Yang dirindu akan segera tiba itu adalah bulan Ramadhan, bulan yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bulan yang diberkati atau bulan keberkahan. Betapa Ramadhan tidak dirindukan kedatangannya oleh orang-orang yang beriman, sementara bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk banyak mendulang banyak kebaikan.

Bentuk Kebaikan
a. Puasa
Puasa yang harus dilakukan di siang harinya oleh seorang muslim dan muslimah yang telah dewasa, berakal sehat, tidak dalam keaadaan safar dan bebas dari penghalang untuk berpuasa merupakan bentuk kebaikan. Betapa tidak, sementara hal tersebut diperintahkan oleh Allah Dzat yang Maha Baik, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (Qs. al-Baqarah : 183). Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

إذا سمعت الله يقول: {يا أيها الذين آمنوا} فأرعها سمعك فإنه خير يأمر به، أو شر ينهى عنه

Bila Anda mendengar Allah berfirman,” wahai orang-orang yang beriman”, maka pasanglah telinga Anda sebaik-baiknya, karena (apa yang akan disebutkanNya) merupakan kebaikan yang diperintahkanNya atau keburukan yang dilarangNya (ad-Durru al-Mantsur,1/252).

Adapun perkara yang diserukan kepada orang-orang yang beriman dalam ayat ini (al-Baqarah : 183) -yaitu : berpuasa Ramadhan- merupakan kebaikan, hal demikian terisyaratkan dalam akhir ayat itu sendiri, yang merupakan puncak kemuliaan seorang hamba “agar kalian bertakwa”. Bukankah ketakwaan itulah yang menjadi barometer kemuliaan seseorang di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla ?!, sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla tegaskan,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sungguh, yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Qs. al-Hujurat : 13)

Takwa, itulah hikmah terbesar dan tujuan teragung dari puasa, maka kebaikan tujuan ini mengisyaratkan baiknya sarana dan tindakan yang akan mengantarkan kepada tujuan dan hikmah tersebut, yaitu puasa. Betapa tidak puasa merupakan kebaikan yang terkandung di dalamnya kebaikan pula, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan sebuah kebaikan yang terdapat pada puasa di dalam beberapa sabdanya, misalnya Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Abu Umamah

عليك بالصوم فإنه لاعدل له

Hendaknya engkau berpuasa karena sesungguhnya puasa itu tak ada yang sebanding dengannya (HR. al-Hakim, di dalam al-Mustadrak, no. 1533).

Dalam riwayat lain,

عليك بالصوم فإنه لا مثل له

Hendaklah engkau berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu tak ada yang semisal dengannya (HR. an-Nasai, no, 2220).

Yakni, tak ada yang semisal dengannya dalam hal memecahkan syahwat, menolak hawa nafsu yang memerintahkan kepada keburukan dan menolak rongrongan setan. Atau, tidak ada yang semisal dengannya dalam hal “banyaknya pahala”, (Hasyiyah as-Sindiy ‘Ala an-Nasa-iy, 4/165)

Apa yang dikatakan bahwa puasa tidak ada yang semisal dengannya dalam hal “banyaknya pahala”, hal ini seperti tercermin dalam hadist Qudsi,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ، اَلصِّيَامُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا

Ia (orang yang berpuasa) meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untukKu dan Aku sendirilah yang akan membalasnya, dan kebaikan itu dibalas dengan 10 yang semisalnya (HR. Al-Bukhari, no. 1894)

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ungkapan, “ dan Aku sendirilah yang akan membalasnya “adalah bahwa Akulah sendiri yang mengetahui kadar balasannya dan pelipatgandaan (pahala) kebaikannya. Al-Qurthubiy –sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari mengatakan, ‘maknanya, bahwa amal-amal itu telah dibuka kadar pahalanya kepada manusia, dan bahwa amal-amal tersebut dilipatgandakan (pahalanya) dari sepuluh hingga 700 kali lipat hingga yang dikehendaki Allah, kecuali puasa, sesungguhnya Allah membalas pahalanya tanpa menyebutkan kadarnya. Redaksi dalam hadist ini diperkuat oleh riwayat lainnya, yakni, riwayat dalam al- Muwaththo’ dan demikian pula riwayat al-A’masy dari Abu Shalih dengan redaksi

 كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ ، الْحَسَنَةُ بعشْر أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ إلى ما شاء الله  -قَالَ اللهُ-  إِلَّا الصَّوْمَ ، فَإِنَّهُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Setiap amal (yang baik) anak Adam dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kali lipatnya hingga 700 kali lipatnya sampai yang dikehendaki Allah -Allah berfirman- “kecuali (pahala) puasa, sesungguhnya puasa itu untukKu dan Akulah sendiri yang akan membalasnya.”

