Pengetahuan tentang tanda waqaf (tanda-tanda berhenti dan tempatnya) dan ibtida’ (memulai bacaan) berperan penting di dalam tatacara membaca al-Qur’an, dalam rangka menjaga validitas makna ayat-ayat al-Qur’an, dan menghindari kesamaran serta agar tidak jatuh ke dalam kesalahan. Dan pengetahuan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang ilmu bahasa Arab (dengan berbagai macam cabangnya), ilmu Qir’at, dan ilmu Tafsir, sehingga tidak merusak makna ayat.

Makna Waqaf

Kata al-Waqaf biasa dipakai untuk dua makna, makna yang pertama adalah titik atau tanda di mana seseorang yang membaca al-Qur’an diam (menghentikan bacaannya) pada tanda tersebut.Makna yang kedua adalah tempat-tempat (posisi) yang ditunjukkan oleh para imam ahli Qir’at. Dengan demikian setiap tempat (posisi) dari tempat-tempat tersebut dinamakan waqaf, sekalipun seorang pembaca al-Qur’an tidak berhenti di tempat (posisi) tersebut.

Dan makna ucapan kita:”Ini adalah waqaf” maksudnya adalah tempat (posisi) untuk berhenti padanya. Maksudnya bukan berarti bahwa setiap tempat dari tempat-tampat tersebut wajib untuk berhenti, akan tetapi maksudnya adalah bahwa tempat tersebut tepat atau boleh untuk berhenti, sekalipun nafas si pembaca al-Qur’an panjang. Dan seandainya salah seorang di antara kita mampu untuk membaca al-Qur’an dengan satu nafas maka hal itu diperbolehkan (selama bukan pada waqaf wajib berhenti).

Seorang pembaca al-Qur’an diibaratkan sebagai seorang musafir, dan titik-titik atau tempat di mana seorang pembaca berhenti diibaratkan sebagai tempat peristirahatan baginya.

Manusia berbeda-beda dalam hal waqaf. Di antara mereka ada yang menjadikan tempat waqaf sesuai dengan panjang nafasnya. Sebagian yang lain menjadikannya pada setiap penghujung ayat. Dan yang paling pertengahan adalah bahwa terkadang waqaf berada di tengah ayat, sekalipun yang lebih dominan adalah di akhir-akhir ayat. Dan tidak setiap akhir ayat ada waqaf (tempat untuk berhenti), akan tetapi yang dijadikan ukuran adalah makna dan nafas mengikutinya.

Dan seorang pembaca, apabila sampai pada tempat waqaf sedangkan nafasnya masih kuat untuk sampai pada tempat waqaf berikutnya maka boleh baginya untuk melewatinya (tidak berhenti) dan berhenti pada waqaf setelahnya. Namun jika nafasnya tidak sampai ke waqaf berikutnya maka hendaknya ia tidak melewati waqaf tersebut (hendaknya berhenti pada tempat waqaf pertama)

Seperti seorang musafir, jika menemukan tempat persinggahan yang subur, teduh, banyak makanan dan dia tahu bahwa jika ia melewatinya (tidak singgah di sana) ia tidak akan sampai pada persinggahan berikutnya, dan ia perlu untuk singgah di tempat yang tandus, yang tidak ada apa-apanya (tidak teduh, tidak ada makanan dll), maka yang lebih baik bagi orang itu adalah ia tidak melewati persinggahan yang subur tersebut. Maka jika seorang pembaca al-Qur’an tidak mampu meneruskan bacaan disebabkan pendeknya nafas, atau ketika waqaf pada tempat yang dimakruhkan untuk waqaf maka hendaknya dia memulainya dari awal kalimat (ayat) supaya maknanya bersambung antara satu dengan yang lain, dan supaya mulainya bacaan setelahnya tidak mengakibatkan kerancuan (makna yang kurang tepat). Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


{لَّقَدْ سَمِعَ اللّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُواْ} (181)

”Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan:”….” (QS. Ali ‘Imraan: 181)

Maka jika seseorang memulai bacaan dengan:


{إِنَّ اللّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاء}

”Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya….” (QS. Ali ‘Imraan: 181)

Maka ia telah berbuat kesalahan dengan memuali bacaan pada kata tersebut.

