Rumah merupakan salah satu di antara nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar hamba-hamba-Nya bisa berlindung dari panasnya matahari, dinginnya hujan, dan udara dari luar, serta untuk menyimpan barang-barang miliknya, juga untuk menutup diri dan menjaga keluarganya dari pandangan manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal. (QS. An-Nahl/16: 80).

Di samping fungsi-fungsi tersebut, juga masih banyak lagi manfaat-manfaat yang diperoleh manusia dari rumah. Kita tidak bisa membayangkan seandainya hidup tanpa rumah. Niscaya banyak bahaya yang akan mengancam kita dan keluarga kita, baik dari sisi kesehatan, keamanan, kenyamanan, maupun keselamatan. Jika kita amati, orang-orang yang tidak mempunyai rumah, baik sedang di kamp pengungsian atau gelandangan yang tinggal di bawah jembatan atau di pinggir jalan, maka kita akan merasakan betapa besar nikmat sebuah rumah.

Begitulah, betapa indahnya sebuah rumah. Ia merupakan tempat tinggal, tempat berkumpul dengan keluarga, tempat mendidik dan melatih anak-anak kita agar tumbuh lebih dewasa dan bertanggung jawab, di samping sebagai tempat aman bagi kaum wanita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (QS. Al Ahzab/33: 33).

Rumah yang ideal dan bahagia adalah rumah yang dibangun di atas dasar ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pilar-pilarnya mengikuti dan mengambil hukum dari al qur’an dan as-Sunnah.

Penghuninya juga ridha dengan keputusan yang diambil dari keduanya. Begitu juga apabila terjadi perselisihan dan timbul permasalahan, mereka mengembalikan kepada kedua sumber hukum yang mulia, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam firman-Nya surat an-Nisa’ ayat 59, yang artinya: kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari sisi lahiriahnya, rumah tersebut jauh dari sifat berlebih-lebihan, dan lebih menunjukkan kesederhanaan, baik dalam masalah makanan, minuman, pakaian, perhiasan, peralatan maupun perabot rumah tangga. Penghuninya selalu memperhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-a’raf/7: 31).

Maksudnya, jangan melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh, dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan. Namun demikian, bukan berarti Islam mengesampingkan masalah keindahan rumah. Akan tetapi yang dimaksudkan ialah dengan cara yang sederhana dan tidak boros. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan rizki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al- a’raf/7: 32).

Bahwasanya perhiasan-perhiasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Adapun di akhirat nanti, semata-mata hanyalah untuk orang-orang beriman saja.

Kesederhanaan bersikap dan lurus dalam berfikir ini merupakan syari’at Islam yang diajarkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, seperti tampak dalam hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا

Rasulullah tidak diperintahkan memilih di antara dua perkara melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya. (HR. Imam Bukhari, 3/1306).

Rumah seperti inilah yang diharapkan oleh setiap muslim, tidak hanya menjadi tempat tinggal dan istirahatnya, namun mampu memenuhi kebutuhan ruhani dan jasmaninya, juga menjadi tempat untuk mendidik istri dan anak-anaknya, menggantunkan harapannya dan cita-citanya, menjadikan keluarganya di atas bangunan takwa dan iman, selalu dinaungi oleh perasaan tenteram dan kebahagiaan dalam upaya menggapai ridha Rabbnya. Semua ini dapat tercapai bila rumah tersebut dipenuhi dengan dua perkara, yaitu secara fisik maupun secara maknawi.

SECARA FISIK
Pertama, Menjaga Kebersihan Rumah.

Rumah ideal ialah rumah yang memperhatikan kebersihan, selalu menjaganya dan mengaplikasikan firman Allah :

Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah/9: 108).

Islam sangat memperhatikan masalah kebersiha, karena kebersihan merupakan bagian dari ibadah. Seorang muslim dituntut untuk selalu menjaga kebersihan pakaiannya dari najis dan kotoran. Begitu juga diperintahkan untuk bersuci setelah membuang air besar ataupun kecil, membersihkan kotoran, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, membersihkan diri dari hadats, haid dan nifas. Semua itu merupakan kebersihan-kebersihan yang dianjurkan dan diperhatikan oleh kaum Muslimin. Demikian juga dengan menggosok gigi atau menggunakan siwak dan lain-lainnya.

