Empat nama tersebut di atas telah disebutkan secara bersamaan pada sebuah tempat di dalam al-Qur’anul Karim. Allah ‘azza wajalla berfirman,

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Hadid : 3)

Sebaik-baik keterangan yang menafsirkan dan  menjelaskan keempat nama tersebut adalah sebuah riwayat dalam as-Sunnah an-Nabawiyah seputar munajatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Rabbnya dengan nama-nama tersebut, dengan sebuah munajat yang mencakup penjelasan makna nama-nama tersebut dan penjabaran kandungan-kandungannya.

Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami ketika hendak tidur untuk membaca doa,

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ وَرَبَّ الْأَرْضِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ, رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ, فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى, وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ, أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ, اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ, وَأَنْتَ الْظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ, اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

Ya Rabb langit dan bumi serta Rabb Arsy yang agung, Rabb kami semua dan Rabb segala sesuatu, Yang telah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan, Yang telah menurunkan kitab taurat, injil dan al-Furqan (al-Qur’an), aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau pegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkau adalah al-Awwal; tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu, Engkau adalah al-Akhir ; tidak ada sesuatupun setelah-Mu, Engkau adalah azh-Zhahir ; tiada sesuatupun di atas-Mu, dan Engkau adalah al-Bathin; tiada sesuatupun di bawah-Mu. Maka itu lunasilah hutang kami dan berilah kami kecukupan dari kefakiran. “

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam doa tersebut makna setiap nama dan menafikan apa yang menjadi lawannya. Hal ini adalah derajat penjelasan yang paling tinggi. Tempat berporosnya keempat nama tersebut adalah pada penjelasan cakupan Rabb tabaraka wa ta’ala atas seluruh makhluk-Nya. Cakupan tersebut ada dua macam, yaitu cakupan waktu dan tempat.

Cakupan permulaan dan akhiran Allah adalah dengan sebelum dan setelah. Segala yang terdahulu pasti akan terhenti pada awal mulanya. Setiap yang berakhir pasti akan terhenti pada waktu akhirnya. Adapun permulaan Allah ‘azza wajalla, maka mendahului permulaan segala sesuatu dan akhiran Allah ‘azza wajalla adalah kekekalan Dia setelah musnahnya segala sesuatu. Oleh karena itu, permulaan dan akhiran Allah mencakup segala hal yang terdahulu dan segala hal yang terakhir. Tidaklah ada sesuatu pertama kali, melainkan Allah sudah ada sebelumnya.  Tidaklah ada sesuatu yang paling akhir, melainkan Allah masih ada setelahnya. Oleh karena itu, Dia ‘azza wajalla adalah al-Awwal; tiada sesuatu pun sebelum-Nya dan al-Akhir ; tiada sesuatu pun setelah-Nya. Dan ini adalah cakupan waktu.

Sedangkan cakupan tempat, maka zhahir dan batin Allah meliputi segala sesuatu yang zhahir dan yang batin. Tiada sesuatu pun yang zhahir, kecuali Allah berada di atasnya. Tiada pula sesuatu pun yang batin, melainkan Allah berada di bawahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

وَأَنْتَ الْظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ

“Engkau adalah azh-Zhahir ; tiada sesuatu pun di atas-Mu, dan Engkau adalah al-Bathin; tiada sesuatu pun di bawah-Mu.”

Sehingga Allah Maha Tinggi di atas segala sesuatu secara zhahir-Nya, karena Dia adalah Maha Tinggi dan paling tinggi yang tidak ada sesuatu pun di atas-Nya. Dia bersemayam di atas Arsy-Nya yang mulia. Sedangkan Arsy adalah atap bagi seluruh makhluk sekaligus makhluk paling tinggi. Allah ‘azza wajalla berada di atas Arsy. Oleh karena itu, zhahirnya Allah ta’ala adalah keberadaan-Nya yang di atas dan ketinggian-Nya di atas segala sesuatu. Akan tetapi, Allah dekat dengan segala sesuatu secara batin-Nya. Sebab, batinnya Allah meliputi segala sesuatu yang paling dekat dengan-Nya. Hal ini menunjukkan kesempurnaan pengawasan-Nya atas segala rahasia hal-hal yang tersembunyi, perakara-perkara yang halus dan urusan-urusan yang dirahasiakan. Sebagaimana pula menunjukkan kesempurnaan kedekatan-Nya. Bersamaan dengan ketinggian Allah di atas Arsy, maka sesungguhnya Dia Mahadekat dari hamba-Nya lagi Maha meliputi mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin langit yang satu dapat menutupi langit yang lain dari pandangan Allah, tidak pula bumi yang satu menutupi bumi yang lain dari-Nya. Hal yang zhahir tidak dapat menutupi yang batin dari Allah, bahkan hal batin bagi-Nya adalah zhahir, dan hal ghaib di sisi-Nya adalah nampak jelas, yang jauh bagi-Nya adalah dekat serta rahasia menurut-Nya adalah yang terang-terangan.