Beberapa Contoh Waqaf

Dan untuk masalah ini ada beberapa contoh:

Wajib berhenti, misalnya pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


… وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجَا {1}

”….Dan dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 1) Kemudian memulai lagi dengan:


قَيِّمًا لِّيُنذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِّن لَّدُنْهُ …{2}

” Yang lurus (tidak kontradiksi), untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi-Nya ( Allah).. .” (QS. Al-Kahfi: 2)

Hal itu supaya tidak disalahpahami bahwa firman-Nya قَيِّمًا (Yang lurus) adalah sifat dari firman-Nya عِوَجًا (kebengkokan), karena sesuatu yang bengkok tidak akan lurus/selaras.

(Dan wajib waqaf) pada kalimat/ayat yang akhirnya huruf Ha’ sakat (Ha’ sakat adalah huruf Ha’ sukun yang ada di akhir kalimat/kata untuk menjelaskan harakat huruf terakhir dari kalimat yang bersambung dengan Ha’ sakat tersebut, dan hal itu menunjukkan akan pentingnya kalimat tersebut. walahu A’lam), seperti dalam firman-Nya:


… يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ {25} وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ {26}

”…Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.” (QS. Al-Haaqqah: 25-26)

Dan dalam firman-Nya:


مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ {28} هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ {29}

” Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.” (QS. Al-Haaqqah: 28-29)

Maka pada selain al-Qur’an, anda harus menetapkan (menuliskan/membaca) huruf Ha’ ini ketika waqaf (berhenti) dan menghapusnya/menghilangkannya jika diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti). Dan ia (Ha’ sakat) tertulis di dalam al-Qur’an dengan huruf Ha’. Karena di dalam kaidah bahasa Arab diharuskan menghilangkan/menghapus Ha’ sakat apabila diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti). Maka penetapan keberadaannya (penulisannya) ketika diwashal-kan bertentangan dengan kaidah bahasa Arab, sedangkan penghapusannya bertentangan dengan tulisan yang ada pada mushaf. Maka dengan mem-waqaf-kan (berhenti pada huruf Ha’ sakat tersebut) berarti seseorang telah mengikuti tulisan di mushaf al-Qur’an dan sekaligus mengikuti kaidah bahasa Arab. Dan bacaan washal dengan Ha’ hanya diperbolekan dengan meniatkan waqaf (berhenti).

Dan juga wajib waqaf, misalnya pada firman-Nya:


وَلاَيَحْزُنكَ قَوْلُهُمْ … {65}

” Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. …” (QS. Yunus: 65)

Kemudian dimulai lagi dengan membaca:


…إِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا … {65}

” … Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. ….” (QS. Yunus: 65)

Hal itu supaya maknanya benar (lurus), karena jika diwashal-kan (disambungkan/tidak berhenti) akan memberikan kesan bahwa perkataan mereka yang membuat sedih (hati Nabi) adalah perkataan mereka:

… إِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا … {65}

” … Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. ….” (QS. Yunus: 65)

Padahal maksud ayat yang sebenarnya tidak demikian.

Dan dianjurkan (disunahkan) bagi seorang pembaca al-Qur’an untuk belajar posisi-posisi waqaf (tanda-tanda waqaf), dan agar berhenti pada setiap akhir ayat kecuali jika ayat tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan ayat setelahnya, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِّنَ السَّمَآءِ لَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ {14}

” Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya.” (QS. Al-Hijr: 14)

Maka tidak boleh waqaf (berhenti) di akhir ayat di atas dikarenakan huruf Lam pada ayat setelahnya berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (ayat di atas).


…. وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ {39}

” …dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr: 39)

Demikian juga tidak boleh waqaf (berhenti) di akhir ayat di atas dikarenakan huruf إلاَّ pada ayat setelahnya berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (ayat di atas).

Dan tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan tentang Waqaf dan Ibtida’ berguna dalam memahami makna-makna al-Qur’an dan mentadabburi (mengkaji) hukum-hukumnya. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:”Kami telah hidup pada sepenggal waktu kami, dan bahwasanya salah seorang di antara kami diberikan iman sebelum al-Qur’an. Dan kami telah menyaksikan pada hari ini orang-orang, yang salah seorang di antara mereka diberikan al-Qur’an sebelum iman. Sehingga ia membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir namun ia tidak mengetahui mana perintah dan mana larangan, dan juga tidak tahu kapan seharusnya dia waqaf (berhenti). Padahal setiap huruf dalam al-Qur’an menyerukan:’Aku adalah utusan Allah kepadamu agar engkau mengamalkanku, dan agar engkau mengambil pelajaran dari nasehatku.’”

(Sumber: مباحث في علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, Maktabah al-Ma’arif Riyadh hal 187-188 dan artikel berjudul الوقف و الابتداء di http://www.halqat.com/Article-194.html. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)