MUKADDIMAH

Sepintas kelihatan seperti hal yang sepele, namun Islam sebagai agama yang universal dan sempurna tetap selalu memberikan perhatian pada hal-hal yang bersinggungan dengan kepentingan hajat manusia, dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya.
Masalah ‘hubungan badan’ antara suami isteri merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi karena masing-masing memerlukannya. Tetapi adakalanya mengalami kendala sehingga tidak dapat terlaksana, sementara bagi seorang suami, adanya kendala tersebut terkadang dirasakan sangat berat baginya, apalagi bila terjadi penolakan dari pihak isteri.
Nah, bagaimana Islam memperhatikan sisi ini, silahkan baca selanjutnya.!!

NASKAH HADITS

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت، فبات غضبان عليها، لعنتها الملائكة حتى تصبح). متفق عليه، واللفظ للبخاري. ولمسلم، “كان الذي في السماء ساخطا عليها حتى يرضى عنها.”

Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda, “Bila seorang suami mengajak isterinya ke pelaminan (untuk melakukan hubungan badan) lalu menolak untuk datang sehingga semalaman ia (suami) marah, maka malaikat akan melaknatnya (isteri) hingga pagi hari.” (Muttafaqun ‘alaih, ini lafazh al-Bukhari) sedangkan lafazh Muslim, “…maka Dzat Yang berada di langit akan murka terhadapnya (isteri) hingga ia (suami) rela terhadapnya.”

PELAJARAN HADITS

1. Hadits di atas menunjukkan betapa besarnya hak suami atas isterinya sebagaimana firman Allah SWT dalam firman-Nya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.” (QS.an-Nisa’:34)

2. Sang isteri wajib tunduk dan taat kepada suami selama dalam hal yang ma’ruf (baik). Hal ini seperti disebutkan dalam hadits Muadz bin Jabal RA bahwasa Nabi SAW bersabda, “Demi Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang wanita menunaikan hak Rabbnya hingga ia menunaikan hak suaminya. Andaikata ia meminta dirinya (melayani hasrat seksnya) di atas tunggangan kecil, maka tidaklah ia menolaknya.” (HR.Ibn Majah dan Ahmad)

3. Haram bagi seorang isteri menolak, mengulur-ulur atau merasa benci terhadap suaminya bila ia mengajaknya ke pelaminan untuk melakukan hubungan badan. Penolakannya ini dianggap sebagai salah satu DOSA BESAR, sebab akibatnya adalah dilaknat malaikat hingga pagi hari sementara laknat hanya berlaku pada perbuatan haram yang besar atau karena meninggalkan kewajiban yang sudah pasti.

4. Mempergauili dengan baik artinya adanya upaya seorang isteri untuk melaksanakan hak-hak suaminya yang wajib atasnya, memenuhi hasratnya dan menuaikannya dengan sebaik-baik mungkin.

5. Allah SWT tidaklah memberikan sanksi berupa ancaman tersebut terhadap isteri yang menentang (tidak menaati) suaminya melainkan karena penentangannya itu menimbulkan keburukan. Sebab seorang suami, apalagi masih muda, bila tidak mendapatkan pelampiasan yang halal, setan menggodanya agar terjerumus ke dalam hal yang diharamkan. Hal ini tentu akan menyia-nyiakan agama dan akhlaknya, merusak keturunannya dan merusak rumah dan keluarganya.!?

6. Seorang isteri yang shalehah adalah wanita yang disebut Allah dalam firman-Nya sebagai, “Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (QS.an-Nisa’:34) dan yang disebut Nabi SAW dalam sabdanya sebagai, “Sebaik-baik wanita adalah perempuan (isteri) yang bila kamu memandangnya, menyenangkanmu; bila kamu perintahkan, menaatimu; bila kamu menghilang darinya (pergi), ia menjagamu pada dirinya dan hartamu.”

7. Hadits di atas (yang kita bahas) juga dapat dijadikan dalil atas bolehnya melaknat para pelaku kemaksiatan sekali pun mereka itu orang-orang Islam. Penginformasian bahwa malaikat akan melaknatnya (sang isteri) merupakan pelajaran keras baginya agar tidak terus menerus menentang suami dan juga cambuk bagi wanita selainnya agar tidak terjerumus ke dalam hal seperti itu.

8. Hadits di atas juga mengandung pelajaran berupa wajibnya isteri menaati suaminya bila ia memintanya untuk melakukan hubungan badan, tanpa ada pembatasan waktu atau jumlahnya. Tetapi hanya dikaitkan dengan hal yang dapat membahayakannya atau menyibukkannya dari hal yang wajib (bila demikian halnya, maka boleh ia menolak-red). Sedangkan mengenai pembatasan waktu, maka seperti yang diriwayatkan Ahmad dan Ibn Majah dari hadits Abdullah bin Abu Aufa bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang wanita menunaikan hak Rabbnya hingga ia menunaikan hak suaminya; andaikata ia meminta dirinya (melayani hasrat seksnya) di atas tunggangan kecil, maka ia tidaklah menolaknya.”

Di dalam kitab ar-Raudh al-Murbi’ dan kitab lainnya disebutkan, ia (suami) harus melakukan hubungan badan jika mampu satu kali dalam setiap sepertiga tahun bila diminta isteri, sebab Allah SWT menakar hal itu dalam 4 bulan bagi orang yang bepergian. Demikian juga bagi selainnya. Syaikh (barangkali, Pengarang buku ar-Raudh al-Murbi’-red) memilih pendapat, bersenggama yang wajib hendaknya ditakar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, sebagaimana halnya ia memberi makan kepadanya (isteri) sesuai ukuran keperluan dan kemampuannya. Dirugikannya isteri akibat tidak disenggamai menuntut terjadinya Fasakh (pembatalan pernikahan) dalam kondisi apa pun. Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Seorang suami boleh memperbanyak hal itu (melakukan senggama), tidak dibatasi dengan batasan apa pun dan tidak dikaitkan dengan apa pun selama tidak membahayakan bagi dirinya (sang isteri); jika membahayakannya, maka tidak boleh. Hal ini berdasarkan hadits, “Tidak boleh menimbulkan bahaya pada orang lain dan menciptakan bahaya.” (HR.Ahmad dan Ibn Majah). Juga hadits, “Barangsiapa yang membuat bahaya, maka Allah akan menimpakan bahaya atasnya.” (HR.empat pengarang buku hadits)

(SUMBER: Taudhih al-Ahkam Min Bulugh al-Maram, karya Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Jld.IV, hal.459-460)