Muqaddimah
Pada prinsipnya bertawassul (berperantara) kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala merupakan salah satu bentuk ibadah termulia bagi seorang hamba untuk mendekatkan (bertaqarub) kepada-Nya, dan hal ini memang dianjurkan kepada kita, sebagaimana firman Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang dapat mendekatkan diri kepada Nya dan berjihadlah pada jalan Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al Maidah : 35)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala telah memberikan penjelasan, bahwa bertaqwa kepada Nya, mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihad di jalan-Nya, merupakan suatu cara dan jalan bagi seorang hamba untuk memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan.

Definisi Tawassul

Secara bahasa, tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk mencapai tujuan. (Mu’jamul alfaadzil ‘Aqidah, hal.104).
Adapun menurut istilah syara’ berarti seseorang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala untuk tujuan tertentu dengan menjadikan suatu amal sebagai per-antara.(Mu’jamul alfaadzil ‘Aqidah, hal.104, Muhtaarush Shihah, hal. 526)

Bentu-Bentuk Tawassul

Tawassul ada dua macam:

  • Tawassul yang disyari’atkan (diperbolehkan), yaitu tawassul untuk tujuan tertentu dengan perantara yang dibenarkan oleh syari’at Islam. Seperti bertawassul dengan nama-nama (asma’) dan sifat Allah, bertawassul dengan amal shaleh kita yang telah kita lakukan serta dengan perantaraan do’a orang yang masih hidup.

    Selain tiga bentuk tawassul ini tidak- pernah ditetapkan dasar hukumnya dalam agama Islam, padahal segala bentuk ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah harus berdasarkan pada syari’at Allah Subhannahu wa Ta’ala yang di bawa oleh Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam . (Harus ada dalilnya).

  • Tawassul yang tidak disyari’atkan (tidak dibenarkan), yaitu bertawassul dengan perantara-perantara yang tidak ada dalil atau dasar hukumnya di dalam Islam.

Bertawassul dengan Nabi, Para Wali dan Shalihin.

Dari penjelasan di atas sebetulnya telah jelas bagi kita, bahwa bertawasul kepada para wali dan orang shalih khususnya kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam setelah mereka wafat dengan cara mendatangi kubur mereka, mohon pertolongan mereka, bertawassul dengan menggunakan kemuliaan dan kedudukan mereka, memohon kepada mereka ketika turun bencana, memohon agar semua kebutuhannya terpenuhi, diselamatkan dari segala mara bahaya adalah merupakan bentuk penyimpangan terhadap sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Itu semua merupakan bentuk perkara yang diada-adakan, dan sama sekali tidak memiliki dasar dan alasan yang kuat baik dari al-Qur’an mapun as-Sunnah (baca: haram).
Allah berfirman yang artinya:
“Dan di antara manusia ada orang- orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka menyintainya sebagaimana mereka menyintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu (syirik) mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaNya (niscaya mereka menye-sal).” (Q.S. Al-Baqarah:165).
Allah Subhannahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya:
“Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya.” (Q.S. Al-Isra’ : 56)

Mereka beranggapan bahwa mu’jizat (kejadian luar biasa yang terjadi pada para Nabi) dan karamah (kejadian luar biasa yang terjadi pada orang-orang shalih dengan tanpa direncanakan sebelumnya) akan terjadi pada setiap saat dan atas kesadarannya, sehingga para wali dan orang shalih memiliki kekuatan untuk melakukan perkara yang bersifat mu’jizat dan karomah pada waktu dan kondisi yang mereka kehendaki, kapan saja dapat diminta, bahkan setelah mereka meninggal.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman melarang kita untuk beribadah kepada selain Nya, yang artinya:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi mudharat kepada-mu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (Q.S Yunus: 106)

Adapun dasar pijakan Ulama tentang tidak diperbolehkannya bertawassul (berperantara) dengan para wali dan shalihin (setelah mereka mening-gal) adalah sebagai berikut:

  • Secara logika, pada dasarnya seseorang yang telah meninggal dunia, maka dia tidak akan dapat berdo’a sebagaimana ketika dia hidup (amal sudah ditutup). Dan bagaimana mungkin seseorang yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa ketika itu, lalu bisa membantu dan menolong orang lain yang masih hidup dalam hal-hal tertentu.

