk menikahkan bila dia tersebut bukan termasuk mahram dan ada kerelaan dari wanita, misalnya sepupu dengan sepupu pada saat wali yang lebih dekat tidak ada, berdasarkan hadits Anas bahwa Nabi memerdekakan Shafiyah dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Dan dari Said bin Khalid bahwa Ummu Hakim binti Qarizh berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Beberapa orang melamarku, nikahkanlah aku dengan seseorang yang menurutmu patut.” Abdurrahman berkata, “Apakah kamu menyerahkannya kepadaku?” Dia menjawab, “Ya.” Abdurrahman berkata, “Aku menikahimu.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara muallaq dengan kalimat aktif dan secara bersambung oleh Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat 8/472 dengan sanad diterima.
Imam asy-Syafi’i berpendapat tidak boleh, harus ada wali lain, karena seseorang tidak boleh merangkap dua peran sekaligus, sebagaimana seorang hakim tidak boleh menjadi hakim sekaligus saksi. Apa yang dilakukan oleh Nabi adalah khusus bagi beliau. Wallahu a’lam.