Zakat menurut bahasa berarti berkembang atau bertambah dalam kebaikan. Ia juga berarti sesuatu yang sempurna. Dalam bahasa Arab dikatakan “Zaka asy-Syai”, artinya jika sesuatu itu berkembang, Firman Allah ‘Azza wajalla,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (Qs. at-Taubah : 103)

Allah menyebutkan dua perkara yaitu kebersihan dan kesucian, karena duanya adalah saling terkait, sebab najisnya perbuatan-perbuatan yang keji dan maksiat di dalam hati, sama dengan campuran yang kotor di dalam badan, sama dengan belukar bagi tanaman, sama dengan kotoran pada emas, perak, tembaga dan besi. Sebagaimana badan, apabila telah bersih dari kotoran-kotoran, maka kondisinya menjadi kuat dan bersih dari kotoran-kotoran tersebut sehingga menjadi lega. Ia dapat melakukan pekerjaannya dengan tanpa halangan dan hambatan, kemudian badan menjadi berkembang dengan baik. Demikian pula dengan hati, apabila telah bersih dari dosa dengan bertaubat maka ia menjadi lepas dari campurannya, sehingga kekuatan dan kehendaknya kepada kebaikan menjadi bersih. Setelah itu hati akan bebas dari makanan yang rusak dan materi-materi yang kotor, ia menjadi tumbuh dan berkembang, menjadi kuat dan kokoh. Ia duduk di atas kasur rajanya, hukumnya dapat dilaksanakan di antara rakyatnya, kemudian mereka mendengarkan dan patuh kepadanya, tidak ada jalan untuk menyucikannya kecuali dengan membersihkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wajalla,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Qs. an-Nuur : 30)

Ayat ini menjadikan kesucian hati setelah menundukkan padangan dan menjaga kemaluan.

Oleh karena itu, menundukkan pandangan dari perkara-perkara yang haram memiliki tiga manfaat yang sangat besar dan nilainya sangat tinggi.

Manfaat yang pertama, merasakan manisnya iman dan kelezatannya.

Kelezatan ini lebih manis, lebih baik dan lebih lezat dari apa yang telah dialihkan pandangan matanya dari padanya dan apa yang telah ditinggalkannya karena Allah. Orang yang telah meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Nafsu manusia diciptakan dengan keinginan melihat kepada gambar yang indah. Pandangan mata adalah penunjuk bagi hati, kemudian penunjuknya mengirimkan pesan agar melihat apa yang ada di sana. Apabila dia memberitahukan tentang keindahan atau keelokan sesuatu yang dipandang maka hatinya bergerak karena merasakan kerinduan padanya. Seringkali ia merasa lelah, demikian pula dengan utusan dan penunjuknya, seperti dikatakan dalam sebuah syair :

Ketika pada suatu hari engkau mengutus pandanganmu untuk memimpin hatimu

Maka pandanganmu akan melelahkanmu

Engkau melihat sesuatu yang tidak semuanya engkau mampu

Tidak pula terhadap sebagian darinya engkau mampu bersabar     

Apabila penunjuk itu merasa enggan untuk mencari dan mengamati maka hati akan berhenti dari keinginan untuk mencari dan berkehendak. Barangsiapa yang melampiaskan kesempatannya maka penyesalannya akan berlangsung lama.

Pandangan akan melahirkan rasa cinta, kemudian dimulailah hubungan yang menjadikan hati merasa bergantung kepada sesuatu yang dilihat, kemudian hubungan itu menjadi semakin kuat lalu berubah menjadi kerinduan. Hati menjadi senang kepadanya. Perasaan ini menjadi semakin kuat sehingga menjadi cinta buta yang membelenggu hati. Kondisinya seperti tuntutan orang berpiutang yang tidak dapat meninggalkan orang yang berhutang. Perasaan itu semakin menguat sehingga menjadi kerinduan yang dalam. Ia adalah cinta yang berlebih-lebihan. Cintanya menjadi semakin kuat sehingga menjadi nafsu birahi yang meluap. Ia adalah cinta yang telah sampai kepada nafsu hati dan isi hati, kemudian menguat sehingga menjadi cinta yang hilang akalnya, ia adalah budak.

Cinta yang telah hilang akalnya adalah apabila menyembah kepadanya, dia menjadi budak bagi yang dicintai, sehingga hati menjadi budak bagi orang yang dia tidak pantas untuk menjadi budaknya. Semua ini disebabkan oleh kejahatan penglihatan. Pada saat itu hati telah jatuh sebagai tawanan. Ia menjadi tawanan padahal sebelumnya ia adalah raja. Ia menjadi terpenjara padahal sebelumnya dia adalah merdeka. Ia mengadu dan mengeluh kepada mata, sedangkan mata menjawab : Aku adalah penunjukmu dan utusanmu, engkau yang telah mengutusku.” Hati yang diuji dengan kondisi di atas adalah hati yang kosong dari rasa cinta dan ikhlas kepada Allah ‘Azza wajalla.

Hati pasti memiliki kebergantungan kepada orang yang dicintai. Barang siapa yang tidak menjadikan Allah semata sebagai Dzat yang dicintai, sebagai Tuhannya dan sebagai Dzat yang disembahnya maka hatinya pasti akan menyembah kepada selain Allah ta’ala.

