Shalat Berjama’ah

a. Hukum Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadits-hadits yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, diantaranya:

“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Telah datang kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’.” (HR. Muslim)

“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata: ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ‘Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Shubuh. Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu’.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dari Abu Darda’ Radhiallaahu anhu, ia berkata,‘Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ‘Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat berjama’ah, terkecuali setan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu senantiasa bersama jama’ah (golongan yang banyak), karena sesungguhnya serigala hanya akan memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya)’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan lainnya, hadits hasan)

“Dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu , bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ‘Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, terkecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)

“Dari Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya.” (HR. Muslim)

b. Keutamaan Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:
“Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ‘Shalat berjama’ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata,‘Bersabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , ‘Shalat seseorang dengan berjama’ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendirian). Hal itu dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengucapkan shalawat kepada salah seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, ‘Ya Allah, berilah rahmat kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.’ Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci’.” (Muttafaq ‘alaih)

c. Berjama’ah dapat dilaksanakan sekalipun dengan seorang makmum dan seorang imam

Shalat berjama’ah bisa dilaksanakan dengan seorang makmum dan seorang imam, sekalipun salah seorang di antaranya adalah anak kecil atau perempuan. Dan semakin banyak jumlah jama’ah dalam shalat semakin disukai oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala .

“Dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Aku pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah (salah satu istri Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ), kemudian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bangun untuk shalat malam, maka aku pun ikut bangun untuk shalat bersamanya, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di samping kanannya’.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, kedua-nya berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ‘Barangsiapa bangun di waktu malam hari kemudian dia membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat berjama’ah, maka mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu berdzikir kepada Allah’.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallaahu anhu, ‘Bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid sedangkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sudah shalat bersama para sahabatnya, maka beliau pun bersabda, ‘Siapa yang mau bersedekah untuk orang ini, dan menemaninya shalat.’ Lalu berdirilah salah seorang dari mereka kemudian dia shalat bersamanya’.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, hadits shahih)

“Dari Ubay bin Ka’ab Radhiallaahu anhu , ia berkata, ‘Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama’ah) semakin disukai oleh Allah Ta’ala’.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, hadits hasan)