Yakni, Aku akan membalasnya dengan pahala yang banyak tanpa ditentukan kadarnya. Ini seperti firmanNya,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas (Qs. az-Zumar : 10). Selesai perkataan beliau. (Lihat, Fathul Baari, 6/129)

b. Lailatul Qadar
Lailatul qadar juga merupakan bentuk kebaikan yang ada di dalam bulan yang dirindukan itu karena merupakan waktu yang memberikan peluang untuk meraih banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ, مَنْحُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Pada bulan tersebut terdapat sebuah malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, siapa tidak memperoleh kebaikannya maka ia tidak memperoleh apa-apa (HR. An-Nasai, no. 2106)

Malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, maknanya, amal shaleh yang dilakukan pada malam lailatul qadar itu lebih baik daripada amal shaleh yang dilakukan selama 1000 bulan ( 83 tahun 4 bulan) yang tidak ada di dalamnya Lailatul Qadar (Ma’alim at-Tanzil, 8/171)

Meski Rindu Namun Sadar
Pembaca yang budiman…
Dua contoh kebaikan yang ada di bulan Ramadhan tersebut cukuplah membuat hati orang yang beriman merindukan kedatangannya segera. Namun demikian, ia pun menyadari bahwa dirinya tidak tahu akankah yang dirindukannya tersebut datang sementara dirinya masih dapat menghirup segarnya udara kehidupan di dunia ataukah tidak. Karena, ia yakin bahwa perkara kematian merupakan ketentuan dan rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, bila ajal sudah tiba saatnya maka tak seorang pun yang dapat menolaknya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Setiap umat mempunyai batas waktu; Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaatpun (Qs. al-A’raf : 34)

Kesadaran akan hal ini menjadikan dirinya selalu termotivasi untuk tetap beramal shaleh kapan pun waktunya. Karena waktu-waktu yang tengah dilaluinya itulah peluang nyata baginya untuk dimanfaatkan untuk beramal shaleh.

Harapannya untuk dapat berjumpa dengan waktu yang dirindukannya tidak menjadikannya tenggelam dalam kemalasan untuk beramal shaleh selama rentang waktu menunggu kehadiran yang dirindukannya. Ia tetap bersemangat untuk beramal shaleh sebagai bentuk pemanfaatan detik-detik masa hidupnya, karena mengamalkan pesan dari kekasihnya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

اغتنِمْ خمسًا قبل خمسٍ : شبابَك قبل هِرَمِك ، وصِحَّتَك قبل سِقَمِك ، وغناك قبل فقرِك ، وفراغَك قبل شُغلِك ، وحياتَك قبل موتِك

Manfaatkanlah secara optimal lima hal sebelum lima hal ; (1) masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) masa kayamu sebelum datang masa miskinmu dan (4) masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan (5) masa hidupmu sebelum datang kematianmu (HR. al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, no. 7846)

Alangkah indahnya pesan yang terselip dalam ungkapan al-Hasan al-Bashriy, ia berkata, “ engkau hanyalah kumpulan hari-hari, setiap kali berlalu satu hari maka setiap kali itu pula pergi sebagian darimu” (Hilyatul Auliya, 2/148)

Perjumpaan dengan yang dirindukan
Dapat berjumpa dengan yang dirindukan merupakan kenikmatan tersendiri, maka bila Allah ‘Azza wa Jalla mentakdirkan dirinya dapat berjumpa dengan yang dirindukannya, ia pun akan semakin termotivasi dan bersemangat untuk meningkatkan amal shalehnya yang telah biasa dilakukannya sebagai bentuk rasa syukurnya atas nikmat Allah ‘Azza wa Jalla tersebut. Bahkan, merambah kepada bentuk amal shaleh lainnya yang sangat dianjurkan untuk banyak dilakukan pada waktu yang istimewa tersebut, seperti; membaca al-Qur’an, menghidupkan malam-malamnya dengan shalat tarowih bersama imam di masjid, bersedekah, memberikan buka kepada orang yang berpuasa dan lain sebagainya. Apalagi perkara yang harus dilakukannya, yaitu, berpuasa di siang harinya. Ia akan bersungguh-sungguh di dalam melaksakannya dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

Kesemuanya itu ia lakukan sebagai bentuk rasa syukurnya atas nikmat yang sedemikian agung yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepadanya tersebut, yaitu : perjumpaan dengan waktu yang penuh dengan keberkahan yang diberkahi oleh Dzat yang Maha Berkah Allah ‘Azza wa Jalla.

Akhirnya, kita berdoa kepada Allah Dzat yang menciptakan kehidupan dan kematian, semoga kita berkesempatan untuk berjumpa dengan bulan yang kita rindukan itu, bulan Ramadhan, dan juga diberi taufiq untuk mendulang keberkahannya. Aamiin

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad  shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

(Redaksi)

Referensi :
1. Ad-Durru al-Mantsur, Abdurrhman bin al-Kamal as-Suyuthi
2. Al-Mustadrak, Muhammad bin Abdullah al-Hakim
3. Fathul Baari, Ahmad bin Ali al-Asqalaniy
4. Hasyiyah as-Sindiy ‘Ala an-Nasa-iy, Nuruddin bin Abdul Hadi as-Sindiy.
5. Hiyatul Auliya, Abu Nu’aim al-Ashbahaniy
6. Ma’alim at-Tanzil, al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy
7. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhariy
8. Sunan an-Nasa-i, Ahmad bin Syu’aib an-Nasai