Allah berfirman tentang Nabi Yusuf ‘alaihissalam,

كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Qs. Yusuf : 24)

Istri sang raja, pada waktu menjadi wanita musyrik, dia terjatuh pada kejahatan itu (kemungkaran dan kekejian menuruti hawa nafsu), sekalipun dia telah memiliki suami. Sedangkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam yaitu orang ikhlash kepada Allah, selamat darinya meskipun dia adalah seorang pemuda, perjaka, orang asing dan budak.

Manfaat yang kedua, menundukkan pandangan menyimpan cahaya hati dan firasat yang jujur.

Ibnu Syuja’ al-Kirmaniy berkata, “Barangsiapa menghidupkan lahirnya dengan cara mengikuti sunnah, menghidupkan batinnya dengan selalu melakukan muroqabah (merasa selalu dalam pengawasan Allah), mencegah dirinya dari syahwat, menundukkan pandangannya dari perkara-perkara yang haram dan membiasakan makanan yang halal, maka dia tidak akan salah dalam firasatnya.” (Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam al-Hilyah, 10/237)

Allah ‘Azza wajalla telah menyebutkan kisah kaum Luth ‘alaihissalam dan cobaan yang mereka terima, kemudian setelah itu Allah ‘Azza wajalla berfirman,

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (Qs. al-Hijr : 75)

Mereka adalah orang-orang yang memiliki firasat yang tidak pernah memandang kepada perkara yang haram dan perbuatan yang keji.

Setelah memerintahkan kapada hamba-hamba-Nya agar menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, Allah ‘Azza wajalla berfirman,

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (Qs. an-Nuur : 35)

Rahasianya adalah bahwa balasan bergantung kepada amalnya. Barangsiapa menundukkan pandangannya dari apa yang diharamkan Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan balasan dari jenis yang sama dan lebih baik darinya. Apabila ia memalingkan pandangannya dari perkara-perkara yang haram maka Allah akan mencurahkan cahaya akal dan hatinya. Dia akan dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh orang yang melepaskan pandangannya dan tidak menundukkannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah. Hal ini hanya dapat dirasakan oleh diri orang itu sendiri, sebab hati bagaikan cermin sedangkan hawa nafsu bagaikan karat dalam cermin itu. Apabila cermin itu bersih dari karat maka ia akan memperlihatkan hakekat-hakekat gambar seperti apa adanya. Apabila cermin itu berkarat maka ia tidak dapat memperlihatkan gambar-gambar pengetahuan, sehingga ilmu dan perkataannya hanyalah kebohongan dan prasangka.

Manfaat yang ketiga, dengan kekuatan dari Allah, kekuatan hati dan keberanian niat, Allah akan memberikan kemampuan untuk menang, dan dengan cahaya-Nya Allah akan memberikan kemampuan untuk berhujjah. Dia akan mempunyai dua kemampuan sehingga setan akan lari darinya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat. “Barangsiapa yang  menyelisihi hawa nafsunya maka setan akan memisahkan dari bayangannya.”

Oleh karena itu, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya akan merasakan jiwa yang hina, lemah dan rendah. Ia adalah jiwa yang diberikan oleh Allah ‘Azza wajalla kepada orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Allah ‘Azza wajalla hanya akan menjadikan kemuliaan bagi orang yang taat kepada-Nya dan menjadikan kehinaan bagi orang yang bermaksiat kepada-Nya,

Firman-Nya,

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ

“Kekuatan itu hanya bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin …” (Qs. al-Munafiqun : 8)

Firman-Nya,

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran : 139)

Firman Allah,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا

“Barangsiapa menghendaki kemuliaan, maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya.” (Qs. Fathir : 10)

Maksudnya, barangsiapa yang mencari kemuliaan maka hendaklah mencarinya dengan taat kepada Allah, yaitu berkata baik dan beramal shaleh.

Sebagian dari ulama Salaf berkata, “Manusia mencari kemuliaan dari pintu-pintu para raja padahal mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dalam perbuatan taat kepada Allah.”

Hasan berkata : Meskipun mereka ditarik oleh kuda yang berjalan meligas dan meskipun suara bagal yang mendedas, maka sebenarnya, kehinaan maksiat itu niscaya ada di dalam hati mereka, sebab Allah tidak menghendaki kecuali untuk menjadikan hina bagi orang yang bermaksiat kepada-Nya. (lihat, al-Hilyah, 2/149)

Sebabnya adalah orang yang taat kepada Allah adalah orang yang telah menolong-Nya sedangkan orang yang menolong-Nya tidak akan hina, sebagaimana disebutkan dalam doa qunut :

وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ

“Sesungguhnya tidak hina orang yang menolong-Mu, dan tidak mulia orang yang memusuhi-Mu.”

Maksudnya adalah kesucian hati bergantung kepada kebersihannya, sebagaimana kesucian badan bergantung kepada kebersihannya dari kotoran yang keji dan tidak enak.

Firman Allah,

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Sekirannya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuaatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nuur : 21)

Allah ‘Azza wajalla menjelaskan hal itu setelah menerangkan diharamkannya perbuatan zina, tuduhan zina dan menikah dengan wanita yang berzina, kemudian Allah ‘Azza wajalla menjelaskan bahwa kesucian itu didapatkan dengan cara menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut.

Wallahu A’lam. (Redaksi)

Sumber :

Ighatsatu al-Lahfan Min Mashaidisy Syaithan, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, (ei) hal. 93-98. Dengan gubahan.