Islam juga memerintahkan kita untuk membersihkan hati dari dengki dna hasad, menjaga mulut dari perkataan yang tidak bermanfaat, serta perkataan yang menyakitkan orang lain. Dengan demikian, seorang muslim benar-benar termasuk orang-orang yang menjaga kebersihan, sehingga tidak ada jalan bagi setan masuk ke dalam rumahnya.

Kedua, Memperhatikan hijab.
Dengan adanya hijab, maka kaum wanita yang mendiami rumah akan terjaga kehormatannya, dan merasa aman dari pandangan orang lain, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hari mereka. (QS al Ahzab/33: 53).

Menurut Imam al Qurthubi, dalam ayat ini terdapat dalil bahwasanya Allah mengijinkan bertanya kepada isteri-isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari belakang tabir, apabila ada keperluan atau ingin bertanya tentang suatu masalah; dan seluruh wanita termasuk dalam makna ini, sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah bahwasanya wanita adalah aurat, badannya dan suaranya.(Tafsir al Qurthubi 14/227).

Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi menjelaskan dalam kitab beliau, bahwasanya dalam ayat yang mulia ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang wajibnya tabir dan merupakan hukum yang umum bagi seluruh wanita, bukan khusus bagi isteri-isteri Nabi ‘alaihi wa sallam saja, walaupun dari sisi konteks kalimatnya khusus bagi mereka. Akan tetapi, keumuman sebabnya sebagai dalil bagi keumuman hukumnya. (Tafsir Adhwa’ul-Bayan, 6/242).

Ketiga, Memisahkan tempat tidur anak,
Khususnya apabila mereka mendekati usia baligh.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Perintahkan anak yang berumur tujuh tahun untuk mengerjakan shalat; pukullah mereka pada umur sepuluh tahun jika mereka enggan mengerjakannya, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, 495).

Sebaiknya orang tua memisahkan tempat tidur anak-anak yang hampir baligh, laki-laki atau perempuan, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk melakukannya. Berkumpulnya mereka dalam satu tempat tidur, tersingkapnya aurat dan bersentuhan badan mereka, akan menimbulkan keburukan dan kerusakan, khususnya pada umur-umur yang mendekati baligh. Al Manawi di dalam kitab Fathul-Qadir Syarhi al Jami’ berkata: “Pisahkan tempat tidur anak-anak, jika mereka telah berumur sepuluh tahun, untuk menjaga ddari gejolak nafsu walaupun sesama anak perempuan.
Keempat, Tidak memasukkan gambar-gambar makhluk yang bernyawa dan patung-patung ke dalam rumah, dan juga tidak memelihara anjing.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَقُولُ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةُ تَمَاثِيلَ

Sesungguhnya malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar. (HR al Bukhari)

Di dalam kitab beliau, al Iman Manawi berkata: “Para malaikat yang dimaksud di sini ialah malaikat rahmat dan barakah, atau malaikat yang mengelilingi manusia, atau mengunjunginya untuk mendengar dzikir atau yang semisalnya, bukan malaikat yang mencatat amal perbuatan manusia; sesungguhnya para malaikat itu tidak pernah meninggalkan mereka sekejap pun, demikian juga malaikat pencabut nyawa. Para malaikat tidak memasuki rumah atau sejenisnya, yang di dalamnya terdapat gambar; karena diharamkannya menggambar makhluk hidup; karena tukang gambar seakan Allah dalam masalah pembentukan. Ini memberikan kesimpulan sebab diharamkannya gambar dan kerasnya pengingkaran tentang hal itu. Dan malaikat tidak memasuki rumah, yang di dalamnya ada anjing, karena najisnya dan menyerupai tempat-tempat yang kotor; padahal malaikat tersucikan dari tempat-tempat kotor. Maka tepatlah malaikat menjauhi rumah-rumah seperti ini”. (Faidhul-Qadhir, 2/394).

Kelima, Menjauhkan rumah dari nyanyian dan alat-alat musik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. (QS. Luqman/31: 6-7).

Al Wahidi dan yang lainnya berkata: “Sebagian besar ahli tafsir (berpendapat), yang dimaksud dengan “perkataan yang tidak berguna” (dalam ayat ini) ialah nyanyian. Demikian juga pendapat ‘Abdullah Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah Ibn Mas’ud, ‘Abdullah Ibn Umar, Mujahid dan Ikrimah. (Ighatsatul-lihfan fi Mashayidisy-Syaithan, 1/360).