Apabila seorang hamba telah mengetahui nama-nama yang agung tersebut dan mengetahui pula apa yang ditunjukkan olehnya yang berupa kesempurnaan, keagungan dan cakupan, maka wajib baginya untuk bermuamalah dengan setiap nama tersebut sesuai dengan konsekwensinya yang berupa kerendahan dan penghambaan.

Dengan mengetahui makna “permulaan” bagi Allah sebelum adanya segala sesuatu, dahulunya Dia dengan karunia dan kebaikan sebelum adanya sebab-sebab, semuanya menuntut untuk diesakannya Allah dengan kerendahan dan permohonan perlindungan, tidak menoleh kepada yang lain atau tawakal kepada selain-Nya, serta menuntut untuk dikosongkannya segala ketergantungan terhadap sebab-sebab dan menoleh kepada sebab-sebab itu menuju kepada ketergantungan kepada Dzat yang dari-Nya semata pemberian dan bantuan. Sebab, karunia Allah mendahului segala sarana dan sebab.

Sedangkan dengan mengetahui makna “akhiran” Allah menuntut agar Dia semata yang dijadikan sebagai tujuan hamba, yang tidak ada tujuan baginya selain Dia. Tidak ada harapan lain bagi hamba di belakang-Nya. Kepada-Nya semata tempat berakhir segala sesuatu. Tidak ada lagi dibelakang-Nya tujuan dan tidak pula ada setelah-Nya maksud. Selain itu, menuntut untuk tidak bergantung kepada sebab-sebab karena sebab-sebab tersebut tidak diragukan lagi pasti akan berubah tidak ada dan selesai dengan akhiran. Sedangkan Allah Maha hidup kekal setelah semuanya. Oleh karena itu, bergantung dengan sebab-sebab tersebut sama saja bergantung dengan sesuatu yang akan berubah, tidak ada, dan habis. Sedangkan bergantung kepada al-Akhir adalah bergantung kepada Allah, Mahahidup yang tidak akan mati lagi Mahakekal yang tidak akan hilang.

Kemudian dengan mengetahui zhahirnya Allah, bahwasanya Dia berada di atas hamba-hamba-Nya serta mengatur semua urusan mereka, dan kepada-Nya semata amalan-amalan mereka akan dinaikkan. Hal itu menuntut diarahkannya hati kepada Allah dengan baik, kesempurnaan kerendahan di hadapan-Nya dan tunduk kepada-Nya dan kepada keagungan-Nya, dan berdoa kepada-Nya semata bukan kepada selain-Nya. Firman-Nya,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“Demikianlah (kebesaran Allah) karena Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak. Dan apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil, dan sungguh Allah, Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” (Qs. al-Hajj : 62)

Adapun orang yang tidak beriman dengan zhahirnya Allah dan ketinggian-Nya, maka sesungguhnya dia akan tersesat dan hancur lebur hatinya, dia tidak memiliki kiblat untuk mengarahkan hatinya, dan tidak memiliki sesembahan yang hak tempat ia mengarahkan tujuannya.

Sedangkan dengan mengetahui batinnya Allah, persaksian akan cakupan-Nya terhadap alam semesta, kedekatan-Nya terhadap hamba-Nya, ilmu-Nya akan segala hal yang ada di dalam batin, rahasia-rahasia dan sesuatu yang tersembunyi, semua itu menuntut disucikannya hati lalu dimakmurkan dengan keimanan dan ketakwaan.

Sehingga keempat nama tersebut (  اَلْأَوَّلُ, Yang Awal, الْآخِرُ Yang Akhir, الظَّاهِرُ Yang Zhahir dan الْبَاطِنُ Yang Bathin) mencakup kumpulan pengetahuan tentang Allah dan kumpulan penghambaan kepada-Nya. Sebagaimana juga dapat memutuskan waswas yang dapat membinasakan, keraguan-keraguan yang bisa mematikan, yang dilontarkan oleh setan di hati manusia dengan tujuan untuk membinasakan dan memalingkan dirinya dari keimanan.

Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab sunannya dengan sanad jayyid (bagus) dari Abu Zumail Sammak bin al-Walid, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu seraya berkata, “Aku merasakan ada sesuatu di dalam dadaku, apakah itu ?”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Seperti apa itu ?” Aku jawab, “Demi Allah, tidak akan aku beritahukan.” Lalu ia bertanya kepadaku, “Apakah suatu keraguan ?” Lalu aku menjawab dan tertawa. Ia berkata,”Tidak ada seorang pun yang selamat dari itu.” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu melanjutkan, ‘Sehinga Allah ‘azza wajalla menurunkan firman-Nya,

….فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ

“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang yang mambaca kitab sebelummu….” (Qs. Yunus : 94)

Aku berkata,’’lalu ia berkata kepadaku, “Apabila engkau mendapati sesuatu pada dirimu, maka ucapkanlah,

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Hadid : 3)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu memberitahukan dzikir mulia tersebut untuk mengusir waswas dan memutuskan segala keraguan.

Wallahu A’lam (Redaksi)

Sumber :

Fikih Asma’ul Husna, Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr