Apakah meletakkan kedua tangan di dada ini mencakup berdiri setelah bangkit dari ruku’?

Dengan bahasa berbeda, di mana letak kedua tangan setelah bangkit dari ruku’ dalam posisi i’tidal, apakah dilepas ke bawah ataukah bersedekap?

Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah VI/369 fatwa no. 2399 terdapat pertanyaan yang berbunyi, seorang laki-laki berfatwa bahwa orang-orang yang meletakkan tangan di dada dalam shalat setelah bangkit dari ruku’ adalah para pelaku bid’ah yang tersesat, dia berkata kepada orang-orang, “Lepaskanlah tangan kalian setelah bangkit dari ruku’.” Apakah pendapat orang tersebut shahih atau batil? Mohon dijelaskan kepada kami dengan dalil yang shahih semoga Allah membalas pada Hari Kiamat.

Jawabannya berbunyi, telah diriwayatkan secara shahih dari Nabi saw bahwa beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan dan lengannya pada saat berdiri di antara takbiratul ihram dengan ruku’ dan setelah bangkit dari ruku’. Dan diriwayatkan pula secara shahih dari beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” Maka hal itu bukan bid’ah, justru ia sunnah.

Dan Allah Pemberi taufik, shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta`
Ketua, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil ketua, Abdurrazzaq Afifi. Anggota, Abdullah bin Qa’ud dan Abdullah bin Ghadyan.

Sementara Syaikh al-Albani dalam Sifah Shalah an-Nabi saw menyatakan bahwa meletakkan tangan di dada setelah bangkit dari ruku’ merupakan bid’ah, dia berkata di hal. 139, “Aku tidak ragu bahwa meletakkan kedua tangan di dada pada saat berdiri ini –yakni setelah bangkit dari ruku’- adalah bid’ah yang sesat, karena ia tidak tercantum secara mutlak dalam satu hadits pun tentang shalat yang demikian banyak. Seandainya ia memiliki dasar niscaya ia telah dinukil kepada kita meskipun dari satu jalan, hal ini dikuatkan bahwa tidak seorang pun dari salaf yang melakukannya dan tidak seorang pun imam hadits yang menyebutkannya sebatas yang aku ketahui.”

Penulis berpendapat bahwa membid’ahkan meletakkan kedua tangan di atas dada setelah bangkit dari ruku’ adalah kurang tepat, tanpa mengurangi penghargaan dan penghormatan penulis kepada Syaikh yang mulia dan tanpa berta’asshub buta kepada satu pendapat dengan mencampakkan pendapat yang lain, dengan asumsi bahwa apa yang dikatakan oleh Syaikh al-Albani adalah benar, bahwa tidak seorang pun dari salaf yang melakukannya dan tidak seorang pun imam hadits yang menyebutkannya, hal ini tidak mengotomatiskan bahwa ia adalah bid’ah, karena meletakkan kedua tangan di dada setelah bangkit dari ruku’ memang memungkinkan dari sisi pemahaman dalil, suatu pemahaman di mana dari sisi dalil memang memungkinkan, jika ia dikatakan sebagai bid’ah, maka hal itu cukup jauh.

Lihatlah hadits Sahal bin Saad, “Manusia diperintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri di dalam shalat.” (HR. Al-Bukhari). Pertanyaannya, dalam posisi apa? Yang terbersit dalam benak secara langsung adalah dalam posisi berdiri dan berdiri di antara takbiratul ihram dengan ruku’ adalah yang terbersit secara langsung darinya, namun hal ini tidak menafikan atau menutup kemungkinan berdiri setelah bangkit dari ruku’ sebab ia ia juga disebut berdiri. Penulis pernah membaca ucapan Syaikh Ibnu Utsaimin –namun penulis tidak teringat di buku yang mana- yang bermakna demikian.

Imam an-Nasa`i meriwayatkan di Sunannya, Kitab al-Iftitah Bab Wadh’u al-Yamin ala asy-Syimal fi ash-Shalah dari Alqamah bin Wail dari bapaknya Wail bin Hujr berkata, “Aku melihat Rasulullah saw jika beliau dalam keadaan berdiri di dalam shalat beliau menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan.”

Ucapannya, “Jika beliau dalam keadaan berdiri.” Pertanyaannya, berdiri apa? Benar, berdiri setelah takbiratul ihram sampai ruku’. Lantas apakah berdiri dari ruku’ tidak termasuk berdiri? Tidak jauh kalau dikatakan termasuk berdiri.

Apa pun, penulis berpendapat bahwa masalah ini termasuk masalah khilafiyah di antara para ulama di mana dalil-dali memang memungkinkan, peluang berbeda terbuka dan tidak perlu menyatakan bahwa salah satu dari kedua pendapat adalah bid’ah. wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)