Imam Ibnu Qayyim menjelaskan: “Sesungguhnya tidak engkau dapatkan seseorang yang sibuk dengan nyanyian dan alat-alatnya melainkan ia telah tersesat ilmu dan amalnya dari jalan petunjuk. Dia mendengarkan nyanyian dan berpaling dari al Qur’an. Apabila ditunjukkan kepadanya antara mendengar nyanyian dan mendengar al Qur’an, maka ia lebih memilih mendengarkan nyanyian, dan merasa sangat berat untuk mendengar al Qur’an.

Beliau rahimahullahu melanjutkan penjelasannya: “Pembicaraan dalam masalah (bahaya nyanyian) ini, dirasakan oleh orang yang masih ada kehidupan di hatinya. Adapun orang yang hatinya telah mati dan fitnahnya cukup besar, maka dia menutup dirinya dari nasihat tersebut. Allah telah berfirman, yang artinya: Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS al Maidah/5 ayat 41).

Keenam, Membersihkan rumah dari segala tanda-tanda salib.
Sesuatu yang sangat memprihatinkan bahwasanya sebagian besar kaum muslimin mengikuti kebiasaan orang-orang kafir secara membabi buta. Orang-orang kafir membuka pintu-pintu kesesatan dengan memasukkan tanda-tanda salib ke dalam rumah-rumah kaum Muslimin tanpa mereka sadari. Tanda-tanda salib ini berbentuk ornamen hiasan pada baju, jendela, buku-buku dan lain-lainnya.

Oleh karena itu berhati-hatilah! Jangan sampai barang yang keji ini masuk ke dalam rumah kita, karena ini merupakan ciri-ciri kesyirikan dan kekufuran. Larang ini disebutkan dalam hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :

Sesungguhnya Nabi, tidaklah meninggalkan sesuatu yang berbentuk salib, melainkan beliau rusak. (HR Imam Bukhari, 5/2220).

SECARA MAKNAWI
Pertama, Berusaha membina hubungan yang harmonis antara suami dan isteri.

Rumah tangga bahagia adalah kunci kebaikan umat. Sedangkan kebaikan umat merupakan faktor utama tercapainya kejayaan dan kemuliaan. Maka umat tak mungkin baik, kecuali pondasi paling mendasar dari kehidupan masyarakat, yaitu rumah tangga menjadi baik. Rumah tangga tak mungkin bahagia, kecuali jika suami dan isteri bersikap baik, tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian juga dengan suami yang baik, ia selalu menunaikan kewajiban-kewajibannya; baik yang berhubungan dengan Rabbnya, keluarga, maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan ketulusan hati dan penuh tanggung jawab. Selain itu, dalam urusan rumah tangga, dia tidak serakah, tidak menuntut haknya lebih banyak dari yang semestinya. Dia pun lapang dada, bila haknya berkurang dari yang seharusnya. Pantang menyia-nyiakan kewajiban. Bahkan, ia tunaikan terlebih dahulu kewajibannya sebelum menuntut haknya. Sedangkan seorang isteri yang baik, ialah isteri yang taat kepada Rabbnya, mempergauli suaminya dengan baik, tidak menyia-nyiakan kewajibannya dan tidak menuntut haknya lebih dari semestinya.

Dari rumah inilah akan lahir tokoh-tokoh besar umat.Baik dari kalangan pria atau wanita. Perkawinan adalah ikatan terpenting. Bila ikatan ini berjalan di atas ketakwaan, iman dan kasih sayang, maka umat ini akan tampil dengan kemuliaannya dan disegani. Sebaliknya, jika hak dan kewajiban rumah tangga diabaikan maka rumah tangga akan berantakan. Demikian juga umat akan tercerai-berai dan terhinakan. Oleh sebab inilah Islam hadir untuk memelihara ikatan tersebut, mengokohkannya dan menjaga eksistensinya.

Kedua, Menjaga hubungan yang baik antara anak dan orang tua.

Rumah yang penuh kebahagiaan, ialah rumah yang dibangun di atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang teguh dengan adab-adab Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan berbakti kepada orang tua; yaitu dengan berbuat baik, memenuhi seluruh haknya, selalu menaati orang tua dalam perkara yang ma’ruf, menjauhi perkara-perkara yang dibencinya.

Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang sangat ditekankan. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan dengan perintah untuk mengesakan-Nya, Allah berfirman, yang artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS al Isra’/17: 23).