  • Pada asalnya setiap bentuk ibadah itu adalah haram untuk dila-kukan sebelum ada dalilnya dan sebelum ada dasar pijakan baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah(contoh dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ). Dan karena itulah setiap ibadah bersifat tauqifiyah (sesuai dengan perintah dan contoh dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ). Yang menjadi ukuran dalam hal ini bukanlah baik dan tidaknya, atau enak dan tidak enaknya menurut perasaan dan naluri kita. Lain halnya dengan urusan keduniaan yang pada dasarnya boleh untuk dilakukan, kecuali ada larangannya.

  • Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah memberikan contoh dalam masalah ini, padahal beliau adalah sosok suri tauladan yang patut kita ambil dan kita tiru dalam setiap hal. Begitu juga para shahabat, mereka tidak pernah melakukan seperti apa yang sering dilaku-kan oleh kebanyakan orang saat ini.

  • Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala , yang artinya,
    “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ke dalam Jahannam, itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S an-Nisa’ : 115 )
    Di dalam surat yang lain Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman yang artinya,
    “Dan Apa yang diberikan Rasul kepada-mu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Q.S. al-Hasyr : 7)

  • Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
    “Barangsiapa melakukan suatu per-buatan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka ibadahnya itu tertolak” (H.R. Muslim)
    Dan dalam riwayat yang lain Nabi Shalallaahu alaihi wasalam besabda :
    مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيِهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
    “Barangsiapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak.” (HR. Al-Bukhari)
    Di hadits yang lain beliau bersabda:
    وَإِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَأَنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أحمد)
    Artinya, “Jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan .” (HR. Ahmad) Dalam riwayat An-Nasa’i terdapat tambahan, bahwa setiap kesesatan itu masuk neraka.
    Dan sabda beliau adalah bersifat umum dan menyeluruh.

  • Adapun atsar dari Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu yang mengabarkan beliau bertawasul kepada al-Abbas dan dijadikan dalil oleh sebagian orang yang melakukan amalan ini tidaklah tepat. Karena Umar ketika itu bertawassul lewat do’a al-Abbas dan bukan terhadap dirinya, sementara cara yang demikian dan dengan syarat orang yang ditawassuli (dijadikan perantara) masih hidup tidaklah dilarang dan bahkan termasuk yang disyari’atkan.

  • Dan alasan bahwa mereka memohon kepada Allah Ta’ala agar yang mereka minta terkabulkan dengan cara menggunakan kemulyaan para wali dan orang shalih, bukan menyembah kubur (menurut mereka), itu sama saja dengan yang dilakukan orang-orang musyrik jahiliyah yang beranggapan, bahwa beribadah tidaklah sama dengan berdo’a atau sebaliknya. Anggapan seperti itu tidaklah benar, karena me-minta berkah dari mayit pada dasarnya adalah berdo’a, sebagaimana orang jahiliyah pada saat itu berdo’a kepada berhala-berhala mereka. Dan tidak ada bedanya antara apa yang mereka lakukan dengan yang dilakukan orang zaman sekarang ini, di mana mereka menjadikan kubur para wali dan orang shalih sebagai tempat pengaduan.

    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya,
    “Orang-orang musyik Jahiliyah mengatakan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.S. az-Zumar: 3)

Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita, bahwa bertawassul kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam setelah beliau wafat, kepada para wali dan orang shalih setelah mereka wafat tidaklah pernah disyari’atkan dan tidak juga dianjurkan. Bahkan hal ini tidak diperbolehkan di dalam Islam, karena meskipun Rasu-lullah adalah orang paling mulia di sisi Allah, tetap saja itu bukan merupakan sebab syar`i untuk diterimanya do’a seseorang, apalagi orang selain Nabi Shalallaahu alaihi wasalam.

Kebanyakan orang melakukan hal itu karena dorongan rasa cinta dan hormat, namun cenderung berlebihan dan salah penerapannya.

Khatimah

Akhirnya kami berpesan kepada mereka yang terjerat dalam perkara ini, walaupun mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan, maka tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para generasi terdahulu, yaitu para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan orang-orang yang senan-tiasa komitmen di jalan mereka.

Dan sesungguhnya, anda akan mendapati kebanyakan orang yang suka mengerjakan perkara bid’ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Itu semua merupakan dampak dari perbuatan tersebut terhadap hati seseorang.

Semoga Allah memberikan kepada kita penunjuk jalan menuju petunjuk Nya dan pemimpin yang membawa kepada kebaikan, menerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan para hambaNya yang beriman, menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertaqwa lagi beruntung.

Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi kita, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam, keluarga dan para shahabatnya serta orang-orang yang senantiasa mengikuti jalan beliau sampai Hari Kiamat. Wallahu a’lam bish shawab. Disusun dari berbagai sumber.
( Ibnu Arba’in. ) ( 08-10-2003 )