Juga disebutkan dalam sebuah hadits, Rasullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ

“Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka,” ditanyakan kepada beliau: “Siapa, wahai Rasulullah?” (Rasulullah menjawab), “Orang yang menjumpai kedua orang tuanya dalam keadaan usia lanjut salah satunya atau keduanya, lalu ia tidak dapat masuk surga.” (HR. Muslim 4628).

Berbakti kepada orang tua merupakan cahaya penerang bagi rumah kaum Muslimin. Di dalamnya terdapat adab-adab, misalnya: mendengar perkataan mereka, memenuhi perintah mereka, menjawab panggilan mereka, merendahkan diri kepada orang tua dengan penuh kasih sayang, tidak menyelisihi perintahnya, mendoakan dan menjaga kehormatannya setelah mereka wafat, menyambung tali silaturrahmi dengan kerabat-kerabatnya semasa mereka masih hidup dan sesudah wafatnya, tidak durhaka kepada mereka, serta bersedekah atas nama mereka. Dengan demikian rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang yang berbuat baik kepada orang tuanya terasa tenang, tenteram, dan terjaga dari godaan-godaan setan.

Ketiga. Hubungan sesama anak-anak di dalam rumah.
Menjadi kewajiban orang tua untuk memperhatikan sikap anak-anak terhadap saudara-saudaranya. Berusaha membimbing mereka menuju kebaikan sesuai dengan kemampuannya. Tekankan anak yang lebih muda untuk menghormati yang lebih tua, dan yang lebih tua menyayangi yang lebih muda.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا

Bukan dari golongan kami orang yang tidak mengetahui hak orang yang lebih tua dan tidak menyayangi orang yang lebih muda. (HR. Ahmad).

Hendaklah orang tua mengajarkan adab dan sopan santun terhadap sesama mereka, tidak saling mengejek dan merendahkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS al Hujurat/49:11).

Begitu juga, hendaknya orang tua memperhatikan dan mengarahkan anak-anak kepada hal-hal yang bermanfaat, dan bukan pada hal-hal yang merusak. (Fiqh Tarbiyatil al Abna’ wa Thaifatu min-Nashaih ath-Thiba’, hlm. 145)

Keempat. Rumah sebagai tempat berdzikir dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لَا يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

Perumpamaan rumah yang disebutkan nama Allah di dalamnya dan yang tidak, adalah sebagaimana orang yang hidup dan mati. (HR. Muslim, 779).

Betapa banyak rumah-rumah kaum Muslimin yang sepi dari dzikrullah, bahkan lebih dipenuhi dengan berbagai macam perkara yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti musik, gambar-gambar makhluk bernyawa, dan berbagai macam bentuk maksiat. Sedangkan rumah-rumah yang di dalamnya selalu diramaikan dengan aktifitas ibadah, adalah rumah yang selalu dikelilingi para malaikat dan membuat setan lari darinya, sebagaimana disebutkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surat al Baqarah. (HR. Muslim).

Juga dalam hadits yang lain, beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلَاتِهِ خَيْرًا

Jika salah seorang di antara kalian telah selesai dari shalat di masjidnya, maka hendaklah memberikan bagian shalatnya di rumahnya. Sesungguhnya Allah memberikan kebaikan di rumahnya dari sebab shalatnya. (HR. Muslim, 778).

Imam an Nawawi berkata: “Jumhur ulama berpendapat, shalat itu adalah shalat sunnah (yang dikerjakan di rumah) dalam rangka menyembunyikannya (dari pandangan manusia). Juga karena hadits lainnya: ‘sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat yang wajib’, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan shalat di rumah, karena lebih tersembunyi (dari pandangan manusia), lebih jauh dari sifat riya’, dan lebih terjaga dari perkara-perkara yang menyebabkan terhapusnya suatu amalan. Juga untuk mendatangkan barakah bagi rumah tersebut, demikian juga turunnya malaikat dan larinya setan darinya”.

Akhirnya kami mengajak kaum Muslimin agar menjadikan rumah-rumah mereka, sebagai rumah yang dipenuhi dengan ruku’, sujud, tilawat, menunaikan hak-hak Allah Subhanahu mengikuti adab-adab Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, menunaikan hak-hak sesama dan menjauhkan segala perkara-perkara yang mendatangkan kemurkaan dan adzab-Nya. Sehingga rumah-rumah kaum Muslimin pun merupakan surga mereka di dunia sebelum meraih surga di akhirat kelak. (Ustadz Abu Saad Muhammad Nur Huda)

Majalah Assunnah, Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M